Mohon tunggu...
Frater Milenial (ReSuPaG)
Frater Milenial (ReSuPaG) Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jika Anda tidak mampu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal kecil dengan cara yang besar (Napoleon Hill)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Inkulturasi dalam Liturgi Gereja Katolik

15 Oktober 2021   08:41 Diperbarui: 15 Oktober 2021   08:46 4261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Pendahuluan

          Perkembangan dunia modern, selain mempengaruhi pola hidup manusia dalam membangun dunia juga mempengaruhi pola pengungkapan dan perayaan iman yang juga disebut: liturgi. Gereja, khususnya sejak Konsili Vatikan II, makin sadar bahwa tatacara liturgi yang mereka warisi terlalu kaku, kurang sesuai dengan zaman. Maka perlu diadakan pembaharuan, agar liturgi sungguh-sungguh menjadi bagian hidup konkret umatnya, bukan suatu perayaan di luar dirinya.

          Dalam usaha tersebut, Gereja menawarkan pembaharuan tanpa harus menciptakan tata liturgi yang sama sekali baru, tetapi dengan jalan inkulturasi. Inkulturasi dalam liturgi berarti menjelmakan liturgi ke dalam kebudayaan setempat atau mengangkat nilai-nilai budaya setempat yang sesuai dan benar ke dalam liturgi. Prosedur yang diusulkan Konsili adalah prosedur integrasi, dengan mencontoh Kristus yang "mengikatkan diri" dengan bangsa-Nya, bangsa dimana Ia tinggal dan hidup. Ini berarti bahwa Gereja tidak dapat tetap menjadi orang asing di tengah suatu bangsa dengan siapa dia hidup; dia harus menjadi anak bangsa itu. Prosedur yang sama telah ditempuh Gereja dalam ziarah keselamatannya di seluruh dunia dan sepanjang masa. Dan karena itu, tidak mengherankan bahwa dalam khazanah liturgi Gereja kita jumpai aneka ragam kekayaan budaya yang ditimba Gereja dari berbagai kebudayaan yang dijumpainya dalam ziarah keselamatan tersebut.

          Peraduan antara liturgi kristen dan kebudayaan asli memerlukan penyesuaian pada kedua pihak. Dalam hal ini, menyebarluaskan amanat kristen tidak boleh begitu saja menghapus atau membinasakan nilai-nilai kultur dan spiritual yang merupakan kekayaan suatu bangsa yang tak terkatakan nilainya. Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan seluruh jemaat, Gereja tidak ingin memaksakan suatu keseragaman yang kaku, bahkan dalam liturgi pun tidak. Sebaliknya, Gereja menghormati dan memajukan seni dan kekayaan yang menghiasi jiwa berbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebudayaan bangsa-bangsa yang tidak terikat mati pada takhyul atau ajaran sesat, dipertimbangkan Gereja dengan rela hati dan kalau mungkin dipeliharanya utuh-murni. Bahkan kadang-kadang ditampungnya dalam liturgi itu sendiri, asal saja selaras dengan hakikat semangat liturgi yang benar dan asli. Inkulturasi yang tidak dilandasi pemahaman sejarah dan tradisi Gereja, serta jiwa budaya bangsa, hanya akan menciptakan liturgi yang palsu dan hampa.

          Inkulturasi liturgi adalah usaha mengupayakan agar liturgi sungguh dimengerti, difahami, diterima, dihayati secara pas, mengena dalam situasi budaya setempat. Inkulturasi liturgi adalah langkah sedikit demi sedikit ke arah penyesuaian yang mendalam sampai liturgi sungguh menjelma dan tampil dalam budaya setempat. Dalam rangka inkulturasi ini unsur-unsur budaya setempat yang mampu mengungkapkan iman diambil, sedangkan yang tidak mendukung ditinggalkan atau kalau mungkin dibersihkan sehingga akhirnya juga mampu menunjang pengungkapan dan perayaan iman; seperti "Yesus yang membersihkan kenisah dari penyelewengan- penyelewengan agar Allahlah yang menjadi arah dan tujuan perayaan ibadat".[1] Dengan demikian, inkulturasi menempatkan kepentingan Allah di atas segala-galanya.

         Inkulturasi dapat juga dirumuskan menjadi sebuah pertanyaan "Bagaimana usaha terus-menerus agar iman dihayati dalam budaya setempat". Di sini tolok ukur inkulturasi tidak melulu terletak pada ada tidaknya unsur budaya setempat, misalnya pakaian, musik, lagu, dsb, di dalam perayaan iman, melainkan apakah usaha itu menjamin iman lebih dihayati secara pas dan mengena di hati.

2. Etimologi Inkulturasi[2]

          Inkulturasi berasal dari kata asing: inculturatio (Latin) atau inculturation (Inggris). Kata inculturation terdiri dari dua kata: in ialah dalam, ke dalam, masuk. Cultur ialah pendidikan, kesopanan, kebudayaan. Jadi dari kata-katanya, inkulturasi berarti masuk dalam suatu kebudayaan; meresap ke dalam suatu kebudayaan; atau: menjelma dalam suatu kebudayaan.

Inkulturasi adalah upaya terus menerus agar liturgi sebagai perayaan iman umat menjadi lebih pas, mengena dengan cita rasa budaya setempat. Yang cocok, yang mendukung iman digunakan sementara yang tidak cocok dibuang, sehingga perpaduan/ perjumpaan iman dan budaya setempat sungguh pas.

3. Dasar-Dasar Teologis Inkulturasi 

         Dalam konsili vatikan II Gereja menyampaikan kepada Gereja lokal untuk memperbahrui dan menyegarkan kehidupan iman umat. Dalam hal ini gereja mencoba menyampaikan iman yang sesuai dengan budaya setempat. Gereja memulai pewartaan tersebut dengan jalan inkulturasi misalnya, menerjemahkan naskah-naskah liturgi berbahasa latin ke dalam bahasa umat setempat. Hal ini memudahkan pengungkapan penghayatan  iman kristiani yang selaras dengan citra rasa budaya dan iman umat. Proses inkulturasi harus sesuai dengan gambaran dasar inkulturasi teologi agar sesuai dengan yang diinginkan oleh Gereja.

3.1 Misteri Penjelmaan 

          Budaya-budaya yang bersifat plural yang ada dalam masyarakat setempat, seperti terdapat dalam kitab suci merupakan gambaran rencana keselamatan Allah yang ditentukan oleh keterikatan dangan Allah dan untuk mewujudkan keselamatan tersebut, Allah menjelma masuk kedalam kehidupan manusia yang sudah dimulai awal mula dunia diciptakan yang kemudian memuncak dalam diri Yesus Kristus. Karya keselamatan ini berlangsung secara terus-menerus sampai saat ini.[3]

         Penjelmaan Allah dalam diri Yesus Kristus mengandung banyak hal baru dan membutuhkan penafsiran. Penafsiran ini harus mempertahankan kebenaran kitab suci, sebagai sarana untuk menghadapai budaya yang pluralis dan universal. Untuk itu Gereja menerjamahkan tradisinya kedalam budaya setempat guna mewujudkan karya keselamatan Allah.

3.2 Misteri Paskah

          Perutusan Allah dalam diri Yesus Kristus memuncak dalam misteri paskah, yakni sengsara, wafat dan bangkit, guna menebus dosa manusia. Sebelum naik kesurga Yesus mengutus Para Rasul untuk mewartakan kabar gembira dan mewujudkan karya keselamatan Allah yang mereka wartakan. Gereja sebagai buah karya Para Rasul bertugas melanjutkan dan mewujudkan karya keselamatan Allah. Untuk itu gereja dalam karya pewartaannya menggunakan cara Yesus Kristus yang menginkarnasikan diri dan berdialog dengan budaya dimana Kristus berada. Berkaitan dengan karya keselamatan inilah Gereja melakukan inkulturasi dengan budaya setempat guna mewujudkan karya keselamatan Allah.[4]

3.3 Dinamika Kultural Gereja (Pentakosta)[5]

         Dalam peristiwa pentakosta, untuk pertama kalinya sabda Allah yang diwartakan oleh para rasul disampaikan dalam bahasa setempat, yang terjadi atas inisiatif Allah sendiri. Para Rasul selanjutnya mewartakan sabda Allah berdasarkan budaya setempat sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh umat. Hal ini kemudian dilihat oleh Gereja sebagai proses awal inkulturasi. Penyampaian sabda Allah dalam budaya setempat inilah yang kemudian mempersatukan beranekaragam bangsa dalam iman akan Yesus Kristus.   

4. Proses Inkulturasi

          Dalam Ad Gentes no. 10 dinyatakan bahwa gereja senantiasa harus mewartakan Kristus yang menjadi manusia. Pewartaan yang disampaikan hendaknya mampu menembus kedalam permenungan yang sebenarnya.[6] Maka dalam proses pewartaan, diperlukan media-media yang bisa  mendekatkan seseorang kedalam permenungan rohani. Salah satu cara yang dapat ditempuh ialah dengan proses inkulturasi, yakni proses dialog dengan budaya setempat.

          Proses dialog dengan budaya sudah dimulai oleh Paus Benediktus XV dalam dokumen Maximum Illud. Gereja yang berhadapan dengan budaya tentu berusaha untuk beradaptasi.[7] Penyesuaian itu dilaksanakan agar terjadi perjumpaan antara pewartaan gereja dan budaya. Inkulturasi (dialog dengan budaya) adalah pengakuan budaya setempat yang tampil dalam gereja dalam penghayatan iman. Di sisi lain, gereja juga harus menyesuaikan fungsi dalam tata perayaan dalam budaya dengan gereja, sehingga tidak ada kerancuan dalam fungsinya.

          Sebagai contoh: dalam budaya batak dikenal istilah gondang sabangunan, yang bagi orang batak merupakan bentuk penghormatan kepada Debata Mula Jadi Na Bolon (Allah tertinggi orang batak). Bentuk penghormatannya ialah berupa pemberian persembahan dengan diiringi oleh musik gondang ( dalam hal ini hanya gondang sabangunan yang boleh mengiringi). Hal serupa diangkat kedalam gereja Katolik. Gondang sabangunan sering digunakan untuk mengiringi tarian persembahan kepada Allah Tri Tunggal (khususnya bagi suku batak yang beragama katolik) pada saat perayaan Ekaristi kudus. Jika dilihat sekilas, peranan gondang sabangunan dalam kedua perayaan tersebut adalah sama, namun makna dari setiap kegiatan liturgisnya berbeda. Sehingga umat mampu untuk masuk ke dalam pengalaman rohani yang benar bersama Allah, bukan lagi dengan Debata Mula Jadi Na Bolon.

        Karena inkulturasi merupakan sarana untuk mencari konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai bagi manusia, maka inkulturasi melewati proses-proses pemilahan dalam gereja dan proses ini membutuhkan waktu yang lama. Gereja juga memiliki kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dalam proses inkulturasi tersebut. Budaya merupakan hasil dari akal budi manusia sekaligus hasil dari kepercayaan. Maka, apabila gereja hidup dalam suatu tempat yang memiliki budaya yang unik dan menarik, gereja berusaha untuk menggali nilai budaya setempat. Karena gereja sadar  bahwa dalam membangun jemaat, gereja perlu memahami segala ikatan dalam masyarakat termasuk budaya.

5. Manfaat Inkulturasi

         Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan seluruh jemaat, Gereja tidak ingin memaksakan suatu keseragaman yang kaku, bahkan dalam liturgi sekalipun.  Sebaliknya Gereja menghormati dan memajukan seni serta kekayaan yang menghiasi jiwa berbagai suku dan bangsa. Kekayaan yang dimaksud adalah semua hasil karya manusia yang adalah bentuk penghayatan nilai-nilai moral dan nilai-nilai lain.[8]

        Inkulturasi merupakan wujud nyata hidup dan pesan kristiani dalam suatu lingkungan budaya yang ada. Inkulturasi menjadi sarana dalam mewartakan injil. Injil dapat dengan mudah diterima, dihayati, dan diamalkan dalam konteks kebudayaan. inkulturasi juga dapat memperkaya kebudayaan. Ketika diwartakan hanya dengan ungkapan lahiriah, maka tidak ada kesinkronan dengan iman batiniah. Maka inkulturasi menjadi sangat penting.

        Tujuan penyesuaian bukan semata-mata untuk memberi kemudahan bagi gereja di tanah misi, tetapi untuk membuat liturgi siap dipakai dan relevan untuk setiap kebudayaan.  Untuk itu diperlukan keterbukaan terhadap Roh maupun keterbukaan kreatifitas manusia sedemikian rupa sehingga perubahan dan pembaharuan terjadi dan ciptaan baru dilahirkan. [9]

         Dalam lingkup kekristenan, inkulturasi menuntun umat agar hidup menjadi anak Allah sebagai anak-anak yang mendekati-Nya sebagai Bapak tercinta. Pengikutsertaan dalam hidup anak Allah itu bukan hanya status, melainkan panggilan dan tugas, yaitu ambil bagian dalam tugas pengutusan Yesus Kristus.  Inkulturasi juga untuk menghidupkan umat Allah agar mendasarkan diri dalam Roh Kudus. Arah usaha inkulturasi adalah keterbukaan dan ketatan terhadap Roh dalam setiap situasi umat dalam masyarakat. Itulah namanya ambil bagian dalam pengutusan Kristus.

6.  Refleksi Kritis

         Inkulturasi sebagai suatu upaya Gereja untuk mewartakan Karya Keselamatan Allah hendaknya terus dilakukan guna melanjutkan Karya Keselamatan Allah yang berlangsung terus menerus hingga saat ini. Karena dengan Inkulturasi Gereja bisa dengan mudah mewartakan Karya Keselamatan Allah sebagi tugas utamanya. Untuk itu dalam melakukan inkulturasi Gereja juga harus menyerupai Yesus semasa hidup-Nya yang melakukan pewartaan dengan masuk pada lingkungan dan budaya dimana Ia berada.

          Deawasa ini ada banyak proses Inkulturasi yang dilakukan oleh Gereja, terutama Gereja lokal. Misalnya Kitab Suci yang diterjemahkan kedalam bahasa setempat, musik liturgi yang disesuaikan dengan budaya setempat, dan tarian daerah yang dijadikan sebagai pembawa persembahan dalam perayaan Ekaristi. Semua ini bertujaun untuk mengungkapkan penghayatan  iman kristiani yang selaras dengan citra rasa budaya dan iman umat. Akan tetapi terkadang proses Inkulturasi yang dilakukan oleh Gereja lokal juga mengalami beberapa penyimpangan yang tidak sesuai dengan tradisi Gereja. Untuk itu perlu ditanamkan kepada Pemimpin dan umat di Gereja lokal bahwa proses Inkulturasi Gereja lokal yang dilakukan terhadap kebudayaan setempat hendaknya dapat memberikan penghormatan kepada Allah Pencipta, dan dapat memberi terang rahmat penebus yang dapat mengatur dan menata kehidupan Kristen yang baik.

7. Catatan Kaki

[1] Komisi Liturgi KWI, Kursus Dasar Teologi Liturgi ( Yogyakarta: 1990), hlm. 148.

[2] Komisi Liturgi KWI,... hlm. 150.

[3] Hubertus Muda SVD, Inkulturasi (Flores-NTT: Pustaka Misionalia Candraditya, 1992), hlm. 43.

[4] Hubertus Muda SVD, Inkulturasi,... hlm. 51.

[5] Fr. Arevalo SJ, Bina Liturgia I ( Jakarta: Obor, 1985), hlm. 40.

[6]  Bdk. Komisi Liturgi Mawi, "Pekan Inkulturasi Liturgi Nasional 1985" dalam Ekawarta, no. 3/V/1985, hlm. 8.

[7]Bdk. Komisi Liturgi Mawi,...

[8] Frans  S. Slytto dkk, Bina Liturgia I ( Jakarta: Obor, 1985), hlm. 5.

[9] Anscar J. Chupongco OSB, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya ( Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 94.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun