3.1 Misteri PenjelmaanÂ
     Budaya-budaya yang bersifat plural yang ada dalam masyarakat setempat, seperti terdapat dalam kitab suci merupakan gambaran rencana keselamatan Allah yang ditentukan oleh keterikatan dangan Allah dan untuk mewujudkan keselamatan tersebut, Allah menjelma masuk kedalam kehidupan manusia yang sudah dimulai awal mula dunia diciptakan yang kemudian memuncak dalam diri Yesus Kristus. Karya keselamatan ini berlangsung secara terus-menerus sampai saat ini.[3]
     Penjelmaan Allah dalam diri Yesus Kristus mengandung banyak hal baru dan membutuhkan penafsiran. Penafsiran ini harus mempertahankan kebenaran kitab suci, sebagai sarana untuk menghadapai budaya yang pluralis dan universal. Untuk itu Gereja menerjamahkan tradisinya kedalam budaya setempat guna mewujudkan karya keselamatan Allah.
3.2 Misteri Paskah
     Perutusan Allah dalam diri Yesus Kristus memuncak dalam misteri paskah, yakni sengsara, wafat dan bangkit, guna menebus dosa manusia. Sebelum naik kesurga Yesus mengutus Para Rasul untuk mewartakan kabar gembira dan mewujudkan karya keselamatan Allah yang mereka wartakan. Gereja sebagai buah karya Para Rasul bertugas melanjutkan dan mewujudkan karya keselamatan Allah. Untuk itu gereja dalam karya pewartaannya menggunakan cara Yesus Kristus yang menginkarnasikan diri dan berdialog dengan budaya dimana Kristus berada. Berkaitan dengan karya keselamatan inilah Gereja melakukan inkulturasi dengan budaya setempat guna mewujudkan karya keselamatan Allah.[4]
3.3 Dinamika Kultural Gereja (Pentakosta)[5]
     Dalam peristiwa pentakosta, untuk pertama kalinya sabda Allah yang diwartakan oleh para rasul disampaikan dalam bahasa setempat, yang terjadi atas inisiatif Allah sendiri. Para Rasul selanjutnya mewartakan sabda Allah berdasarkan budaya setempat sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh umat. Hal ini kemudian dilihat oleh Gereja sebagai proses awal inkulturasi. Penyampaian sabda Allah dalam budaya setempat inilah yang kemudian mempersatukan beranekaragam bangsa dalam iman akan Yesus Kristus.  Â
4. Proses Inkulturasi
     Dalam Ad Gentes no. 10 dinyatakan bahwa gereja senantiasa harus mewartakan Kristus yang menjadi manusia. Pewartaan yang disampaikan hendaknya mampu menembus kedalam permenungan yang sebenarnya.[6] Maka dalam proses pewartaan, diperlukan media-media yang bisa  mendekatkan seseorang kedalam permenungan rohani. Salah satu cara yang dapat ditempuh ialah dengan proses inkulturasi, yakni proses dialog dengan budaya setempat.
     Proses dialog dengan budaya sudah dimulai oleh Paus Benediktus XV dalam dokumen Maximum Illud. Gereja yang berhadapan dengan budaya tentu berusaha untuk beradaptasi.[7] Penyesuaian itu dilaksanakan agar terjadi perjumpaan antara pewartaan gereja dan budaya. Inkulturasi (dialog dengan budaya) adalah pengakuan budaya setempat yang tampil dalam gereja dalam penghayatan iman. Di sisi lain, gereja juga harus menyesuaikan fungsi dalam tata perayaan dalam budaya dengan gereja, sehingga tidak ada kerancuan dalam fungsinya.
     Sebagai contoh: dalam budaya batak dikenal istilah gondang sabangunan, yang bagi orang batak merupakan bentuk penghormatan kepada Debata Mula Jadi Na Bolon (Allah tertinggi orang batak). Bentuk penghormatannya ialah berupa pemberian persembahan dengan diiringi oleh musik gondang ( dalam hal ini hanya gondang sabangunan yang boleh mengiringi). Hal serupa diangkat kedalam gereja Katolik. Gondang sabangunan sering digunakan untuk mengiringi tarian persembahan kepada Allah Tri Tunggal (khususnya bagi suku batak yang beragama katolik) pada saat perayaan Ekaristi kudus. Jika dilihat sekilas, peranan gondang sabangunan dalam kedua perayaan tersebut adalah sama, namun makna dari setiap kegiatan liturgisnya berbeda. Sehingga umat mampu untuk masuk ke dalam pengalaman rohani yang benar bersama Allah, bukan lagi dengan Debata Mula Jadi Na Bolon.