1. Pendahuluan
     Perkembangan dunia modern, selain mempengaruhi pola hidup manusia dalam membangun dunia juga mempengaruhi pola pengungkapan dan perayaan iman yang juga disebut: liturgi. Gereja, khususnya sejak Konsili Vatikan II, makin sadar bahwa tatacara liturgi yang mereka warisi terlalu kaku, kurang sesuai dengan zaman. Maka perlu diadakan pembaharuan, agar liturgi sungguh-sungguh menjadi bagian hidup konkret umatnya, bukan suatu perayaan di luar dirinya.
     Dalam usaha tersebut, Gereja menawarkan pembaharuan tanpa harus menciptakan tata liturgi yang sama sekali baru, tetapi dengan jalan inkulturasi. Inkulturasi dalam liturgi berarti menjelmakan liturgi ke dalam kebudayaan setempat atau mengangkat nilai-nilai budaya setempat yang sesuai dan benar ke dalam liturgi. Prosedur yang diusulkan Konsili adalah prosedur integrasi, dengan mencontoh Kristus yang "mengikatkan diri" dengan bangsa-Nya, bangsa dimana Ia tinggal dan hidup. Ini berarti bahwa Gereja tidak dapat tetap menjadi orang asing di tengah suatu bangsa dengan siapa dia hidup; dia harus menjadi anak bangsa itu. Prosedur yang sama telah ditempuh Gereja dalam ziarah keselamatannya di seluruh dunia dan sepanjang masa. Dan karena itu, tidak mengherankan bahwa dalam khazanah liturgi Gereja kita jumpai aneka ragam kekayaan budaya yang ditimba Gereja dari berbagai kebudayaan yang dijumpainya dalam ziarah keselamatan tersebut.
     Peraduan antara liturgi kristen dan kebudayaan asli memerlukan penyesuaian pada kedua pihak. Dalam hal ini, menyebarluaskan amanat kristen tidak boleh begitu saja menghapus atau membinasakan nilai-nilai kultur dan spiritual yang merupakan kekayaan suatu bangsa yang tak terkatakan nilainya. Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan seluruh jemaat, Gereja tidak ingin memaksakan suatu keseragaman yang kaku, bahkan dalam liturgi pun tidak. Sebaliknya, Gereja menghormati dan memajukan seni dan kekayaan yang menghiasi jiwa berbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebudayaan bangsa-bangsa yang tidak terikat mati pada takhyul atau ajaran sesat, dipertimbangkan Gereja dengan rela hati dan kalau mungkin dipeliharanya utuh-murni. Bahkan kadang-kadang ditampungnya dalam liturgi itu sendiri, asal saja selaras dengan hakikat semangat liturgi yang benar dan asli. Inkulturasi yang tidak dilandasi pemahaman sejarah dan tradisi Gereja, serta jiwa budaya bangsa, hanya akan menciptakan liturgi yang palsu dan hampa.
     Inkulturasi liturgi adalah usaha mengupayakan agar liturgi sungguh dimengerti, difahami, diterima, dihayati secara pas, mengena dalam situasi budaya setempat. Inkulturasi liturgi adalah langkah sedikit demi sedikit ke arah penyesuaian yang mendalam sampai liturgi sungguh menjelma dan tampil dalam budaya setempat. Dalam rangka inkulturasi ini unsur-unsur budaya setempat yang mampu mengungkapkan iman diambil, sedangkan yang tidak mendukung ditinggalkan atau kalau mungkin dibersihkan sehingga akhirnya juga mampu menunjang pengungkapan dan perayaan iman; seperti "Yesus yang membersihkan kenisah dari penyelewengan- penyelewengan agar Allahlah yang menjadi arah dan tujuan perayaan ibadat".[1] Dengan demikian, inkulturasi menempatkan kepentingan Allah di atas segala-galanya.
     Inkulturasi dapat juga dirumuskan menjadi sebuah pertanyaan "Bagaimana usaha terus-menerus agar iman dihayati dalam budaya setempat". Di sini tolok ukur inkulturasi tidak melulu terletak pada ada tidaknya unsur budaya setempat, misalnya pakaian, musik, lagu, dsb, di dalam perayaan iman, melainkan apakah usaha itu menjamin iman lebih dihayati secara pas dan mengena di hati.
2. Etimologi Inkulturasi[2]
     Inkulturasi berasal dari kata asing: inculturatio (Latin) atau inculturation (Inggris). Kata inculturation terdiri dari dua kata: in ialah dalam, ke dalam, masuk. Cultur ialah pendidikan, kesopanan, kebudayaan. Jadi dari kata-katanya, inkulturasi berarti masuk dalam suatu kebudayaan; meresap ke dalam suatu kebudayaan; atau: menjelma dalam suatu kebudayaan.
Inkulturasi adalah upaya terus menerus agar liturgi sebagai perayaan iman umat menjadi lebih pas, mengena dengan cita rasa budaya setempat. Yang cocok, yang mendukung iman digunakan sementara yang tidak cocok dibuang, sehingga perpaduan/ perjumpaan iman dan budaya setempat sungguh pas.
3. Dasar-Dasar Teologis InkulturasiÂ
     Dalam konsili vatikan II Gereja menyampaikan kepada Gereja lokal untuk memperbahrui dan menyegarkan kehidupan iman umat. Dalam hal ini gereja mencoba menyampaikan iman yang sesuai dengan budaya setempat. Gereja memulai pewartaan tersebut dengan jalan inkulturasi misalnya, menerjemahkan naskah-naskah liturgi berbahasa latin ke dalam bahasa umat setempat. Hal ini memudahkan pengungkapan penghayatan  iman kristiani yang selaras dengan citra rasa budaya dan iman umat. Proses inkulturasi harus sesuai dengan gambaran dasar inkulturasi teologi agar sesuai dengan yang diinginkan oleh Gereja.