Artikel ini disusun dengan tujuan untuk memberikan perspektif filosofis dalam menganalisis kebijakan pendidikan melalui pandangan Aristoteles, yaitu logos, ethos, dan pathos. Penulis tidak bermaksud untuk mempromosikan atau mengkritik kebijakan tertentu, melainkan hanya menyediakan kerangka analisis yang dapat digunakan untuk memahami lebih dalam aspek-aspek retorika dalam kebijakan pendidikan. Semua pandangan yang diutarakan bersifat subjektif dan tidak mencerminkan pandangan resmi dari institusi manapun.
Sebagai bagian dari pembelajaran dan diskusi akademis, esai ini mengajak pembaca untuk merenungkan dan berdialog mengenai cara kita memahami dan mengevaluasi kebijakan pendidikan. Penulis menghargai berbagai pendapat dan sudut pandang yang mungkin berbeda, serta berharap artikel ini dapat menjadi titik awal untuk diskusi yang konstruktif dan kritis. Selanjutnya mari kita mulai!.
Pendidikan adalah fondasi peradaban? ya itu benar, sebelum itu sebenarnya peradaban yang lebih tepat adalah "bangsa" itu sendiri yang selanjutnya mengelola Negara yang berdaulat dengan segala persiapan SDM untuk mengelola dan mengendalikan SDA. Namun, dalam hiruk-pikuk birokrasi dan tumpukan kertas, seringkali esensi dari pendidikan itu sendiri terlupakan. Melalui kacamata Aristoteles, filsuf Yunani yang terkenal dengan konsep logos, ethos, dan pathos, kita dapat menganalisis secara kritis kebijakan pendidikan yang ada saat ini. Apakah kebijakan tersebut benar-benar memberdayakan pendidik dan peserta didik, atau justru membelenggu mereka dalam jerat administratif yang tak berujung?
Logos: Logika di Balik Kebijakan
Aristoteles mengajarkan bahwa logos merupakan "penggunaan logika dan bukti untuk membangun argumentasi". Jika kita terapkan pada kebijakan pendidikan, pertanyaan pertama yang muncul sebagai berikut;
- Apakah kebijakan yang ada logis dan didukung oleh bukti yang kuat?
- Apakah kurikulum yang padat dan ujian yang berfokus pada hafalan benar-benar efektif dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan abad ke-21?
- Apakah beban administratif yang berlebihan pada guru benar-benar meningkatkan kualitas pembelajaran, atau justru mengalihkan fokus mereka dari tugas utama?
Kritik terhadap kebijakan pendidikan seringkali berpusat pada kurangnya landasan logis dan bukti empiris yang kuat. Banyak kebijakan yang terkesan dibuat secara top-down tanpa melibatkan guru dan kepala sekolah sebagai pihak yang paling memahami kondisi lapangan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan seringkali tidak relevan dan sulit diterapkan. Imbas atau dampak ini akan dirasakan ketika mereka berada di Pendidikan Tinggi (dikti). Adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pendidikan dasar dan menengah dengan tuntutan di tingkat pendidikan tinggi menciptakan kesenjangan dalam kemampuan dan keterampilan mahasiswa.
Ketidaksinkronan ini dapat dilihat dari beberapa aspek:
Aspek kompetensi Kritis dan Analitis: Kurikulum yang terlalu menekankan pada hafalan kurang mendorong pengembangan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Padahal, di tingkat pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut untuk mampu berpikir kritis, melakukan analisis, dan memecahkan masalah secara mandiri.
Aspek keterampilan Praktis: Kurikulum yang ada seringkali tidak memberikan ruang yang cukup untuk pengembangan keterampilan praktis. Di banyak negara maju, sistem pendidikan menengah sudah mulai memperkenalkan proyek dan pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) yang langsung relevan dengan tuntutan dunia kerja. Namun, di Indonesia, fokus pembelajaran masih banyak pada teori dan kurang pada praktik.
Aspek kesesuaian Kurikulum dengan Tuntutan Industri: Ketidaksesuaian antara kurikulum sekolah menengah dengan kebutuhan industri juga menjadi masalah. Di pendidikan tinggi, banyak mahasiswa yang merasa kurang siap menghadapi dunia kerja karena tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Industri menuntut keterampilan seperti kemampuan berkomunikasi, kerja tim, dan penggunaan teknologi yang tidak banyak diajarkan di sekolah.
Aspek dasar Hukum dan Kebijakan: Dasar hukum dan kebijakan pendidikan di Indonesia seringkali tidak konsisten. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan pendidikan yang merata dan berkualitas. Namun, implementasi kebijakan ini seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kurangnya pelibatan para pemangku kepentingan pendidikan dalam perumusan kebijakan menjadi salah satu penyebab utama.
Konsep Teoritis dalam Pendidikan: Teori pendidikan modern seperti teori konstruktivis menekankan pentingnya siswa membangun pengetahuan melalui pengalaman dan interaksi sosial. Namun, pendekatan ini belum diimplementasikan dengan baik di banyak sekolah di Indonesia. Sebaliknya, model pembelajaran yang digunakan masih banyak yang bersifat tradisional dan berpusat pada guru (teacher-centered).
Kondisi ketidaksinkronan antara "pendidikan dasar dan menengah dengan pendidikan tinggi" mengakibatkan beberapa implikasi yang signifikan:
- Adaptasi Mahasiswa: Mahasiswa baru sering kali kesulitan beradaptasi dengan metode pembelajaran di perguruan tinggi yang lebih mandiri dan berbasis penelitian.
- Kesenjangan Keterampilan: Ada kesenjangan yang nyata antara keterampilan yang dimiliki lulusan sekolah menengah dengan keterampilan yang dibutuhkan di perguruan tinggi dan dunia kerja.
- Tingkat Kesiapan: Mahasiswa yang tidak terbiasa berpikir kritis dan analitis cenderung mengalami kesulitan dalam mengikuti perkuliahan yang menuntut kemampuan tersebut.
Untuk mengatasi masalah ketidaksinkronan ini, perlu dilakukan reformasi dalam sistem pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan pendidikan harus didasarkan pada bukti empiris dan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk guru dan kepala sekolah. Pendekatan pembelajaran harus lebih mengedepankan pengembangan keterampilan praktis, berpikir kritis, dan analitis yang sesuai dengan tuntutan di pendidikan tinggi dan dunia kerja.
Dengan demikian, diharapkan akan tercipta keselarasan antara berbagai jenjang pendidikan dan mahasiswa dapat lebih siap menghadapi tantangan di masa depan (secara ringkas antara Dikdasmen dengan Dikti tidak terjadi gap/kesenjangan kompetensi para lulusan untuk melanjutkan di Dikti).
Ethos: Kredibilitas Pembuat Kebijakan
Ethos berkaitan dengan kredibilitas dan karakter pembuat kebijakan. Dalam konteks pendidikan, pertanyaan yang muncul adalah: apakah para pembuat kebijakan memiliki kredibilitas dan pemahaman yang mendalam tentang dunia pendidikan? Apakah mereka mendengarkan suara guru, kepala sekolah, dan siswa? Apakah mereka terbuka terhadap kritik dan masukan dari berbagai pihak?
Kurangnya ethos dalam pembuatan kebijakan pendidikan dapat menyebabkan ketidakpercayaan dan resistensi dari para pemangku kepentingan. Guru dan kepala sekolah merasa tidak didengar dan tidak dihargai, sehingga sulit untuk mendukung kebijakan yang dibuat. Berikut ini adalah analisis lebih lanjut mengenai pentingnya ethos dalam pembuatan kebijakan pendidikan, dasar hukum yang mendukungnya, serta beberapa konsep teoritis yang relevan.
Jika kita diamati dan analisis, menurut penulis bahwa pentingnya Ethos dalam Kebijakan Pendidikan sebagai berikut;
Kredibilitas dan Kepercayaan: Kredibilitas seorang pembuat kebijakan ditentukan oleh sejauh mana mereka memahami isu-isu yang ada, memiliki pengalaman yang relevan, dan menunjukkan integritas dalam keputusan yang diambil. Dalam pendidikan, kebijakan yang tidak berdasar pada pemahaman mendalam tentang dinamika kelas, kurikulum, dan kebutuhan siswa cenderung kurang efektif. Kredibilitas ini bisa dibangun melalui pengalaman praktis di lapangan atau melalui konsultasi yang intensif dengan praktisi pendidikan.
Keterlibatan Pemangku Kepentingan: Mendengarkan dan melibatkan guru, kepala sekolah, dan siswa dalam proses pembuatan kebijakan adalah kunci untuk membangun kebijakan yang relevan dan diterima dengan baik. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kualitas kebijakan tetapi juga memastikan bahwa kebijakan tersebut mendapatkan dukungan penuh dari mereka yang terlibat langsung dalam implementasinya.
Resistensi dan Implementasi: Ketika pembuat kebijakan dianggap tidak kredibel, resistensi terhadap kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih besar. Hal ini dapat menghambat implementasi kebijakan tersebut, bahkan jika kebijakan tersebut sebenarnya memiliki potensi untuk membawa perubahan positif. Oleh karena itu, membangun kredibilitas adalah langkah pertama yang krusial untuk memastikan kebijakan dapat diimplementasikan secara efektif.
Adapun dasar hukum sebagai legitimasinya (keabsahannya);
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional: Dalam banyak negara, undang-undang pendidikan menggariskan perlunya konsultasi dan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan pendidikan. Di Indonesia, misalnya, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan: Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan sering kali juga mencerminkan prinsip keterlibatan dan konsultasi dengan berbagai pihak. Peraturan ini menjadi dasar hukum bagi pembuat kebijakan untuk mengikutsertakan suara guru, kepala sekolah, dan siswa dalam proses pengambilan keputusan.
Kemudian dilanjutkan dengan kajian teoritis menurut beberapa hal, yaitu:
Teori Etika Aristotelian: Menurut Aristoteles, ethos adalah salah satu dari tiga mode persuasi dalam retorika, bersama dengan logos (logika) dan pathos (emosi). Ethos mengacu pada kredibilitas dan karakter pembicara atau pembuat kebijakan. Dalam konteks pendidikan, ethos dapat dipahami sebagai kualitas karakter dan kompetensi yang membuat seorang pembuat kebijakan dipercaya dan diikuti oleh para pemangku kepentingan.
Teori Legitimitas: Teori ini mengemukakan bahwa legitimasi kebijakan publik tergantung pada sejauh mana kebijakan tersebut dianggap sah dan pantas oleh masyarakat. Dalam pendidikan, legitimasi ini dapat dicapai melalui transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif dari semua pihak yang berkepentingan.
Teori Partisipasi Publik: Teori ini menekankan pentingnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Partisipasi ini memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, sehingga meningkatkan peluang untuk sukses dalam implementasinya.
Ethos, atau kredibilitas dan karakter pembuat kebijakan, memainkan peran penting dalam menentukan efektivitas kebijakan pendidikan. Dengan memahami isu-isu yang ada, mendengarkan suara para pemangku kepentingan, dan menunjukkan integritas serta keterbukaan terhadap kritik, pembuat kebijakan dapat membangun kepercayaan dan dukungan yang diperlukan untuk suksesnya implementasi kebijakan. Dasar hukum dan konsep teoritis yang ada juga mendukung pentingnya keterlibatan dan konsultasi dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan.
Dengan demikian, memastikan ethos yang kuat di antara pembuat kebijakan bukan hanya penting tetapi juga esensial untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik.
Pathos: Menggugah Nurani Melalui Pendidikan
Pathos merupakan daya tarik emosional yang dapat membangkitkan perasaan dan empati. Dalam konteks pendidikan, pathos dapat digunakan untuk mengingatkan kita akan tujuan utama pendidikan, yaitu mengembangkan potensi siswa secara holistik, bukan hanya mencetak lulusan yang pandai menghafal.
Cerita-cerita inspiratif tentang guru yang berdedikasi, siswa yang berprestasi di tengah keterbatasan, atau sekolah yang berhasil menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, dapat menjadi pengingat akan pentingnya pendidikan yang bermakna. Pathos dapat membantu kita melihat kebijakan pendidikan tidak hanya sebagai sekumpulan aturan, tetapi juga sebagai upaya untuk mewujudkan mimpi dan harapan generasi muda.
Dalam pendidikan, penggunaan pathos dapat merangkul berbagai aspek yang mempengaruhi emosi dan perasaan peserta didik serta pendidik. Beberapa aspek tersebut antara lain:
Kisah Inspiratif dan Motivasi:
- Menghadirkan cerita-cerita tentang perjuangan dan kesuksesan siswa dan guru dapat memotivasi individu lain untuk tetap berusaha dan berjuang dalam dunia pendidikan. Misalnya, kisah seorang siswa dari daerah terpencil yang berhasil masuk ke universitas ternama melalui kerja keras dan dukungan dari gurunya.
- Contoh Kisah Nyata: Kisah siswa yang belajar di bawah lampu jalan karena tidak ada listrik di rumah, tetapi akhirnya berhasil memenangkan olimpiade sains nasional.
Lingkungan Belajar yang Mendukung:
- Menciptakan suasana sekolah yang positif dan menyenangkan dapat membuat siswa merasa nyaman dan termotivasi untuk belajar. Pathos dalam konteks ini dapat digunakan untuk menggambarkan pentingnya dukungan emosional dari guru dan teman sebaya.
- Studi Kasus: Sekolah yang menerapkan pendekatan pendidikan yang inklusif, di mana semua siswa merasa diterima dan dihargai, dapat meningkatkan semangat belajar dan partisipasi siswa.
Peran Guru sebagai Inspirator:
- Guru yang penuh dedikasi dan mampu membangun hubungan emosional dengan siswanya sering kali menjadi inspirasi dan pendorong semangat belajar. Pathos dapat menggambarkan betapa pentingnya peran guru tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai pembimbing dan motivator.
- Pengalaman Nyata: Guru yang rela mengunjungi rumah siswa untuk memberikan bimbingan tambahan atau sekadar memberikan semangat belajar.
Pathos dalam pendidikan juga perlu dipahami dalam kerangka dasar hukum dan kebijakan pendidikan yang ada. Beberapa dasar hukum yang relevan antara lain:
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003):
- UU ini menekankan pentingnya pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi siswa, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Penggunaan pathos dapat membantu menekankan tujuan holistik dari pendidikan yang diamanatkan oleh UU ini.
Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan:
- Standar Nasional Pendidikan mengatur berbagai aspek yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan untuk memastikan kualitas pendidikan yang baik. Pathos dapat digunakan untuk mengilustrasikan bagaimana penerapan standar ini dapat berdampak positif terhadap perkembangan emosional dan intelektual siswa.
Beberapa konsep teoritis yang relevan dengan penggunaan pathos dalam pendidikan antara lain:
Teori Konstruktivisme:
- Menurut teori konstruktivisme, pembelajaran adalah proses aktif di mana siswa membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman dan interaksi mereka dengan lingkungan. Penggunaan pathos dapat memperkaya pengalaman belajar dengan menambahkan elemen emosional yang kuat.
Teori Kecerdasan Emosional:
- Kecerdasan emosional mencakup kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks pendidikan, mengembangkan kecerdasan emosional siswa dapat membantu mereka menjadi individu yang lebih berempati dan mampu bekerja sama dengan baik dalam kelompok.
Teori Motivasi:
- Teori motivasi, seperti teori Maslow tentang hierarki kebutuhan, menyatakan bahwa kebutuhan emosional dan psikologis harus dipenuhi sebelum individu dapat mencapai potensi penuh mereka. Penggunaan pathos dapat membantu memenuhi kebutuhan ini dengan memberikan dukungan emosional dan motivasi yang diperlukan.
Pathos memainkan peran penting dalam dunia pendidikan dengan menggugah nurani dan emosi, baik bagi siswa maupun pendidik. Melalui cerita inspiratif, lingkungan belajar yang mendukung, dan peran guru sebagai inspirator, pathos dapat memperkaya proses pendidikan. Dengan memahami dasar hukum dan kebijakan pendidikan, serta konsep teoritis yang mendukung penggunaan pathos, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih empatik dan holistik.
Dengan demikian, pathos tidak hanya membantu dalam pembelajaran tetapi juga dalam membangun karakter dan kepribadian siswa yang lebih baik. Pendidikan yang berbasis pada empati dan dukungan emosional ini akan menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kepedulian sosial dan emosional yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H