Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 25, Bumi Kenyalang) - Angin yang Menerbangkan

7 April 2024   09:43 Diperbarui: 7 April 2024   09:47 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

            Angin terasa sedikit berubah, ada kesejukan yang tiba-tiba muncul, menyela kehangatan yang tadi melingkupi. Abdi membuka kedua mata, tubuhnya seakan-akan ingin sekali bergerak. Sejenak terbesit keinginan untuk berjalan dan merenggangkan otot, ia teringat kalau tadi bersama dengan Imam Hassan. Dilihatnya ke samping terlihat onggokan akar yang mencuat keluar dari tanah, ternyata pohon yang disandarinya cukup besar. Sedikit panik, ia segera berdiri dan melihat ke arah balik pohon. Tampak agak jauh darinya beberapa orang sedang berdiri dan bercakap-cakap, salah seorang terlihat tua namun sangat kekar dan ceria. Perasaan lega segera menghinggapinya, ia berjalan dengan sedikit berlari ke arah Imam Hassan dan beberapa orang yang sepertinya membawa banyak sekali peralatan, beberapa diantaranya dikenali Abdi.

"Layang-layang..." kata-kata keluar dari mulutnya.

            Imam Hassan segera menoleh ke arah Abdi dan tersenyum,

"Ah, iya, aku datang bersama dengan seorang rekan, namanya Abdi," orang-orang yang berada di sekitar Imam Hassan menoleh kepadanya.

            "Hmm.. sepertinya sudah Ashar, bagaimana kalau kita sholat berjamaah dulu sebelum kalian memulai menerbangkan layang-layang dan alat itu ?" tanya Imam Hassan.

            "Ah, iya, baik Imam Hassan, kami juga berencana melaksanakan sholat di atas bukit ini," jawab salah seorang dari mereka

            "Kalau begitu..." Imam Hassan memegang pundak Abdi yang baru sampai ke tempatnya berdiri.

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "Kau lantunkan Adzan dan Iqamah.. tidak ada air.. tayammum saya rasa?" Imam Hassan menoleh kembali ke arah rombongan yang dibalas dengan anggukan.

            "Baiklah, hmm.. ada sesuatu yang bersihkah untuk bisa dijadikan sajadah?"

            "Ah, kami membawa kain yang cukup besar kok, bisa kita jadikan sajadah, eh, bahannya cukup kuat," ujar salah seorang dari mereka.

            "Bagus kalau begitu, bagaimana kalau di dekat pohon besar itu, lebih sejuk soalnya."

            Imam Hassan memimpin sholat ashar. Abdi sangat menikmati sholat Ashar berjamaah ini sambil merasakan sejuknya udara sore hari. Ketika sujud ia dapat merasakan sajadah yang menjadi tumpuan ujung keningnya, terasa tebal dan licin. Pada sujud yang kedua ia mendapat kesan bahan untuk membuatnya pastilah sangat kuat. Entah mengapa, ia juga merasa amat sangat nyaman. Seusai sholat, Abdi tak tahan dan segera menanyakan apa yang ada dalam pikirannya.

"Hmm.. bahannya bagus sekali, ini terbuat dari apa ya..." tanpa disadari kata-kata sudah meluncur keluar dari mulutnya.

            "Oh, ini..." seorang pemuda yang berada persis di belakangnya membuat Abdi terkejut dan menoleh ke belakang.

            "Ini terbuat dari bahan nilon, bahan yang sama yang digunakan untuk membuat benang layang-layang..." jawabnya.

            "Waah, luar biasa, pantas..."

            "Benang layang-layang nilon kan memang salah satu bahan yang sangat kuat, ternyata bisa dibuat kain sebesar ini ya..." Abdi meneruskan komentarnya.

            "Iya, benar, layang-layang menjadi permainan favorit para pelajar di sini. Bahan nilon yang menjadi bahan utama untuk pembuatan benangnya ternyata bisa diolah lebih lanjut menjadi kain besar untuk paralayang" jelasnya.

            "Para eh.. layangan ya?"

            "Bukan Abdi, mereka menerbangkan orang dengan kain ini, tadi para mahasiswa ini sudah menceritakannya padaku, benar kan?" Imam Hassan menyela sambil tersenyum. Pertanyaan yang segera dijawab dengan aggukan para pemuda.

            "Eh, terbang.. terbang dengan ini..." suara Abdi seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan, raut mukanya tampak serius ketika melihat kain sajadah dan langit di atas. Hanya gelak tawa ringan yang sesaat memenuhi lapangan luas di atas bukit itu.

            Sekitar satu jam kemudian terlihat di langit beberapa bentuk yang mudah dikenali, seperti ikan besar, kupu-kupu, burung, dan bentuk ketupat yang mendominasi hampir di setiap sudut.

            Imam Hassan berkeliling melihat satu-satu sambil mengobrol ringan dengan orang-orang di sana, yang sekarang sudah bercampur baur dengan masyarakat sekitar. Ternyata kegiatan ini merupakan hiburan yang sangat diminati mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sementara itu Abdi berdiri di dekat ujung bukit untuk melihat para mahasiswa yang tadi berkata akan 'terbang' dengan kain alas sujudnya. Ia masih belum percaya dengan kata-kata para mahasiswa, bahkan hingga saat ini.

            Abdi berdiri tak jauh dari tempat yang diistilahkan dengan tempat 'tinggal landas', entah apa maksudnya, namun ia sangat sabar menunggu hingga satu jam setelah sholat Ashar berjamaah. Akhirnya setelah persiapan yang cukup lama, salah seorang dari mahasiswa yang tadi memasang beberapa tali di tubuhnya membuka kain ke atas. Kain itu memanjang ditiup angin dan menarik tubuhnya sesaat, namun tak bisa membawanya terbang.

            "Belum itu mas Abdi, tunggu nanti setelah ia loncat dari atas tebing..." ujar salah seorang mahasiswa yang sepertinya bisa berbahasa jawa.

            "Eh, iya, tak kira tadi..." belum sempat Abdi menyelesaikan kata-katanya, mahasiswa yang membawa kain terbentang itu berlari ke ujung bukit dan melompat. Kengerian sempat muncul di benaknya, tetapi pemandangan selanjutnya membuat seluruh perasaan Abdi ikut melayang bersama orang yang ternyata tidak jatuh namun terbang di angkasa.

            "Terbang.. ia benar-benar terbang..." mata Abdi terpaku pada pemandangan yang menurutnya sangat menakjubkan, membuat seluruh khayalannya seakan ada di dunia nyata.

            "Sudah lama aku membayangkan.. berkhayal.. dari kecil..."

            "Untuk terbang?" tanya mahasiswa tadi.

            "Ya.. terbang.. luar biasa..." dilihatnya mahasiswa yang terbang tadi berbelok ke arah kanan melawan sedikit arah angin yang berhembus, ia pun kembali fokus melihat, mulutnya ternganga.

            "Kalau anginnya tidak begitu kencang seperti sekarang sangatlah menyenangkan. Oh iya, dia akan mendarat di sebelah sungai itu," ucap mahasiswa tadi.

            "Eh, sungai! Sungai itu maksudmu?" Abdi menunjuk ke arah sebelah kiri.

            "Yap, benar mas Abdi."

            "Hueebaat, woow.. Berarti nanti dia belok ke kiri ya, eh itu sekarang dia belok!" di depan, mahasiswa itu berbelok ke kiri, menyusuri kumpulan tenda yang berisi prajurit mataram, menuju ke arah aliran sungai.

            "Pasti mereka melihatnya.. hmm.. kalau mereka bertanya itu apa..." pikiran Abdi berjalan cepat, Ia terus memperhatikan dan setelah beberapa menit berlalu mahasiswa yang terbang tadi menyusuri sungai dan yang dari kejauhan tampak seperti gerombolan kambing mencari makan di rerumputan sebelahnya. Mahasiswa itu pun mendarat di padang rumput yang bersebelahan dengan sungai. Pikiran Abdi ikut mendarat dan ia pun sudah memutuskan, sekilas teringat olehnya Dalem yang menghabiskan jatah domba sangat banyak ketika di kapal, bahkan di Malaka pun ia makan berbagai macam hidangan di hotel tempat mereka menginap, sementara Abdi tidak makan sebanyak Dalem. Sekarang gilirannya lah untuk menggunakan beberapa keping pemberian Raden Eru.

            "Hmm.. aku bisa mencobanya kan? Maksudku.. berapa harganya jika kubeli ?" tanya Abdi tersenyum riang kepada para mahasiswa.  

~

            Pegangannya erat di kedua gagang yang tersambung dengan tali ke kain paralayang. Kain itu kini terbuka lebar karena dorongan angin ke arah belakang. Agak sedikit tertarik ke atas, ia dengan mantab berhasil mempertahankan kedua kakinya untuk tetap menyentuh tanah. Diambilnya ancang-ancang dari jarak hanya sekitar lima meter dari tebing, ia pun berlari dan di ujung tebing segeralah ia meloncat menuju angkasa. Awan terasa amat dekat, andai saja ia bisa terbang ke atas sedikit lagi pastilah awan-awan itu bisa digapai oleh kedua tangannya. Segala sesuatunya seolah-olah seperti bisa diraih, dengan gerakan tangan menarik gagang ke bawah ia bisa berbelok ke kiri dan ke kanan. Di depan tampak beberapa kuda berderap melangkah menuju ke atas bukit, ia berniat untuk terbang di atasnya dan berbelok. Ditariknya gagang di tangan kanan sedikit ke bawah supaya belokannya tidak terlalu tajam. Dengan mulus ia pun berbelok, dari bawah seakan-akan burung besar muncul dari balik pepohonan, membuat beberapa penunggang melongok dari atas kuda mereka. Dengan cepat paralayangnya berhasil mendahului kuda-kuda tadi dan ia pun berbelok kembali ke kiri karena di depannya terhampar bukit. Dia menuju aliran sungai sangat panjang yang dilihatnya di hari pertama terbang. Kali ini dia sendiri, berbeda dengan tiga kali penerbangan pertama yang dilakukannya bersama dengan seorang mahasiswa yang sudah mahir.

            Sungai itu amat bersih, ia teringat siluet cukup besar berenang di deretan depan dan berhasil sampai finish. Ia pun teringat orang-orang yang berguguran dan terbaring di tanah ketika lomba lari naik dan turun beberapa bukit dilaksanakan, wajah Dalem yang riang karena berhasil sampai finish tak bisa ia lupakan, ia sangat senang, bahkan esoknya ia menghabiskan hampir satu ekor domba sendirian. Kali ini tanpa protes dari dirinya sedikitpun, ia pun ikut bangga karena rekannya itu berhasil bertahan hingga babak ketiga yang dilaksanakan hari ini, hari keempatnya mencoba berparalayang.

            Akhirnya setelah menyusuri sungai dilihatnya sekumpulan kambing yang merumput di barisan sebelah kiri, ini berarti ia hampir sampai ke tujuan, tempat mendarat yang cukup aman karena rumputnya pendek, lebat serta kontur tanahnya tidak terlalu keras. Begitu melihat tempat itu Abdi menarik kedua gagang ke bawah supaya arah terbangnya lurus dan agak melambat sehingga ia bisa menjejakkan kedua kakinya.

            Kali ini ia tidak terjerembab dan jatuh, tapi tetap berdiri dan dengan tenang berjalan ke depan setelah berhasil menarik tali dan kain paralayangnya. Senyumnya cukup lebar ketika ia berjalan menuju orang yang telah menunggu sejak tadi. Imam Hassan tampak sangat gembira melihat perkembangan Abdi yang luar biasa cepat, hanya dalam empat hari berparalayang ia sudah menguasainya sedemikian pesat.

            "Bakat alam! Itu bakat alam namanya nak! Alhamdulillah tak kusangka secepat itu kau bisa menguasainya."

            "Alhamdulillah..." senyum Abdi.

            "Memang sudah dari kecil aku membayangkan untuk terbang Imam Hassan, meskipun tak benar-benar sesuai keinginan, karena kita toh tidak bisa menuju ke langit, eh, maksudku ke angkasa."

            "Hmm..." Imam Hassan juga nampak tersenyum dan sedikit berpikir.

            "Rasanya bisa kemanapun yang kita inginkan begitu melompat dan terbang, kalau anginnya mendukung bahkan kita bisa terbang menuju ke tempat yang lebih jauh," Abdi meneruskan kata-katanya sambil mengingat kembali ketika berada di angkasa tadi.

            "Aku berpikir kalau saja alat ini dijadikan sarana transportasi..."

            "Bisa saja.. Kita bisa terbang ke langit dan tak perlu takut jatuh karena ada alat ini," ia melihat ke arah paralayang Abdi.

            "Maksudku.. mungkin saja.. eh.. apa.. apa maksud Imam Hassan, kita.. kita bisa naik ke langit?" tanya Abdi

            "Ya, dengan bayu geni," jawab Imam Hassan singkat.

            Raut muka tak percaya tampak di wajah Abdi.

            "Naik.. maksud Anda naik..."

            "ke langit, ya!" ucap Imam Hassan kembali.

            "Hmm, kau mau ikut denganku kembali ke kapal untuk melihatnya?"

            "Sayangnya hanya ada di kapalku saja, karena alat ini baru selesai uji coba, tapi aku rasa kita bisa mengambil satu atau dua untuk kau coba gunakan," matanya menatap Abdi yang terdiam melongo.

            "Bagaimana Abdi ?"

            Abdi yang terdiam menggoyangkan kepalanya agar fokus kembali.

            "Ten.. tentu saja Imam Hassan saya bersedia."

            "Haha, bagus!"

            "Oh, iya tapi kita bisa kehilangan kesempatan untuk melihat final kompetisi satria, yang, kalau apa yang kau katakan benar, Dalem pasti masuk sebagai salah satu finalis."

            "Eh, i..iya benar, InsyaAllah Imam Hassan, kami sudah biasa menaiki kuda turun naik bukit di Mataram soalnya, bahkan kami pernah mengantarkan beberapa paket cukup jauh ke barat."

            "Alhamdulillah, semoga Dalem bisa berhasil..."

            "Yap! Kalau itu saya cukup yakin, tapi untuk menjadi juara.. sepertinya susah..." Abdi mengingat beberapa peserta yang dilihatnya ketika renang menyusuri sungai, beberapa diantaranya lebih kekar, lincah, dan kuat dibandingkan Dalem.

            "Sudah bagus itu, para prajuritku sendiri kemarin lalu masih belum bisa menerima kenyataan bahwa mereka bisa dikalahkan seorang pegawai istana biasa dari Mataram," Imam Hassan membicarakan saat-saat ketika pemilihan peserta yang boleh mendaftar kompetisi SATRIA dilakukan.

            "Ia bahkan dapat menandingi beberapa perwira yang kubawa."

            Abdi tersenyum senang, "Ia salah satu yang terbaik yang kami punya," ucapnya tulus.

            Imam Hassan tersenyum cukup lama, sebelum akhirnya berkata,

"Akhirnya aku tahu kenapa dia memilih kalian berdua."

            Abdi tampak tak paham, tali paralayang tersangkut di kaki kirinya, ia harus menarik dan merapikannya kembali kemudian memasukkannya ke dalam tas. Sementara itu Imam Hassan terus melangkah sambil bersenandung riang menikmati suasana alam yang sungguh asri.

            "Ma.. maksud Anda Raden Eru ya!?" Abdi agak berteriak dari belakang

            "Sudahlah tidak usah dipikirkan, kita bersiap kembali ke kapal!" ucap Imam Hassan mengakhiri sesi penerbangan hari keempat ini dengan perasaan lega dan puas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun