"Oh, iya! Kalau tidak salah Mas Rade kemarin lalu bercerita bahwa dia menulis tentang Nusantara Timur Raya!"
      Kapten Sudirman terdiam, ia tidak menjawab kata-kata Abdi barusan, sebaliknya pandangannya tertuju pada jam di dinding yang bergoyang. Malam ini menunjukkan hampir pukul sepuluh, tak terasa percakapan mereka tadi menghabiskan waktu dua jam lebih. Segera ia bangkit menuju jendela kembali, perasaan was-was muncul sekilas di benaknya.
      "Kok tiba-tiba berdiri dan berjalan ke jendela lagi sih kapten, ada apa?" Abdi dan Dalem sedikit terkejut.
      Di luar sekitar kapal ombak tampak sedikit naik, namun jauh di depan sepertinya tenang. Perasaan tak menentu semakin kuat saja, membuat Kapten Sudirman mengambil jaketnya dan berujar kepada Abdi dan Dalem,
"Lihat kondisi di luar dulu, ayo kalau mau ikut."
      "Ee ee, baiklah kapten kita ikut," Abdi bergegas membereskan bukunya.
      Abdi dan Dalem juga mengambil jaket awak kapal yang berada di ruangan, ada sepuluh buah sehingga masih ada sisa delapan jaket lagi yang belum terpakai.
      "Dulu bangsa di selatan sangat tidak suka ketika Nusantara kembali bersatu dalam naungan Islam," ucap Kapten Sudirman membuka pintu menuju tangga luar dan turun ke bagian dek kapal.
      "Mereka memanas-manasi suku bangsa di Timur untuk kemudian memberontak dan tidak menjadi bagian dari satu kesatuan nusantara yang utuh," lanjutnya sambil menuruni tangga, terdengar suara rintik hujan dari atas, gerimis ternyata di luar.
      "Pusatnya berada di ujung paling Timur Nusantara, mereka ingin mendirikan kesatuan sendiri dan menamakan gerakannya Nusantara Timur Raya," pintu dibuka dan rintik hujan pun masuk mengenai tiga orang yang dengan hati-hati keluar menuju dek.
      Kapten kapal segera menuju teropong jauh yang dari tadi sore belum diambilnya. Matanya memincing ke arah depan, namun tak terlihat apa-apa. Tetapi benar, ombak di dekat mereka goyong sementara jauh di depan ombak terlihat demikian tenang meskipun hujan. Jantungnya terasa berdegup kencang.
      "Hmm.. berarti..." kapten Sudirman segera mengarahkan pandangannya berbalik ke arah belakang kapal menggunakan teropong.
      Jauh dari lokasi kapal, di belakang tampak seperti siluet yang sepertinya membuntuti. Kapten Sudirman mengangkat teropong dari alas dan menariknya ke arah mata kanan. Tampak samar tiga buah kapal yang berjejer seolah siap membuat formasi menyerang.
      "Hmm.. kapal perang, Itu mereka."
      Wajahnya datar ketika mengatakan itu, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Abdi dan Dalem menangkap kesan itu dan segera menelan ludah kemudian melihat ke arah yang sama, hanya nampak bayangan dari kejauhan, kepanikan melanda mereka berdua.
      "Tenang Abdi -- Dalem.. Segera bangunkan seluruh penumpang. Hmm..." Kapten Sudirman berusaha menenangkan diri dan berpikir cepat. Ombak tadi bukan berasal dari hujan tapi datang dari tiga kapal yang membuntuti. Kalau ia membunyikan sinyal bahaya dari kapal untuk memperingatkan semua penumpang dan memberitahu prajurit Mataram yang ikut serta untuk bersiap berperang maka hal tersebut bisa segera diketahui musuh karena jarak mereka tidak terlalu jauh. Bisa-bisa habislah riwayat mereka semua dengan segera karena kapal yang dihadapi adalah kapal perang.
      "Itu tugas kalian! Katakan kepada mereka bawa semua barang dan masukkan ke dalam sekoci. Saya ke bawah memanggil semua prajurit yang kita bawa dari Mataram!" ujarnya sambil memegang pundak Abdi dan Dalem.
      "Jangan membunyikan sinyal apapun, dan katakan kepada seluruh pedagang untuk tetap tenang!" Kapten kapal mendorong mereka berdua yang dengan segera berlari hati-hati menuruni tangga, sementara Kapten Sudirman menuju ke tangga lain di samping ke arah penjaga terdekat yang mungkin tertidur karena tidak ada laporan apapun kepadanya semenjak isya' tadi.
      Kapten Sudirman meraih gagang pintu pos penjaga paling depan yang berada tepat di samping dek paling atas, dan benar saja, kosong. Para penjaga sepertinya sedang berkumpul di lantai dasar. Tak sabar, ia agak melompat ketika kembali menuruni tangga menuju dek lantai satu, kemudian segera berlari ke arah belakang kapal untuk turun ke lantai dasar dan masuk dari luar. Hampir saja ia terjatuh karena kondisi dek yang begitu licin akibat hujan. Tidak begitu susah menuruni tangga dan berlarian di dek, karena ia sudah hapal seluruh tempat di kapal, bahkan melakukannya dalam kondisi gelap gulita sekalipun seperti malam ini, cahaya hanya nampak dari beberapa jendela para penumpang yang mungkin menyalakan lilin atau alat penerangan lain. Ia segera teringat lampu darurat dengan tenaga surya, belum pernah dipakai sama sekali selama perjalanan dari Mataram. Di depannya kini adalah ujung kapal, di bawah, laut menantinya jika salah langkah. Agak bergerak ke arah kiri, kapten Sudirman menemukan pegangan tangga panjat menuju pintu bawah.
      Bergegas turun ke pintu yang berada di lantai dasar, dari arah dalam sebelah tengah terdengar keributan, sepertinya Abdi dan Dalem sedang melaksanakan tugasnya. Angin bertiup cukup kencang dan ombak kadang memunculkan riak tak wajar, namun baginya hal itu bukanlah apa-apa. Kakinya dengan hati-hati menuruni satu demi satu besi tangga panjat menuju ke pintu yang berada di sebelah bawah kanan tangga. Pintu ini berbentuk bulat dan hanya bisa dibuka dari dalam, ada sedikit cahaya dari sana. Alhamdulillah pikirnya, para penjaga mungkin sedang latihan bersama. Ia baru menggerakkan tangan kanannya menggedor pintu ketika sudah berada sejajar.
      "BUKA PINTUNYAAA!! BUKAA PINTUUNYAA SEGERAAA!!" gedoran tangan kanannya cukup kuat untuk membangunkan makhluk apa pun yang berada di dalam pintu. Tidak mungkin para prajurit tidak mendengarnya.
      "BUKAA PINTUNYAAAA! AYOO SEGERAAA!"
      Kali ini muncul wajah seseorang yang tampak bingung melihat keluar.
      "JANGAN MELAMUUN!! BUKAA SEGERAAA!" Kapten Sudirman mengambil sesuatu dari kantung dan menempelkannya di kaca pintu. Plakat bergambar dua pohon yang berjajar dan tulisan di bawahnya adalah 'KAPTEN KAPAL PINISI MATARAM'.
      Sesaat kemudian barulah prajurit itu sadar dan berteriak memanggil teman-temannya, pintu dibuka dan Kapten Sudirman masuk dibantu dua orang prajurit terdepan. Setelah berdiri, ia melihat sekumpulan prajurit yang ternyata sedang berlatih tanding.
      "SIAPA YANG BERTUGAS MENJAGA DI DEPAN?" pandangannya menyapu ruang cukup luas, tampak di ujung tiga buah kotak besar serta lemari penuh dengan tombak dan pedang. Seseorang yang sedang membersihkan busur segera mengacungkan tangan kanannya.
      "Sa.. saya kapten.. Maaf.. saya juga ingin ikut latih tanding, ee karena agak membosan..."
      "CUKUP!" Kapten Sudirman segera memotong pembicaraan.
      "LAKSANAKAN KODE PENYU HITAM SEGERA! SIAPA SAJA DIANTARA KALIAN YANG TAHU NAVIGASI??"
      Nampak ragu-ragu dua orang prajurit yang berada di belakang mengacungkan tangannya.
      "HANYA DUA ORANG SAJA!?" pandangannya kembali menyapu seluruh ruangan dan baru disadarinya jumlah prajurit Mataram hanya lima belas orang, berarti yang lain tidur dan tidak ikut latih tanding.
      "Eee.. tidak semua prajurit ikut latih tanding di sini kapten, kebanyakan sudah tidur, ada enam orang lagi yang tahu navigasi."
      "KALAU BEGITU ADA DELAPAN ORANG YANG BISA MEMIMPIN SEKOCI, BANGUNKAN MEREKA SEGERA!" Kali ini ia menatap lurus ke arah lemari persenjataan di pojokan.
      "SIAPKAN SEMUA SENJATA KALIAN!" pandangannya bergerak dari lemari ke arah kotak besar, yang sekejap kemudian diingatnya.
      "AH.. MESIU?" tanyanya segera sembari menunjuk ke kotak tersebut.
      "I..iya kapten, ada tiga, baru dibeli kemarin lalu dari Buton, para pedagang Cina yang memasok ke sana, rencananya untuk penelitian senjata baru Mataram..." jelas salah seorang prajurit.
      "BAGUS..." pikirannya segera mencari ide untuk memanfaatkan semua persenjataan yang mereka miliki.
      "PERSIAPKAN KODE MERAH, MASING-MASING SIAP DI TEMPATNYA!" ia berjalan menuju dua orang prajurit yang tahu mengenai navigasi tadi lalu mencengkeram bahu keduanya.
      "Bagi menjadi tiga grup, kompas ke arah Nusa, Bali, dan Demak. Jangan berhenti hingga tujuan, selalu jaga dzikir dan minta pertolongan kepada Allah."
      "Segera bangunkan teman kalian yang lain!" dengan anggukan singkat kedua prajurit tersebut segera berlari menuju ruang tidur untuk membangunkan yang lain.
      Mereka harus bergerak cepat agar selamat, itu satu-satunya yang ada dalam pikiran Kapten Sudirman. Suara gaduh terdengar dari ruang tidur prajurit, begitupun pula dari ruang penumpang. Melihat ke arah jendela tempat tadi ia memanjat masuk, hujan masih gerimis di luar, tidak begitu lebat. Sisa prajurit yang berada di dalam ruangan bersamanya sedang menyiapkan sekitar dua puluh busur panah, tombak, dan pedang untuk bertahan jika memang mereka diserang nanti. Hanya sedikit peralatan tempur karena memang kapal ini bukan kapal perang. Biasanya ada sekitar lima belas meriam yang siap di setiap kapal perang.
      "Kalian, bawa meriam kemari, tiga-tiganya!" kalimat itu menjadi perintah terakhir kapten Sudirman kepada prajurit Mataram yang diikutsertakan dalam perjalanan mengantarkan para pedagang Parahiyangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI