Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 7, Buton) - Weda Buton

19 Maret 2024   19:00 Diperbarui: 19 Maret 2024   19:28 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Hari sudah kembali malam, pikiran Abdi dan Dalem tidak bisa fokus karena masih dihantui pemandangan tadi siang. Bahkan mereka tidak begitu ingat percakapan dengan Ustad Murhum sekembalinya dari Masjid Agung tadi.

            Secara garis besar suasananya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan hukum Hudud di Samudera ketika hukum Qishas dilaksanakan. Abdi dan Dalem masih mengingat jelas pelaksanaan hukum Hudud di Samudera, hanya saja kali ini lebih ramai. Rasa pusing dan mual membuat mereka berdua tidak bisa mengingat kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar tempat pelaksanaan hukuman. Sedikit yang mereka ingat, kumpulan ulama dan ustad yang cukup banyak, orang-orang berpakaian ala Kesultanan Buton berjejer dan berbaris rapi di depan, dan terakhir adalah ingatan paling tidak bisa mereka lupakan, lepasnya kepala dari tubuh terpidana mati. Abdi sempat muntah sedikit sedangkan Dalem hanya memegang leher dan dadanya, mereka tidak bisa pergi dari tempat itu karena termasuk yang berdiri di samping barisan depan bersama para ulama termasuk di dalamnya Ustad Murhum.

            "Sudah, tidur dulu saja Di, ga usah diinget-inget lagi, oh iya, tadi pas pulang bertiga saja kan ya? Lupa aku Di..." Dalem sudah pasang posisi tidur menghadap samping kanan.

            "Eh, iya Lem, Mas Rade tetap tinggal di Masjid Agung, kalau gak salah Mas Rade dikasih peci hitam untuk menggantikan peci merahnya ya, wah lupa juga aku Lem," ujar Abdi sembari memandang keluar ke arah jendela.

            Mereka berdua tidur cukup pulas malam itu. Kelelahan akibat perjalanan yang cukup panjang membuat keduanya tak sempat lagi memperpanjang obrolan. Dengkuran Dalem tak dapat membangunkan Abdi meskipun mereka tidur bersebelahan di asrama Madrasah Dayanu.

            Suara kicau burung begitu riang pagi ini, angin terasa sejuk dan sepoi. Pepohonan sangat rindang diantara gedung-gedung sekolah tempat belajar. Tenang dan nyaman, begitulah suasana di masjid Madrasah Dayanu yang terletak persis di tengah-tengah kompleks pendidikan terbesar Buton ini. Di dalamnya dapat memuat hampir seluruh siswa yang belajar di Dayanu. Sholat Jumat dan Subuh tidak berbeda jumlah, sama padat dan ramainya. Santri Madrasah yang sedang memiliki waktu luang saat Dhuha sering kali mendatangi masjid. Selain sholat dan belajar mereka juga kadang mendatangi kuliah umum yang diisi oleh ustad dan para pengajar. Saat mentari naik sepenggalah, terlihat di dalam seseorang yang sudah tua sedang berbicara di depan cukup banyak santri, kebanyakan dari mereka adalah santri tingkat tiga belas ke atas.

            "Buton memiliki akar budaya kuat yang tidak bertentangan dengan Agama. Islam merupakan rahmat yang diturunkan Allah SWT yang dengannya para leluhur kita membangun bangsa di Nusantara sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. MenjadikanNya sebagai Pemilik Kedaulatan Tertinggi."

            Ustad Murhum tampak mengacungkan jari telunjuknya ke langit sembari memandang para santri.

Baca juga: Hakikat Dajjal

            "Kedaulatan berada di tangan Allah SWT, bukan di tangan rakyat," ucapnya penuh ketegasan.

            "Allah memberi kita petunjuk untuk menjalankan cara hidup yang mulia melalui Dien Islam. Setiap diri haruslah sadar bahwa yang memiliki kekuasaan atas segala sesuatu adalah Allah SWT. Kewajiban kita adalah berusaha dalam meraih serta mewujudkan apa yang menjadi impian dan apa yang kita cita-citakan, termasuk di dalamnya ialah memilih pemimpin untuk negeri ini," arah pembahasan sudah dapat ditebak akan ke mana, tampak di baris terdepan dua orang berpakaian khas jawa duduk berdampingan.

            "Pemimpin yang kita butuhkan sesuai apa yang disyariatkan Nabi Muhammad SAW, harus memiliki dasar iman dan islam kuat. Barulah kemudian empat sifat utama yakni Shidiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh wajib ia miliki."

            Ustad Murhum kemudian menjelaskan dengan jeda di setiap selesai kalimatnya.

            "Shidiq adalah adalah kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap, dan bertindak."

            "Amanah adalah menjalankan apa yang diembankan dengan sebaik-baiknya."

            "Fathonah yakni kecerdasan dan kecakapan dalam menanggulangi permasalahan."

            "Yang terakhir Tabligh, yakni menyampaikan dengan jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambil."

            "Kaum Walaka dan Kaoumu sudah sangat berbaik hati mau memberikan putra-putra terbaik mereka untuk dididik dan dijadikan calon pemimpin negeri ini. Pendidikan yang tidak semudah orang biasa telah dijalani mereka, entah dari kecil, remaja, ataupun setelah dewasa. Pilihan pasti kami, para ulama negeri Buton, tujukan kepada calon yang terbaik. Namun ada kalanya, pilihan kami mungkin salah, atau ada kalanya pula setan berhasil menjalankan tipu dayanya kepada mereka yang lemah imannya."

            "Manusia hanya bisa berusaha dan bertawakkal, selama kita menjaga prasangka baik kepada Allah SWT maka Ia akan memberikan kita hikmah dan kebijaksanaan supaya di langkah-langkah kita yang akan datang tidak akan terulang kesalahan yang sama."

            "Ingatlah anak-anakku, sekali lagi kekuasaan ada sepenuhnya di tangan Allah SWT. Menjadi seorang Sultan bukan berarti menjadi Tuhan, yang dengan sesuka hati dan semena-mena dapat seenaknya sendiri mengambil apa yang ada di tanah ini. Semua ada aturannya, semua ada normanya, semua ada undang-undangnya."

            "Yang menjadi aturan dan pedoman utama negeri ini adalah Islam."

            "Maka seluruh kekuasan dan kewenangan Sultan dibatasi dan diatur sepenuhnya oleh Islam."

            "Sultan wajib menjalankan Hukum Allah di negeri ini, apa pun resikonya. Ia harus tunduk kepada kehendak Zat Yang Maha Tinggi. Keberaniannya adalah bersama Allah dan ketakutannya hanya kepada Allah."

            "Hukum Qishas adalah salah satu hukum yang wajib dijalankan seorang muslim apalagi berkenaan dengan pembunuhan. Fitrah manusia jika ia didzalimi adalah membalas serupa dengan kedzaliman yang dilakukan kepadanya. Agama ini, menjamin itu!" sejenak suasana hening.

            "Kehilangan mata dibalas mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, luka dengan luka yang serupa, dan kehilangan jiwa harus dibalas dengan jiwa pula."

            "Tidak peduli apakah dia rakyat biasa, pedagang, ulama, atau bahkan sultan sekalipun. Kedzaliman harus dilawan dengan keadilan."

            "Sehari yang lalu pilihan diyat telah ditolak oleh keluarga orang yang didzalimi, tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim jika Allah telah menetapkan sesuatu atasnya, maka ia harus mengikutiNya!"

            Terlihat seluruh pandangan fokus ke depan sekarang, hanya dua orang yang terlihat sangat sibuk.

            "Sebaik-baik sultan ialah dia yang menjadikan Allah sebagai Raja dari segala Raja. Allah, Rajanya manusia."

            "Sejarah negeri ini tidak dibuat oleh satu golongan bangsa saja. Ketika awalnya para pendahulu kita datang, mereka berasal dari Tiongkok, Jawa, Arab, dan beberapa suku dari timur nusantara. Mereka berkumpul dan dengan ikhtiarnya mendirikan sistem yang masih kita hormati hingga sekarang, meskipun sempat hilang di masa itu."

            Ustad Murhum melanjutkan kuliahnya mengenai sejarah Buton dan terlihat di depan Abdi mencatat di bukunya sembari diawasi Dalem yang kadang ikut berkomentar bila ia salah menuliskan kata.

            "Islam tidak pernah tunduk bahkan kepada penjajah sekalipun, hanya saja kadang kita lupa sebagai generasi masa sekarang tentang betapa mulianya hidup dengan Islam berabad-abad silam."

            "Saya berpesan sekaligus mengingatkan bahwa kita memiliki falsafah dalam sistem pertahanan rakyat semesta negeri Buton."

            "Harta rela dikorbankan demi keselamatan Diri!" hampir seluruh ruangan ikut mengucapkan kalimat sisanya.

            "Diri rela dikorbankan demi keselamatan Negeri!"

            "Negeri rela dikorbankan demi keselamatan Pemerintah!"

            "Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan Agama!"

            Seisi ruangan seolah memiliki energi baru, energi yang sempat hilang karena satu peristiwa memalukan yang seharusnya tidak dilakukan oleh calon pemimpin mereka. Qishas telah menjaga negeri Buton untuk hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Negeri yang selalu menjaga kehormatan Islam disepanjang sejarahnya. Begitulah apa yang disampaikan Ustad Ikhsanudin Murhum melanjutkan kuliah umumnya. Sementara itu suara goresan pena tidak hanya terdengar dari baris terdepan saja, namun juga hampir di setiap sisi ruangan. Suasana masjid yang hidup, tidak hanya di waktu sholat saja namun juga diwaktu-waktu terbaik bagi seluruh energi untuk berkumpul bersama.

                                                                                    ~

            Pada hari-hari berikut, Abdi dan Dalem selain mengikuti kuliah di Masjid juga mengikuti kegiatan pembelajaran bagi santri tingkat tiga belas ke atas. Di hari keempat setelah peristiwa Qishas, Mas Rade kembali ke Madrasah dan mengikuti kegiatan kuliah seperti biasa, hanya saja pembahasan mengenai kemana beliau pergi tidak pernah dibahas. Sesekali Abdi dan Dalem memperhatikan Mas Rade kerap berkonsultasi dengan Ustad Murhum, entah karena Mas Rade diangkat sebagai calon sultan pengganti seperti kecurigaan Abdi dan Dalem, ataukah memang dari dulu beliau memang dekat dengan Ustad Murhum dan sering berkonsultasi. Abdi dan Dalem memilih diam dan tidak menanyakan hal tersebut.

            Di akhir minggu pertama kedatangan mereka ke Madrasah Dayanu, Abdi dan Dalem gantian mengajarkan teknik bercocok tanam secara hidroponik kepada para santri. Ilmu yang sempat mereka ajarkan pula di Samudera. Ternyata hal ini mendapat apresiasi cukup baik dari para pengajar di Dayanu, serta semakin menambah semangat Abdi dan Dalem dalam mengajarkan teknik tanam yang ternyata sangat efektif digunakan di lahan sempit dan kurang air ini.

            Minggu berikutnya selain mengikuti kuliah seperti biasa, mereka juga diajak berjalan-jalan kembali ke Kota Buton. Ternyata ada perpustakaan besar di sini, hampir empat ratus salinan naskah kuno berbahasa arab dipajang serta ratusan tulisan tangan yang merupakan warisan nenek moyang masyarakat Buton zaman dahulu diizinkan dengan bebas untuk dibaca.

            "Wah, beberapa bahasanya pakai bahasa asli penduduk sini ya Mas Rade?" tanya Abdi ketika menjelajah ber rak-rak buku di perpustakaan.

            "Iya, sebagian, selain bahasa Arab dan yang kita gunakan sekarang."

            Mas Rade juga menunjukkan kepada mereka Kabanti, yakni puisi dan syair yang berisi catatan sejarah, kisah-kisah teladan, dan hikmah. Selain itu juga banyak karya-karya terbaru dari sebagian rakyat Buton yang berisi berbagai macam hal, termasuk tulisan tangan para calon sultan dapat ditemukan di sini. Abdi dan Dalem menghabiskan hari-hari terakhir di perpustakaan sebelum kembali ke Pelabuhan. Mereka berdua amat senang karena bisa mengambil banyak sekali ilmu.

            Hampir tiba saat Abdi dan Dalem harus kembali ke pelabuhan. Abdi membuka-buka buku catatannya kembali, ia sekali lagi mengecek tulisan di sana yang bukan tulisan tangannya.

            "Hmm.. sepertinya sudah semua Lem, bahkan yang ini juga sudah kita baca di perpustakaan. Eh, kemarin bukannya kuliah umum dari Ustad Murhum juga itu?"

            "Apa sih Di, ini itu, sini aku juga ngecek," Dalem menjulurkan tangannya meminta buku catatan yang langsung diserahkan Abdi.

            "Hmm.. tapi gak begitu paham aku Di, bagian 'Khalifah di Muka Bumi' ini?" tanya Dalem.

            "Lah, kan kemarin sudah kita cari di perpustakaan," jawab Abdi.

            "Terus apa hubungannya sama khilafah?"

            Keduanya cukup seru membahas beberapa hal yang harus mereka selesaikan, sepertinya dituliskan oleh orang yang menyuruh mereka untuk kemari.

            "Sepertinya sih udah Lem, asal kita bisa menjelaskan dengan baik saja nanti hasil perjalanan kita. Hmm.. sistem pemerintahan yang unik di Buton dan pemilihan calon Sultan..."

            "Iya Di, itu yang unik di sini, wah semoga Raden puas dengan catatan ini," Dalem terlihat khawatir.

            Tiba-tiba dari belakang mereka ada suara yang memanggil keduanya,

"Wah.. wah.. sepertinya lagi seru berdiskusi Abdi, Dalem," Mas Rade datang membawa bungkusan.

            "Oh, Mas Rade, iya Mas memastikan semua yang harus kita dapatkan tercatat dengan rapi," ujar Abdi.

            "Meskipun sebenarnya beliau hanya bilang 'ambil pelajaran dan hikmah yang baik', itu saja kok," Dalem menambahkan.

            "Hoo.. siapa yang menyuruh kalian memangnya?" tanya Mas Rade.

            "Eh, itu..." keduanya saling pandang.

            "Ah seseorang yang kita hormati dari Mataram Mas Rade. Eh, anu.. kita harus izin pamit besok," Abdi mengalihkan pembicaraan.

            "Oh, iya, ini saya bawakan bekal untuk besok. InsyaAllah saya akan menemani kalian bersama beberapa teman."

            "Waduh, merepotkan ya? Makasih banyak Mas rade..." Abdi tampak tak enak.

            "Tapi kami bisa kembali sendiri kok," tambah Dalem.

            "Hehehe, tidak apa-apa, saya juga kebetulan ada jadwal mengisi pengajian di pelabuhan besok."

            Mereka asyik meneruskan obrolan hingga sore hari, tak terasa waktu berjalan begitu cepat di Buton. Malam pun datang dengan segera dan matahari pagi seperti telah menanti mereka dari arah pantai.

            Kepergian Abdi dan Dalem ditemani Mas Rade lagi, kali ini bersama dengan lima orang santri lainnya. Ustad Murhum hanya berpesan untuk selalu berbagi ilmu dengan semua yang mereka temui di perjalanan selanjutnya, meskipun tujuan mereka berdua kali ini hanyalah pulang ke Mataram melalui Demak.

            Di pelabuhan, kapten kapal sudah menanti dengan penuh senyuman. Mas Rade dan beberapa santri lain ikut mengobrol sebentar, sementara terlihat para pedagang Parahiyangan sumringah dan mengobrol dengan ceria dengan beberapa rekannya sesama pedagang, sepertinya hasil penjualan mereka sangat banyak.

            Lambaian tangan Mas Rade dan lima orang rekannya menjadi pemandangan terakhir di Buton, sementara itu di depan, laut yang biru dan terbentang luas siap menjadi arena bertualang untuk mereka arungi kembali. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun