"Harta rela dikorbankan demi keselamatan Diri!" hampir seluruh ruangan ikut mengucapkan kalimat sisanya.
      "Diri rela dikorbankan demi keselamatan Negeri!"
      "Negeri rela dikorbankan demi keselamatan Pemerintah!"
      "Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan Agama!"
      Seisi ruangan seolah memiliki energi baru, energi yang sempat hilang karena satu peristiwa memalukan yang seharusnya tidak dilakukan oleh calon pemimpin mereka. Qishas telah menjaga negeri Buton untuk hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Negeri yang selalu menjaga kehormatan Islam disepanjang sejarahnya. Begitulah apa yang disampaikan Ustad Ikhsanudin Murhum melanjutkan kuliah umumnya. Sementara itu suara goresan pena tidak hanya terdengar dari baris terdepan saja, namun juga hampir di setiap sisi ruangan. Suasana masjid yang hidup, tidak hanya di waktu sholat saja namun juga diwaktu-waktu terbaik bagi seluruh energi untuk berkumpul bersama.
                                          ~
      Pada hari-hari berikut, Abdi dan Dalem selain mengikuti kuliah di Masjid juga mengikuti kegiatan pembelajaran bagi santri tingkat tiga belas ke atas. Di hari keempat setelah peristiwa Qishas, Mas Rade kembali ke Madrasah dan mengikuti kegiatan kuliah seperti biasa, hanya saja pembahasan mengenai kemana beliau pergi tidak pernah dibahas. Sesekali Abdi dan Dalem memperhatikan Mas Rade kerap berkonsultasi dengan Ustad Murhum, entah karena Mas Rade diangkat sebagai calon sultan pengganti seperti kecurigaan Abdi dan Dalem, ataukah memang dari dulu beliau memang dekat dengan Ustad Murhum dan sering berkonsultasi. Abdi dan Dalem memilih diam dan tidak menanyakan hal tersebut.
      Di akhir minggu pertama kedatangan mereka ke Madrasah Dayanu, Abdi dan Dalem gantian mengajarkan teknik bercocok tanam secara hidroponik kepada para santri. Ilmu yang sempat mereka ajarkan pula di Samudera. Ternyata hal ini mendapat apresiasi cukup baik dari para pengajar di Dayanu, serta semakin menambah semangat Abdi dan Dalem dalam mengajarkan teknik tanam yang ternyata sangat efektif digunakan di lahan sempit dan kurang air ini.
      Minggu berikutnya selain mengikuti kuliah seperti biasa, mereka juga diajak berjalan-jalan kembali ke Kota Buton. Ternyata ada perpustakaan besar di sini, hampir empat ratus salinan naskah kuno berbahasa arab dipajang serta ratusan tulisan tangan yang merupakan warisan nenek moyang masyarakat Buton zaman dahulu diizinkan dengan bebas untuk dibaca.
      "Wah, beberapa bahasanya pakai bahasa asli penduduk sini ya Mas Rade?" tanya Abdi ketika menjelajah ber rak-rak buku di perpustakaan.
      "Iya, sebagian, selain bahasa Arab dan yang kita gunakan sekarang."