"Kita akan naik dokar, kalian berdua ikut dengan saya. Ah, Rade, kamu juga ikut kalau begitu," ucap Ustad Murhum menengok sekilas ke belakang.
      "Ya, ustad, saya siap mendampingi," jawab Rade.
      Kendaraan yang dimaksud berada di pintu gerbang yang berhadapan dengan Kota Buton, di sana ada tiga dokar menanti, masing-masing dapat menampung empat orang penumpang selain kusir.
      Mereka masuk ke Dokar paling depan. Abdi dan Dalem duduk di belakang sementara Ustad Murhum dan Mas Rade berada di depan. Di belakang, delapan santri lain mengikuti. Perjalanan awal terasa terjal menuruni bukit, karena memang letak madrasah berada di atas sedangkan Kota Buton di lembah.
      Abdi dan Dalem tidak banyak berbicara, mereka melihat ke arah belakang ketika Dokar menuruni bukit. Terlihat pintu gerbang madrasah memiliki corak sama dengan yang berada di depan dari arah tempat mereka masuk tadi. Abdi memijat kedua kakinya, rupanya perjalanan dari pelabuhan tadi cukup membuat kakinya pegal-pegal. Hal sama dirasakan oleh Dalem yang juga berusaha meraih kedua kakinya.
      "Capek ya Abdi dan Dalem?" tanya Mas Rade yang segera menoleh ke belakang melihat keduanya memijat kaki masing-masing.
      "Hehehe, iya Mas Rade" jawab Abdi.
      "Kalian sudah pernah mendengar sejarah Buton di Mataram kan?" tanya Ustad Murhum.
      "Eh, belum pernah ustad, hanya mendengar beberapa rumor tentang Buton yang ternyata benar," jawab Dalem.
      "Sebagai salah satu pelabuhan dan pusat perekonomian paling sibuk di tengah nusantara..." tambah Abdi.
      "Alhamdulillah, itu semua adalah karunia Allah kepada kami yang berada di Buton, semoga dapat memberikan banyak manfaat kepada seluruh kerajaan di Nusantara, terutama saat kita amat menjaga persatuan seperti sekarang ini."