Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 6, Buton) - Ustad Murhum

18 Maret 2024   13:00 Diperbarui: 18 Maret 2024   13:02 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Tidak lama seusai mereka melaksanakan sholat zuhur, Mas Rade menghampiri seseorang yang masih berada di shaf paling depan. Orang tersebut tampak sedang berdiskusi serius dengan beberapa santri. Mas Rade sendiri setelah menyalami mereka, ikut mendengarkan apa yang dibicarakan. Abdi dan Dalem tidak berani mendekat sementara Mas Rade sedang berbicara dengan guru dan sahabatnya, keduanya membuka kembali catatan dan mendiskusikan hal-hal apa saja yang perlu ditambahkan. Mulai dari Pasar Wolio hingga percakapan mereka dengan Mas Rade sepanjang perjalanan tadi. Selang beberapa waktu Abdi dan Dalem asyik berdiskusi, mereka tidak sadar orang-orang yang tadi berdiskusi telah selesai.

            "Assalamualaikum..." suara yang cukup dalam dan tua mengagetkan keduanya.

            "Eh.. Waalaikumsalam kek.. eh Ustad..." Dalem menjawab terbata karena kaget.

            "Kalian berdua dari dari Mataram?" tanyanya.

            "Iya, betul Ustad.. kami bermaksud belajar sebentar di sini..." ucap Dalem.

            "Nama saya Ikhsanudin Murhum. Biasa dipanggil Ikhsan atau Murhum, saya salah satu pengajar di madrasah ini," Ustad Murhum memperkenalkan diri.

            "Kebetulan kita semua sedang terburu-buru, ada hal penting yang harus dihadiri sekarang juga. Kalian tidak keberatan kan bila ikut dengan kami? Atau ingin langsung ke penginapan untuk tamu?" tanyanya kepada Abdi dan Dalem yang nampak tak siap.

            "Eh, ke mana Ustad ya.. err.. kami tidak keberatan kok," Abdi terkejut dengan ajakan yang tiba-tiba.

            "Baiklah, kita akan menuju ke Masjid Agung Kesultanan Buton segera. Tidak banyak kan barang bawaan kalian?"

            "Tidak kok ustad, hanya beberapa pakaian dan makanan saja yang kami bawa," Abdi menunjuk kedua tas yang tergeletak di lantai.

            "Kita akan naik dokar, kalian berdua ikut dengan saya. Ah, Rade, kamu juga ikut kalau begitu," ucap Ustad Murhum menengok sekilas ke belakang.

            "Ya, ustad, saya siap mendampingi," jawab Rade.

            Kendaraan yang dimaksud berada di pintu gerbang yang berhadapan dengan Kota Buton, di sana ada tiga dokar menanti, masing-masing dapat menampung empat orang penumpang selain kusir.

            Mereka masuk ke Dokar paling depan. Abdi dan Dalem duduk di belakang sementara Ustad Murhum dan Mas Rade berada di depan. Di belakang, delapan santri lain mengikuti. Perjalanan awal terasa terjal menuruni bukit, karena memang letak madrasah berada di atas sedangkan Kota Buton di lembah.

            Abdi dan Dalem tidak banyak berbicara, mereka melihat ke arah belakang ketika Dokar menuruni bukit. Terlihat pintu gerbang madrasah memiliki corak sama dengan yang berada di depan dari arah tempat mereka masuk tadi. Abdi memijat kedua kakinya, rupanya perjalanan dari pelabuhan tadi cukup membuat kakinya pegal-pegal. Hal sama dirasakan oleh Dalem yang juga berusaha meraih kedua kakinya.

            "Capek ya Abdi dan Dalem?" tanya Mas Rade yang segera menoleh ke belakang melihat keduanya memijat kaki masing-masing.

            "Hehehe, iya Mas Rade" jawab Abdi.

            "Kalian sudah pernah mendengar sejarah Buton di Mataram kan?" tanya Ustad Murhum.

            "Eh, belum pernah ustad, hanya mendengar beberapa rumor tentang Buton yang ternyata benar," jawab Dalem.

            "Sebagai salah satu pelabuhan dan pusat perekonomian paling sibuk di tengah nusantara..." tambah Abdi.

            "Alhamdulillah, itu semua adalah karunia Allah kepada kami yang berada di Buton, semoga dapat memberikan banyak manfaat kepada seluruh kerajaan di Nusantara, terutama saat kita amat menjaga persatuan seperti sekarang ini."

            Ustad Murhum melihat ke arah depan dibalik pepohonan yang mulai berkurang, menyibak pemandangan yang cukup indah jika dilihat dari tempatnya berada. Terlihat rumah-rumah tertata rapi di sepanjang sisi jalan yang akan mereka lalui. Mereka dapat melihat dengan jelas tata Kota Buton yang rapi, beberapa atap rumah tampak dicat dengan warna biru dan hijau menambah bagusnya pemandangan kota di depan, warna yang dominan tentu saja hitam dan cokelat. Rumah di Buton ternyata memiliki beberapa atap khas yang membuatnya terlihat cukup unik. Hal mencolok terlihat membedakan rumah satu dengan yang lain yakni jumlah tingkatnya, beberapa rumah terlihat dua atau tiga tingkat lebih tinggi. Sepanjang mata memandang hanya terlihat perumahan, dibaliknya barulah terdapat kebun dan tanah lapang. Masjid Agung terlihat kecil di tengah kota, Abdi dan Dalem merasa agak janggal.

            "Maaf ustad, kok kami tidak melihat keraton ya, apa ada di belakang kota Buton letaknya?"

            "Hmm, apakah kalian tidak tahu?" tanya Ustad Murhum.

            "Eee, tidak ustad, kami belum pernah mendapat cerita tentang Kota Buton," Abdi menambahkan.

            "Kami tidak memiliki Keraton maupun Istana Kerajaan," lanjutnya sementara Abdi dan Dalem tampak keheranan.

            "Lho terus.. bagaimana.. rajanya..." Dalem belum sempat menyelesaikan pertanyaan, Ustad Murhum sudah langsung melanjutkan.

            "Itulah tradisi yang kami jaga semenjak dahulu. Raja berada di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak pindah dari tempat di mana dia tinggal sebelum menjadi raja."

            "Biasanya adanya keraton selain ditujukan sebagai tempat tinggal utama raja juga dimaksudkan untuk menjaga raja di tempat khusus bila ada serangan dari luar. Nah, berapa banyak kalian melihat petugas kerajaan di sini?"

            "Emm, di pelabuhan banyak sih..." Abdi menjawab.

            "Mereka hanyalah masyarakat Buton yang ditugaskan di pelabuhan, tidak ada tentara secara umum. Bahkan para santri pun dapat menggantikan tugas penjaga dalam menjaga keamanan Kota Buton."

            "Hal ini dikarenakan setiap warga Buton harus mengikuti wajib militer terutama bagi laki-laki selama dua tahun pada saat mereka berusia antara delapan belas hingga dua puluh lima tahun. Sehingga siapa saja dapat dengan segera mempertahankan keamanan Buton dari serangan serta siap jika ditugaskan untuk berperang," sejenak suasana hening dan hanya terdengar suara hentakan kaki kuda dan putaran roda.

            "Namun demikian, tetap ada struktur yang mengatur mengenai pembagian tugas bagi warga Buton yang ingin mengabdi bagi tanah kelahirannya," Mas Rade menambahkan.

            "Sara Pangka merupakan struktur eksekutif yang terdiri dari Sultan Buton dan jajarannya, termasuk di dalamnya struktur yang mengatur jalannya pemerintahan di Kesultanan Buton," jelasnya.

            "Yang kedua dan ketiga adalah Sara Gau dan Sara Bitara yang masing-masing merupakan struktur legislatif dan yudikatif dimana ia bertugas menetapkan dan mempertahankan undang-undang, yang terdiri dari ustad, ulama, wakil-wakil dari desa serta pemukiman di Buton."

            "Tentu saja penetapan undang-undang harus sesuai dengan Al Quran dan Sunnah, biasanya pembahasan yang agak lama di bagian Hukum Ta'zir, sedangkan untuk Hukum Hudud dan Qishas kita ambil sepenuhnya dari apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW," Ustad Murhum kembali menjelaskan.

            "Nah, hal ini sudah berlangsung lama semenjak Sultan Buton pertama yang memeluk agama Islam, Sultan Murhum."

            "Nama yang sama dengan saya, hanya berbeda zaman, tentu saja berbeda peran pula," tambahnya sembari tersenyum.

            Abdi terlihat sibuk mencatat di buku ia keluarkan semenjak Ustad Murhum membicarakan sejarah Kesultanan Buton tadi. Jalan utama sudah agak menyempit dan bercabang.

            "Pemilihan Sultan adalah salah keunikan yang kami milki," ujar Mas Rade.

            "Ada dua golongan bangsawan di sini, Kaomu dan Walaka. Seorang raja dipilih bukan semata berdasarkan keturunan, namun juga yang terbaik."

            "Jika beberapa calon sultan berasal dari Kaomu maka yang berhak memilih adalah golongan Walaka. Begitupula sebaliknya. Bibit-bibit unggul dikumpulkan untuk dilatih dan dididik baik dari golongan Kaomu maupun Walaka supaya ketika mereka besar nanti memiliki bekal yang cukup untuk menjalankan pemerintahan."

            "Yang menjadi guru mereka adalah para Ulama dan Ustad. Mereka diwajibkan untuk menimba ilmu di Madrasah Dayanu paling sedikit lima tahun dan tidak lepas dari wajib militer dengan pendidikan khusus yang lebih intensif dibandingkan lainnya."

            "Namun demikian, rasa persaingan di antara mereka selalu dijaga supaya tidak melebihi batas. Sayang, beberapa diantaranya kadang gugur sebagai calon sultan karena berbagai hal, termasuk di dalamnya persaingan tidak sehat bahkan saling menjatuhkan satu sama lain."

            "Hal ini jarang terjadi sebenarnya, karena kesederhanaan yang kami miliki," kali ini pandangan Ustad Murhum ke arah rumah-rumah bertingkat dua di sisi jalan.

            "Seorang Sultan memang memiliki wewenang dan kekuasaan besar namun itu diawasi dan dijaga oleh Sara Gau dan Sara Bitara sehingga ia tidak bisa sewenang-wenang, dan tempat tinggal Sultan pun sangat sederhana, ia tinggal di rumah lamanya, tidak berpindah ke keraton atau istana."

            "Biasanya Sultan hanya merenovasi tempat tinggal menjadi lebih tinggi dari sebelumnya," tambah Mas Rade sembari melihat rumah bertingkat empat di ujung pertigaan jalan.

            "Namun tingkat kekayaan dan kesejahteraan yang semakin besar beberapa tahun belakangan ini membuat persaingan para calon sultan menjadi agak keras... Biasanya Sultan yang terpilih memiliki hak mengelola tanah yang lebih luas untuk perkebunan dan peternakan, apalagi hasil perdagangan Pasar Wolio juga semakin meningkat," lanjut Ustad Murhum.

            "Barusan kemarin ini terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh pemuda Kaomu pilihan, alasannya sederhana, ia mencurigai orang yang dibunuhnya membantu calon sultan lain ketika kompetisi menulis sejarah Buton dilaksanakan," Abdi dan Dalem tampak menyimak.

            "Ia meminjamkan buku penting sejarah Buton yang sudah sangat tua dan berisi mengenai pembangunan benteng yang sudah ada semenjak dahulu di seluruh pulau Buton, hasil tulisannya berupa pembahasan baik dari segi teknik maupun filsafat dan tata letak pembangunannya. Itu menjadikan sang calon sultan juara di kompetisi penting ini, dimana hasil tulisannya dapat dibaca oleh seluruh masyarakat Buton karena dicetak untuk disebarluaskan," jelas Mas Rade menambahkan.

            "Ketika musim liburan sekolah tiba biasanya ada kompetisi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana perkembangan kemampuan bibit-bibit unggul terpilih. Dari berkuda, memanah, berenang, mengemudikan kapal, hingga menulis agama, pengetahuan, dan sejarah. Untuk kompetisi menulis ini selain golongan bangsawan, masyarakat umum juga diperbolehkan ikut, namun wajib bagi pemuda Kaomu dan Walaka. Saya sendiri ikut menyampaikan tulisan mengenai Nusantara Timur Raya," ujarnya.

            Tampak sekilas kekagetan di wajah Abdi dan Dalem.

            "Eh bukannya itu.. eh anu..." Abdi belum sempat menyelesaikan kalimatnya Ustad Murhum sudah memotong duluan.

            "Ayah mas Rade dari golongan Kaomu," sejenak kemudian Abdi dan Dalem tidak dapat melanjutkan kata-katanya, kalimat tadi membuat mereka hanya terdiam dengan mulut terbuka.

Sementara itu Mas Rade hanya tersenyum. Ustad Murhum segera berbicara lagi,

"Kita sudah sampai."

            Akhirnya sampai juga mereka di depan Masjid Agung, cukup luas dan ramai ternyata. Ini menjelaskan kenapa di sepanjang perjalanan tadi cukup sepi, hampir seluruh masyarakat yang ada di sini berkumpul di halaman Masjid Agung Buton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun