Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 5, Buton) - Madrasah Dayanu

17 Maret 2024   07:00 Diperbarui: 17 Maret 2024   07:12 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Eee.. maksud kami, tidak usah khawatir masalah perbekalan Mas Rade, kami bisa mengurus diri kami sendiri kok. Kami hanya meminta izin untuk ikut belajar bersama, itu saja."

            "Alhamdulillah, baik kalau begitu, kalian sudah sarapan kan? Saya sendiri sudah ketika matahari baru terbit tadi."

            Mas Rade segera mengemasi buku-buku beserta Al Quran yang ia bawa dan memasukkannya ke tas ransel sederhana. Mereka bertiga bercakap-cakap sebentar sebelum bersama-sama meninggalkan kota pelabuhan menuju ke arah pulau Buton bagian tengah, tempat Kesultanan Buton berada.

            Kesultanan Buton merupakan wilayah makmur dikarenakan posisinya yang strategis di tengah nusantara. Selain barang-barang dagangan dari seluruh penjuru nusantara mudah didapat di sini, para pembelinya pun beraneka ragam dan kadang berasal dari negeri yang jauh. Selain dengan negeri di nusantara dan sekitarnya ternyata Tiongkok, Han-Guk, seta Arab menjadi konsumen terbesar barang dagangan dari nusantara, apalagi semenjak India berperang, menjadikan Kesultanan Buton alternatif paling ideal setelah Samudera - Malaka. Selain itu Kesultanan Buton juga sesekali dijadikan markas bagi pasukan laut kerajaan-kerajaan di nusantara untuk menangkal serangan baik dari luar maupun dari dalam terutama semenjak berkobarnya perang di timur. Namun demikian, kehidupan di Buton sendiri dijaga supaya tetap harmonis dan sederhana serta tidak terkontaminasi budaya dari luar yang buruk. Mas Rade menceritakan itu semua kepada Abdi dan Dalem sepanjang perjalanan menuju bagian tengah kesultanan. Teknologi pun cukup maju di sini, Mas Rade bercerita ada seseorang dari Mataram yang kemarin lalu datang dan menawarkan kerjasama pembangunan energi terbarukan di Buton. Abdi dan Dalem yang mendengar cerita dari Mas Rade mengernyit sebentar kemudian menebak siapa yang dimaksud olehnya.

            "Sepertinya saya tahu yang dimaksud Mas Rade. Di tempat kita sudah dikelola dengan baik dan ada petugas khususnya untuk mengurusi masalah listrik," ujar Abdi.

            "Listrik mandiri sangat didukung di Mataram, saya sendiri pakai kok di rumah saya, diajari petugasnya cara masang dan pakainya," tambah Dalem.

            "Yap, setelah bekerjasama dengan Mataram kini Buton semakin baik dalam mengelola energi alam yang tak terbatas, anugerah dari Sang Pencipta, Alhamdulillah."

            Senyum Mas Rade menyiratkan semangatnya untuk terus bercerita mengenai keunikan Buton dibandingkan kerajaan lain di Nusantara. Sementara itu matahari sudah semakin naik tepat di atas mereka bertiga yang menandakan semakin dekatnya tujuan.

            Waktu menunjukkan hampir pukul dua belas siang, di depan terlihat beberapa menara tinggi yang sepertinya digunakan untuk mengintai. Jalan semakin menanjak, semakin mereka berjalan mendekat terlihat bahwa di belakang menara terdapat lapangan cukup luas, di ujung lapangan itulah berdiri Madrasah Dayanu. Mas Rade memimpin jalan ketika mendekati menara yang ternyata dijaga oleh para santri. Mereka langsung mengenal Mas Rade dan mengucap salam kepadanya. Luas lapangan hampir sama dengan luas pasar wolio tanpa pedagang dan barang dagangan di dalam, sepertinya lapangan ini sering digunakan untuk kegiatan para santri.

            Madrasah ini terdiri dari lima bangunan utama. Santrinya cukup banyak dan dari berbagai jenis usia. Di mata Abdi dan Dalem mereka semua memiliki satu kesamaan yang khas, peci berwarna merah.

            "Tidak semua santri di sini seumuran saya, kami mendidik santri dari umur lima tahun, yang paling tua ada yang berumur empat puluh tahun, mungkin tingkat dua belas," jelas Mas Rade tersenyum menjawab kebingungan serta pandangan melongo Abdi dan Dalem yang tak henti hentinya melihat kesana kemari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun