Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 2, Samudera) - Imam Hassan

12 Maret 2024   04:15 Diperbarui: 12 Maret 2024   10:51 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri

            

           Terik matahari sangat menyengat siang itu. Sebuah desa yang berada di pinggir kota pelabuhan, bisa diakses selama dua - tiga jam menggunakan pedati. Tempat bagi para pelancong untuk menikmati indahnya Samudera, kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Wilayahnya cukup luas dan memiliki aliansi tersendiri. Selain dengan beberapa kerajaan di Sumatera dan Malaka juga dengan kerajaan Parahiyangan dan Mataram di Pulau Jawa. Desa ini dikhususkan bagi para petani dan peternak. Tidak hanya peternak kambing dan sapi tapi peternak ikan pun banyak didapat di sini. Berbeda dengan suasana kota pelabuhan yang demikian ramai dan padat, Desa ini cukup asri dan nyaman untuk ditinggali. Kebun kelapa dan rempah menjadi pemandangan yang cukup sering ditemui. Beberapa penginapan serta kedai sederhana biasa melayani pelancong atau pedagang yang kebetulan kemari untuk melepas penat atau sekedar membeli barang dagangan secara langsung ke produsennya. Kecuali untuk tamu, bagi mereka dipersilahkan ke masjid untuk kemudian dijamu dengan makanan ala kadarnya. Abdi dan Dalem cukup beruntung. Mereka berdua hanyalah pegawai istana biasa, sedangkan yang biasanya menjadi tamu di sini adalah para patih dari kerajaan di Nusantara. Bedanya, jika pejabat kerajaan maka akan dipersilahkan ke Rumoh, yakni rumah adat khusus.

            Sedang bersantai di lantai tingkat dua masjid seusai Sholat Jumat, suara yang cukup keras memanggil keduanya. Rupanya itu adalah suara orang yang tadi pagi membawa pengumuman. Ia ditemani pria agak kekar dan tampak sedikit berumur, tak lain ialah Imam masjid yang tadi sempat mereka lihat di lapangan ketika pelaksanaan hukum islam dilaksanakan.

            Di sebelah masjid ada ruang sederhana yang biasa digunakan oleh para takmir, mereka berdua makan siang bersama di situ. Selesai bersantap siang bersama dengan menu yang cukup istimewa, yakni timphan dan gulai bebek, mereka berdua lanjut untuk bercakap-cakap dengan Imam masjid sebelum menunaikan sholat ashar.

            "Alhamdulillah.. tidak ditinggal di bawah saja itu tas kalian berdua?" Imam Masjid memulai percakapan sembari mereka duduk berhadapan di lantai. Tidak terlalu panas di dalam, bahkan angin yang masuk terasa sepoi sekali karena suasana juga sudah sepi. Hanya mereka bertiga dan di luar beberapa takmir masjid sedang bersih - bersih.

            "Ah, kami sudah biasa membawa tas kami, bahkan sambil tidur sekalipun..." ucap Dalem segera sambil tersenyum.

            "Masjid yang nyaman..." tangan abdi menyentuh lantai yang cukup dingin sembari mengeluarkan buku catatan kecil dengan logo di depannya, siap untuk segera mencatat.

            "Hmm.. kalian seperti mahasiswa saja..."

            "Hehe, iya Imam Ibrahim.. eh..." Abdi agak lupa nama lengkap beliau ketika memperkenalkan diri tadi.

Baca juga: Hakikat Dajjal

            "Ibrahim Hassan, panggil saja Hassan saudara-saudaraku."

            "Masjid yang nyaman Imam Hassan, kami bersyukur bisa mampir kemari," sahut Dalem.

            "Masjid Baiturrahman, terdiri dari dua kata 'Baitu' dan 'Al-Rahmn' yang berarti Rumah Ibadah dari Yang Maha Pengasih. Namanya sama dengan nama masjid di kota dekat pelabuhan. Alhamdulillah masjid ini masih bisa memuliakan tamu yang datang kemari, mencukupi keperluan musafir, dan dimakmurkan jamaah yang tidak sedikit," timpal Imam Hassan.

            "Oh iya, ada keperluan apa sebenarnya kalian berdua? Apakah benar hanya sekedar ingin mampir melihat-lihat tempat di Negeri Samudera ini? Kok rasanya..."

            "Mmm, sebenarnya tujuan utama kami ada di timur Imam Hassan, namun kapal yang kami tumpangi harus kemari terlebih dahulu untuk mengantarkan rombongan dagang karena memang begitu rutenya. Dimulai dari wilayah barat dahulu kemudian baru ke timur sebelum kita kembali ke Pelabuhan Banten," Dalem menjelaskan.

            "Kami juga ingin melihat pelaksanaan hukuman di Negeri yang dahulu dijuluki Serambi Mekah ini dan membandingkan dengan apa yang telah kami terapkan di Mataram. Yah, kami kan bisa dibilang baru memulai, masih harus banyak belajar..." ujar Abdi yang dibalas senyum Imam Hassan.

            "Alhamdulillah, negeri ini bisa memulainya terlebih dahulu karena Allah melimpahkan rahmatnya kepada kami."

            "Dahulu kami mulai menegakkan hukum dengan sebagian apa yang telah diturunkan Allah, kemudian secara bertahap barulah kami bisa melaksanakan semua apa yang diperintahkanNya kepada kami."

            "Tidak perlu tergesa-gesa dalam menegakkan Hukum Allah, perlahan tetapi pasti dan jangan terhenti. Dahulu pun seperti itu pada zamannya Rasulullah SAW."

            "Kami memulainya dengan makanan halal dan haram serta perjudian, kemudian kami lanjutkan dengan zina, tuduhan dan saksi palsu, pembunuhan, hingga akhirnya kami bisa menerapkan hukum Allah atas pencurian."

            "Urutan tidak menjadi masalah, karena banyak faktor yang mempengaruhi. Kondisi politik dan tekanan luar dari orang-orang yang tidak suka Hukum Allah ditegakkan saat kami memulainya dahulu juga sangat berpengaruh. Tetapi itu tidak menghentikan kami dalam menegakkan agama ini. Perlahan tetapi pasti, hal itu juga dikarenakan masyarakat Samudera sangat mencintai Islam semenjak dahulu dan tidak berubah hingga sekarang."

            Abdi membuka-buka catatannya yang telah lalu, di sana ada catatan kecil yang bukan tulisannya maupun Dalem, "Bahkan seluruh wilayah Nusantara dari dahulu sangat terbiasa melaksanakan hukum Islam."

            "Hingga..." Abdi melanjutkan kata-katanya.

            "Penjajah datang," timpal Imam Hassan.

            "Ah, bukan, tetapi maksudnya sama," pandangan Abdi kembali beralih dari buku catatan itu kepada Imam Hassan.

            "Dahulu seluruh wilayah Nusantara sudah terbiasa menjalankan Islam sebagai agama mereka baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pemerintahan. Sama halnya ketika Nusantara masih didominasi kerajaan Hindu-Buddha, masyarakatnya juga menjalankan apa yang diajarkan agama itu baik di kehidupan sehari-hari maupun dalam pemerintahan. Kemudian para penjajah datang mengajarkan agama nasrani dan cara yang sangat berbeda dalam menjalankan pemerintahan, yakni sekularisme atau pemisahan antara agama dan instistusi, utamanya badan negara yang memiliki kewenangan untuk memerintah." Imam Hassan menegakkan punggungnya sembari mengarahkan pandangan sedikit ke atas Abdi dan Dalem.

            "Hmm.. Kalau tidak salah hal itu pernah disampaikan oleh utusan dari Jawa kemari, ah ya namanya kitab Kutara Manawa, itu adalah kitab agama yang dijadikan sumber hukum ketika zaman Majapahit." sekilas melihat reaksi kedua tamunya, siapa tahu mereka mengetahui tentang kitab itu.

            "Cobalah kalian tanyakan hal tersebut ke Ulama atau orang yang memiliki pengetahuan tentang itu nanti sekembalinya kalian dari sini. Ini sangat penting sekali, karena memang baru kali itu ada cara hidup sedemikian berbeda dimana manusia meminggirkan agama hanya sebatas ritual saja sedangkan manusia nusantara ini cenderung menerima dan menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan secara utuh," pandangannya menuju ke arah Abdi yang segera mencatat.

            "InsyaAllah akan kami tanyakan Imam, hmm..." pandangannya serius ke arah buku, disebelahnya Dalem terlihat mengingat-ingat.

            "Sepertinya saya pernah mendengar hal itu namun hanya dibahas sekilas, yang saya ingat yakni sedikit mengenai kerajaan Kalingga jauh sebelum Majapahit dimana agama yang diterapkan adalah Hindu-Buddha dan hukuman bagi pencuri adalah potong kaki dan potong tangan," ujarnya.

            "Ya, betul sekali, manusia nusantara cenderung secara utuh menerima apa yang Tuhan turunkan dan perintahkan. Baru ketika penjajah datang sistem sekularisme diajarkan dan dipaksakan untuk diterapkan kepada mereka," Imam Hassan melanjutkan.

            "Rahmat Allah atas negeri ini tercurah ketika kerajaan Jeumpa, Perlak dan Samudera Pasai memeluk Islam pada abad ketiga belas. Mereka mulai belajar bagaimana menjalankan Islam secara kaffah yang ternyata tidaklah terlalu susah. Hal ini dikarenakan mereka terbiasa untuk menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan secara utuh, namun demikian harus diakui memang kebiasaan lama yang menjadi hukum adat agak susah lepas dari mereka. Semua dapat dicapai secara perlahan-lahan, di Pagaruyung ada istilah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, yang artinya adat bersendikan pada agama, sedangkan agama bersendikan pada Al-Qur'an. Pada akhirnya Islam dapat tegak secara utuh, tentunya dengan peran serta ulama, masyarakat, dan para sultan yang memimpin."

            "Hmm.. di Jawa dulu juga ada walisongo kan?" tanya Imam Hassan.

            "Iya, betul Imam, mereka yang banyak membantu mengubah adat istiadat lama menjadi sesuai dengan ajaran Islam, di kala itu," ucap Abdi.

            "Cobaan datang silih berganti, kadang ada yang berubah baik dari tata cara pelaksanaan maupun hukum yang tergantikan oleh adat kebiasaan lama, tetapi tetap saja tidak ada pemisahan antara kekuasaan dan Islam. Semua berjalan dalam satu tuntunan agama yang lurus dimana penyimpangan adalah hal wajar dan menjadi kewajiban kita untuk saling mengingatkan dalam ber amar ma'ruf nahi munkar."

            "Sejarah Samudera Pasai berakhir setelah ditaklukkan Portugis kemudian dilanjutkan oleh Kesultanan Aceh. Tidak berbeda jauh dari pendahulunya, Kesultanan ini juga berperang melawan penjajah yakni tentara Inggris dan Belanda yang silih berganti menjadi musuh mereka hingga tahun 1910 dimana Kesultanan Aceh berhasil dikalahkan oleh Belanda," Imam Hassan terdiam sejenak.

            "Bagian yang penting terdapat di akhir keberadaan Kesultanan Aceh dimana tokoh yang berperan besar saat itu adalah Christiaan Snouck Hurgronje."

            Imam Hassan melihat ke luar jendela, ke tempat para takmir yang sedang bersih-bersih.

            "Perlawanan rakyat Aceh tidak pernah padam saat itu dan Belanda dipaksa berperang dengan perang berlarut-larut yang tak tahu kapan berakhirnya. Kemudian sekitar tahun 1891 munculah tokoh Belanda menggunakan nama samaran Abdul Ghaffar. Sekitar 20 tahun perang Aceh berkobar ia menyusun laporan intelijen dengan satu poin penting: Perlawanan di Aceh tidak benar-benar dipimpin oleh Sultan, seperti yang selalu dipikirkan Belanda, namun oleh ulama-ulama Islam."

            Tatapannya masih lurus ke luar jendela ke arah takmir yang mengangkat cangkul untuk menguburkan sampah.

            "Menurut Snouck, serangan terhadap ulama akan sangat ampuh membungkam mereka dari menyampaikan ajaran-ajaran soal jihad, negara Islam, dan konsep Politik Islam lainnya; dan ke depan mereka hanya bicara soal hari akhir dan ritual ibadah saja. Sehingga Islam kala itu akhirnya dapat dipisahkan antara kekuasaan dan pemerintahan dengan agama yang hanya berisi khotbah sederhana serta ritual saja. Sekularisme pun menggerogoti Islam," menghela nafas sejenak sembari menatap kembali kedua tamunya Imam Hassan tersenyum.

            "Setelah 30 tahun berlangsung, perang Aceh akhirnya dapat dipadamkan oleh Belanda. Jalannya kehidupan pun banyak dipengaruhi oleh Pemerintah Kolonial. Namun rasa rindu untuk kembali menegakkan Hukum Allah dan rasa cinta negeri ini terhadap Islam tidak memadamkan rakyatnya untuk terus berjuang sehingga Allah mengizinkan kami menegakkan kembali syariat-Nya meskipun sedikit demi sedikit dan bertahap."

            Kali ini keheningan berlangsung cukup lama, hanya terdengar goresan tinta Abdi di atas buku catatannya sementara Dalem mengangguk-angguk memahami seluruh apa yang disampaikan Imam Hassan. Pandangan pria yang menjadi Imam Masjid Baiturrahman ini kembali keluar jendela menuju ke arah para takmir yang sekarang tampak berdiskusi di luar. Ia memelinting kerah lengan bajunya hingga ke siku, mungkin karena gerah. Dalem mengarahkan pandangan ke arah Imam Hassan, nampak beberapa bekas goresan luka di tangan kanan dan kiri, menunjukkan sosok yang tidak hanya sekedar Imam Masjid biasa. Dalam pikiran Dalem langsung terbesit sosok veteran pejuang perang yang telah lama menikmati masa damai. Itulah kenapa dia menjadi salah satu orang yang terlihat cukup disegani ketika pelaksanaan hukum potong tangan dilakukan pagi ini. Dalem kembali mengingat Imam Hassan ketika berkhutbah tadi, mengingatkan umat pentingnya memelihara hukum Hudud yang merupakan Hak Allah.

            Tiba-tiba beliau berdiri dan berjalan ke arah jendela untuk melihat lebih jelas apa yang sedang dilakukan para takmir. Dalem segera mengikuti, dengan bersusah payah menghiraukan rasa gringgingen di kakinya. Ia pun menyusul Imam Hassan ke arah jendela lantai dua masjid sementara Abdi masih sibuk menambahkan beberapa catatan di sana-sini.

            "APA YANG KALIAN RIBUTKAN ?" serunya kepada mereka.

            Beberapa takmir melongok ke atas, tampak terkejut, seseorang diantara mereka menjawab,

"Ini Imam Hassan, kami lupa tata cara menguburkan tangan.. Eee.. ini tertinggal di tanah..." ia menambahkan sambil menunjuk ke atas tanah, ternyata ada bagian potongan tangan milik salah satu pencuri dan perampok yang tadi pagi gerombolannya mendapat hukuman, sepertinya ada satu bagian yang lupa belum dikuburkan.

            "Oh, kuburkan saja segera dan tidak perlu disucikan atau disholatkan, ucapkan saja taawudz dan basmallah sebelum menguburkannya setelah itu bacalah tahmid."

            "Baiklah Imam Hassan," jawab salah satu takmir tadi.

            Dalem agak mengernyit melihat pemandangan itu, ia masih ingat tadi pagi tidak berani melihat ketika rentetan eksekusi hukuman dilaksanakan. Melihat sekilas pandangan Dalem, Imam Hassan tersenyum.

            "Ingin mencuri di sini Dalem ?" ujarnya menggoda.

            "Eh.. te.. tentu tidak Imam.. eh.. maksud saya..." Dalem sedikit terkejut mendengar Imam Hassan menggodanya.

            "Hahaha.. Tenang, bagi setiap muslim ada haknya masing-masing, selama tamu kita tidak melanggar apa yang Allah syariatkan maka selama itu pula kita melindungi dan menjamunya..." Imam Hassan menepuk bahu Dalem.

            "Begitulah Dalem.. Hukum Hadd atau Hudud adalah Hak Allah sehingga ia harus ditunaikan."

            "Tangan yang kita miliki adalah milik dan kepunyaan Allah. Dianugerahkan kepada kita untuk mencari rezekiNya yang halal di bumi ini, maka adalah hak Allah juga untuk mencabutnya dari hamba-hambanya bila ia mempergunakannya untuk mengambil yang bukan haknya..."

            Kata-kata itu diucapkan dengan penuh senyum kepada Dalem yang hanya bisa membalas setengah dari itu karena masih terkejut dengan 'candaan' sang Imam. Sementara itu suara goresan tinta di atas catatan Abdi sudah tidak ada lagi, ternyata ia juga mengikuti obrolan mereka semenjak mendengar teriakan Imam Hassan tadi. Matanya melihat Dalem dan Imam Hassan yang masih mengobrol, namun dengan perasaan yang berbeda dengan Dalem, bahwa tidak perlu takut bila tidak berniat jahat, yang perlu takut adalah mereka yang berniat jahat terhadap hak orang-orang muslim dan dengan semena-mena mendzoliminya.

            "Ah, ini perlu dicatat" ujarnya segera. Dan goresan tinta pun kembali terdengar sementara Dalem mengobrol dengan Imam Hassan. Entah apa yang mereka obrolkan tetapi suara goresan tinta dan obrolan itu perlahan-lahan tergantikan oleh suara wudhu dan diikuti Adzan Ashar. Tanda bahwa mereka harus segera menunaikan sholat. Sore yang indah di Masjid Baiturrahman, bahkan suara burung dan deru angin pun ikut menenangkan suasana.

~

            Masih memiliki waktu seminggu lagi di Samudera, Abdi dan Dalem sudah menghabiskan seminggu berada di Desa Lubuk, nama desa dimana Masjid yang indah, Masjid Baiturrahman berdiri kokoh. Mereka melihat pertanian dan peternakan serta belajar banyak dari penduduk desa. Beberapa jenis bibit rempah pun mereka kantongi selama di sini. Mereka juga bergantian mengajari petani cara bercocok tanam dengan hidroponik, cara yang digunakan di kampung halaman mereka ketika kering panjang berlangsung untuk menghemat penggunaan lahan dan air. Hari-hari yang cukup menyenangkan, apalagi setiap ba'da zuhur mereka sempatkan untuk mengobrol sebentar dengan Imam Hassan, kadang sebelum Ashar dikumandangkan. Jum'at pun kembali menjumpai mereka, kebetulan kali ini paginya tidak ada pelaksanaan hukum jinayat yang perlu untuk disaksikan umum sehingga cukup dilakukan secara tertutup saja. Hanya masalah masalah kecil, namun demikian Abdi dan Dalem ikut menyaksikan pelaksanaan hukuman tersebut ditemani Imam Hassan. Sekedar masalah pertengkaran rumah tangga, wilayah tanam yang sedikit melebar ke tetangga, dan masalah bagi hasil yang kurang adil dari sebuah perjanjian usaha bersama.

            Seusai melaksanakan Sholat Jumat mereka berdua berpamitan dengan Imam Hassan dan seluruh takmir Masjid Baiturrahman kemudian kembali ke penginapan di Desa Lubuk. Di jalan mereka menyempatkan diri berpamitan dengan beberapa petani dan peternak. Kemudian lanjut mengemas barang untuk siap menuju ke pelabuhan pada pagi harinya, kali ini hanya dengan berjalan kaki karena ternyata di hari Sabtu petani yang memilki kebun kelapa di pinggir desa libur dan baru ke pelabuhan pada hari Minggu.

            Suasana perjalanan begitu mereka nikmati dan keduanya tak hentinya membahas mengenai apa yang telah disampaikan Imam Ibrahim Hassan. Sesampainya di kota pelabuhan mereka segera mencari jalan ke arah pasar dan memang tidak susah menemukan rombongan dagang Parahiyangan dikarenakan pakaian dan barang dagangan yang mereka bawa. Setelah itu Abdi dan Dalem cukup menanyakan kembali arah tempat penginapan yang ternyata sudah dilupakan keduanya karena langsung pergi begitu menginjakkan kaki di sana. Sisa hari mereka gunakan bersama awak kapal untuk bersih-bersih dan bersiap melanjutkan perjalan serta mengisi kembali perbekalan mereka selama perjalanan nanti. Kali ini keduanya selalu berada dekat dengan kapten kapal dan membantu persiapan berlayar.

            Saat berlayar kembali pun tiba, hujan hanya datang dua kali karena memang saat itu musim kemarau dan perjalanan laut terasa akan sangat nyaman dan menyenangkan dibandingkan ketika musim hujan. Kapal Pinisi Mataram yang membawa rombongan dagang dari Parahiyangan berlayar kembali mengarungi samudera menuju pulau di tengah Nusantara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun