Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Maafkan Aku Ibu

5 Mei 2023   14:00 Diperbarui: 22 Desember 2023   08:17 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: freepik.com

Seorang pemuda terlihat gelisah, ia tak bisa berhenti bergerak di tempat duduknya. Matanya sering kali ke arah HP di tangan lalu sesekali ke luar jendela di gerbong kereta yang terasa sunyi ini. Sedikit sekali penumpang karena memang bukan hari lebaran, tahun baru, atau saatnya liburan sekolah. Hanya terlihat beberapa orang yang berada di dalam dan banyak yang memilih untuk duduk sendiri, termasuk pemuda ini.

Seorang ibu-ibu tua berumur tiba-tiba mendatangi tempatnya di dekat jendela, ibu itu duduk di sebelahnya.

"Nak, bisa minta tolong bantu ibu sebentar tidak?"

Baca juga: Doa Ayahanda

Pemuda itu nampak terkejut, tak menyangka akan didatangi seseorang, ia menjawab dengan tergagap.

"Y..ya, tentu... Bu..."

Ada nada aneh dalam intonasi di kata terakhirnya, yang membuat sang ibu tua segera bertanya kembali.

"Ada apa Nak? Sepertinya kau memikirkan sesuatu? Apa kau sedang ada masalah?"

"I..iya Bu, eh, maksudku, tidak apa-apa kok... hanya saja..." belum sempat lagi melanjutkan kata-katanya, air mata terlihat menggenangi mata bagian bawah pemuda itu.

"Kau... menangis? Apa yang membuatmu sedih?"

Pemuda itu tak langsung menjawab, ia menyeka kedua matanya dengan lengan baju. Matanya menatap wajah wanita tua itu.

"Wajah ibu mengingatkanku akan orangtuaku sendiri... di kampung halaman..."

Sang ibu mengernyit, sepertinya bisa menebak apa yang dikhawatirkan pemuda itu.

"Apa kau... sudah lama tak bertemu ibumu?"

 Pemuda tadi mengangguk, tersenyum.

"Apa yang bisa kubantu Bu?"

"Hmm, sebentar, ibu mau menghubungi putra ibu tadi, tapi entah mengapa tak bisa-bisa... ini HP ibu, apa kau bisa membantu menyambungkan telepon dengannya? Ibu tak pandai menggunakan HP soalnya..."

"Ooh, dari tadi memang sinyal hilang timbul Bu, saya sendiri menunggu balasan WA dari kampung... coba saya cek sebentar, siapa tahu provider kita berbeda Bu..."

Dilihatnya HP itu memang produk keluaran terbaru dan di bagian kanan atas ada lambang sinyal yang muncul sedikit.

"Wah, sepertinya ada sinyal Bu, ibu bisa mencoba lagi untuk menghubunginya..."

"Ah, benarkah? Baiklah tinggal pencet saja gambar logo telepon berwarna hijau kan?"

Pemuda itu tersenyum dan membantu sang ibu, dengan beberapa kali sentuhan saja telepon sudah berdengung, menandakan koneksi yang tersambung, HP lalu diserahkan kembali ke tangan Ibu.

Duut... duut... duut... duut...

Selama beberpa saat lamanya sang ibu menatap layar HP dengan wajah khawatir, hingga suaranya hilang.

"Apa sudah hilang Bu? Tinggal pencet lagi saja kok, siapa tahu anak Ibu sedang sibuk atau sedang tidak membawa HP..."

"Tidak... dia..."

Duut... duut... duut...

Tiba-tiba suara dengung telepon berhenti, seperti dimatikan dari sisi lain

.

"Apa... teleponnya ditolak?" Pemuda tadi nampak gusar, entah karena alasan apa, matanya mengernyit, meminjam HP dari tangan si ibu kembali.

Sempat terlihat raut wajah sedih sang ibu, pemuda itu nampaknya tahu sedang ada masalah yang terjadi.

"Apa anak ibu sedang terlibat masalah?"

Ibu itu hanya mengerjap sesaat, kini giliran matanya yang berlinang air mata, tak seperti si pemuda, sang ibu tak mampu membendung air mata untuk tidak jatuh ke bagian bawah kedua pipinya.

"I...ibu, maafkan saya... I.. ini ada tisu," ujar pemuda itu cukup cekatan mengambil tisu dari dalam tas kecil yang dibawanya.

Selama beberapa saat sang ibu yang mengelap air mata, pandangan menuju ke arah HP, ada tulisan yang muncul di notifikasinya.

'Sudah kubilang jangan hubungi lagi, aku akan pergi jauh Bu!'

Kalimat itu terbaca sekilas oleh si pemuda, matanya tertahan tiba-tiba ke arah tulisan di depannya, pandangannya beralih hanya kepada Ibu yang menangis di depan, lalu kembali ke notifikasi yang muncul tadi. Pikiran dan emosinya seolah bertemu, ia teringat peristiwa yang sama sepuluh tahun lalu ketika ia masih remaja.

"A...aku..."

Tak bisa meneruskan kata-katanya kepada sang ibu, si pemuda tadi nekad membuka pesan yang muncul di notifikasi HP, menghela nafas sebentar, dan menuliskan sesuatu sebelum mengirimkannya kembali kepada si anak yang mengirimkannya.

Matanya menunggu balasan, yang pasti akan ia dapatkan sebentar lagi, benar saja, notifikasinya kembali menyala.

APA!? KAU APAKAN IBUKU!? JANGAN MACAM-MACAM!

Sesaat kemudian terdengar dering telepon, pemuda itu pun mengangkatnya.

"Jaga Ibumu kalau kau masih menyayanginya!" ujarnya, nampak serius.

"SIAPA INI!? MANA IBUKU!? JANGAN MACAM-MACAM YA! AKU LAPORKAN KE POLISI KALAU IBUKU SAMPAI KAU..."

Kalimatnya hilang, si pemuda menyerahkan HP dengan tersenyum kepada sang Ibu yang tampak terkejut, meskipun demikian dengan sedikit gemetar diambilnya HP itu dari tangan si pemuda.

"Terima kasih Nak..." ucapnya lirih ketika menerima HP di tangan.

Teriakan sang anak masih terdengar dari corong HP, tapi kali ini suara Ibu berhasil menenangkannya. 

"Ini ibu Nak... ini Ibu, tenang dulu, dengarkan Ibu dulu ya... Ibu... ya, ibu baik-baik saja kok, hanya saja tadi ibu dibantu seorang pemuda supaya bisa menghubungimu... iya... iya... tenang... yang ibu khawatirkan hanya keadaanmu Nak, dikau masih tiga belas tahun, belum memilki pengalaman yang cukup untuk merantau... Ibu khawatir Nak..."

Air mata sang Ibu kembali bercucuran, ia membujuk anaknya supaya kembali.

"Lebih baik kau tetap di kampung saja dulu, membantu di kebun Pamanmu atau sekadar mencari nafkah apa adanya, mungkin lima tahun lagi baru kau ibu izinkan untuk pergi jauh, itu karena ibu sayang dirimu Nak..."

Jawaban di ujung corong telepon sepertinya tak bersahabat, membuat sang ibu memegang dadanya, pemuda tadi nampak gelisah, entah kenapa ia berusaha meminjam HP sang Ibu.

Mungkin karena sang Ibu merasa tak bisa membujuk anaknya untuk kembali atau keadaannya yang bersedih hati, ia mau memberikan HPnya kembali ke pemuda tadi.

"...AKU TAK MAU HIDUP MISKIN! AKU INGIN KAYA BU, AKU PASTI KEMBALI LAGI KE KAMPUNG DENGAN MEMBAWA..."

"UTANG YANG BANYAK! AKHLAK YANG BURUK! KAU TAHU, KAU HANYA AKAN MENJADI PENYAKIT MASYARAKAT KETIKA KEMBALI NANTI!"

Suara di corong telepon seketika terhenti, muka sang ibu terlihat kaget, tapi ia tetap terdiam dan hanya mengangguk ke arah pemuda yang sekilas menatapnya lembut.

"Dengarkan aku baik-baik bocah kecil, Ibumu mencarimu hingga menaiki kereta seorang diri, menanyakan kepadaku caranya meneleponmu, entah ia dapat HP dari mana, tapi ia sudah berusaha mati-matian, sendiri, hanya sendiri... DENGARKAN!"

Suara protes di ujung corong yang mencoba kembali mengudara terpaksa terhenti lagi.

"Aku sudah berpengalaman lebih lama darimu soal merantau, apa kau mau jadi pengemis? Kau mau jadi preman? Kau mau kerja di mana? Mereka hanya memanfaatkanmu kecuali jika kau benar-benar punya keahlian, bahkan sekedar ijazah tak akan membuatmu menjadi kaya! Apa kau masih ingin bertemu dengan Ibumu? Karena mungkin setelah ini kau tak akan pernah bertemu dengannya lagi, bisa jadi ini adalah saat terakhirmu bertemu ibumu!"

Tak ada yang berbicara selama beberapa saat, baik pemuda maupun sang Ibu menunggu suara kembali datang di ujung pengeras telepon genggam.

"I..ibu naik kereta katamu tadi? HP... ibu pinjam HP siapa? Kan kita tak bisa beli lagi, aku membawa HP Ibu..."

Mata si pemuda kembali mengernyit, ada emosi yang tertahan, namun sebelum ia sempat berkata-kata lagi, si ibu sudah mengulurkan tangannya, HP pun diberikan kembali.

"Pulanglah Nak... Ibu meminjam ke tetangga, ibu hanya punya dirimu seorang, lima tahun lagi, ibu janji..."

Percakapan ibu dan anak itu terasa menjauh, si pemuda teringat peristiwa sepuluh tahun lalu. Waktu itu bisa diibaratkan posisinya sama seperti sekarang, dirinyalah di ujung telepon itu dan ibunya memohon dirinya untuk kembali pulang. Sayang, tak ada yang memarahinya seperti ia memarahi bocah di ujung telepon itu tadi.

Ada perubahan suasana, raut sang ibu juga lebih cerah, senyumnya kini hadir di sela-sela air mata yang masih turun sesekali.

Setelah beberapa saat lamanya pembicaraan anatara ibu dan anak itu pun berakhir dengan baik. Sang anak akan kembali dan menjemput di stasiun tempat ibunya akan turun nanti.

Sang ibu berterima kasih kepada si pemuda dan meninggalkan gerbong ke arah belakang, kembali ke tempat duduknya semula.

Tasnya tiba-tiba bergetar, ada pesan masuk di HP miliknya sendiri. Dibukanya tas dan kunci layar HP, namun notifikasi di bagian atas sudah menunjukkan isi pesannya.

'Ibu menunggumu, masih sakit dari seminggu yang lalu'

Pesan yang ditunggu-tunggunya pun tiba, dari tetangganya sendiri di kampung halaman, yang nomornya baru ia dapat hari ini sebelum naik kereta.

Kini giliran dirinyalah yang menangis. Air matanya deras bercucuran. Kejadian tadi dan pesan yang diterimanya barusan membuatnya tak berdaya. Hatinya terus mengucap kata-kata yang diulang, berharap itu segera sampai ke perempuan yang telah melahirkannya, yang ditinggalkannya sepuluh tahun lalu untuk merantau jauh ke negeri orang. 

Doanya hanya supaya luka itu sembuh dari dada sang ibu tercinta, luka yang diakibatkan kenekatannya sewaktu kecil, melawan perintah sang Ibu untuk tetap di desa sementara waktu. Bukan kekayaan yang didapatkannya, bahkan hidupnya pun pas-pasan di negeri perantuan.

Seluruh bagian tubuhnya ingin segera bersimpuh sujud di hadapan sang ibunda.

Maafkan aku Ibu...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun