Kalimatnya hilang, si pemuda menyerahkan HP dengan tersenyum kepada sang Ibu yang tampak terkejut, meskipun demikian dengan sedikit gemetar diambilnya HP itu dari tangan si pemuda.
"Terima kasih Nak..." ucapnya lirih ketika menerima HP di tangan.
Teriakan sang anak masih terdengar dari corong HP, tapi kali ini suara Ibu berhasil menenangkannya.Â
"Ini ibu Nak... ini Ibu, tenang dulu, dengarkan Ibu dulu ya... Ibu... ya, ibu baik-baik saja kok, hanya saja tadi ibu dibantu seorang pemuda supaya bisa menghubungimu... iya... iya... tenang... yang ibu khawatirkan hanya keadaanmu Nak, dikau masih tiga belas tahun, belum memilki pengalaman yang cukup untuk merantau... Ibu khawatir Nak..."
Air mata sang Ibu kembali bercucuran, ia membujuk anaknya supaya kembali.
"Lebih baik kau tetap di kampung saja dulu, membantu di kebun Pamanmu atau sekadar mencari nafkah apa adanya, mungkin lima tahun lagi baru kau ibu izinkan untuk pergi jauh, itu karena ibu sayang dirimu Nak..."
Jawaban di ujung corong telepon sepertinya tak bersahabat, membuat sang ibu memegang dadanya, pemuda tadi nampak gelisah, entah kenapa ia berusaha meminjam HP sang Ibu.
Mungkin karena sang Ibu merasa tak bisa membujuk anaknya untuk kembali atau keadaannya yang bersedih hati, ia mau memberikan HPnya kembali ke pemuda tadi.
"...AKU TAK MAU HIDUP MISKIN! AKU INGIN KAYA BU, AKU PASTI KEMBALI LAGI KE KAMPUNG DENGAN MEMBAWA..."
"UTANG YANG BANYAK! AKHLAK YANG BURUK! KAU TAHU, KAU HANYA AKAN MENJADI PENYAKIT MASYARAKAT KETIKA KEMBALI NANTI!"
Suara di corong telepon seketika terhenti, muka sang ibu terlihat kaget, tapi ia tetap terdiam dan hanya mengangguk ke arah pemuda yang sekilas menatapnya lembut.