Makan malam sudah berlalu sejak setengah jam. Aku tidak kembali ke kamarku, pun begitu istriku tengah menemani Rendi, anak kami agar lekas tidur. Rencana untuk berkunjung ke taman yang ada di kota membuatku pergi ke loteng dan mencari sepatu roda yang pernah kugunakan dulu, sebelum menikah, untuk bermain bersama Rendi minggu sore nanti.
Aku menurunkan beberapa tumpukan dus, membongkarnya. Aku yakin kalau telah menyimpan sepatu roda berwarna abu-abu itu di salah satu dus dan meletakkannya di sini bersama barang-barang tak terpakai lainnya. Membuatku terus mencari dan melepas selotip yang merekat pada tiap-tiap dus yang mengunci rapatnya.
"Ah, ternyata memang benar ada di sini," gumamku setelah menemukannya di dalam sebuah dus mie instan yang terbungkus rapi oleh koran.
Tak lama setelah memisahkan sepatu roda itu dan merapikan dus-dus hingga tersusun seperti semula, aku langsung bergegas menuruni anak tangga kecil yang terbuat dari kayu sebagai pijakannya, dan tambang untuk menyambung tiap-tiap kayu. Hingga cahaya bulan yang menyorot ke jendela berbentuk segitiga terpantul pada sebuah benda, berkilau. Aku menghentikan langkahku pada anak tangga keempat dari atas, tubuhku yang baru keluar sepinggang kini mematung. Memicingkan mata, lantas kembali menaiki anak tangga kayu ini dan memeriksa sebuah benda berkilau tadi.
Aku berjalan pelan, memastikan sorot mataku tak melepas pandangan pada benda berkilau itu, melewati tumpukan dus yang aku geser sedikit dengan tangan dan kaki, lalu menghampiri sudut loteng yang hampir dekat dengan jendela kecil. Menyibak beberapa benda seperti tumpukan koran, buku, juga sebuah dus yang sempat menghalangiku untuk mengambil benda kecil yang bersembunyi dan menyelinapkan diri pada celah kayu yang renggang.
Ya, seperti dugaanku sebelumnya. Benda berkilau itu adalah kalung dengan liontin berbentuk hati. Aku mengambilnya, kemudian menggeser sebuah kursi kecil yang juga ada di loteng. Duduk sembari memandangi benda yang sudah lama sekali aku lupakan, atau mungkin aku malah mencarinya di dasar alam bawah sadarku. Ada sesuatu yang istimewa dengan kalung itu. Sebuah kenangan tentang akhir musim panas yang kemudian berganti dengan ditandai turunnya satu persatu tetes air dari langit.
Waktu itu, tepatnya pada awal bulan Juli atau mungkin akhir bulan Juni, itu berlangsung 15 tahun lalu. Aku menatap seseorang yang sama sekali tidak asing bagiku. Gadis itu mengenakan seragam seperti anak-anak perempuan lainnya, menyandarkan punggungnya ke bangku dan tangannya tengah memainkan pensil 2B yang baru diraut. Aku yang duduk paling belakang hanya bisa memandangi separuh wajahnya yang kini sedang menyunggingkan senyum tatkala ia berbincang dengan seseorang di sampingnya.
Jauh sebelum rutinitas gila ini aku lalukan---memandanginya setiap jam istirahat, aku juga sudah sering mencuri pandang padanya selama dua tahun belakangan. Melirik setiap kali ada kesempatan, bahkan terkadang aku tertangkap basah oleh temanku---yang sempat dicintainya. Ah, seluruh anak di kelas, bahkan di sekolah, mereka sudah tahu tentang perasaanku ini. Bahkan dia juga sama. Hanya saja entah kenapa gadis berlesung pipi itu tak pernah melirik sekalipun padaku. Dia sekadar menganggapku sahabat, tidak lebih dan tidak kurang. Namun aku rasa tidak untuk kali ini. Aku sudah menunggu terlalu lama.
"Bagaimana?" tanyaku gemetar setelah mempertanyakan kesetujuannya.
Dia menundukkan kepala. Itu adalah reaksi pertama yang biasa dilakukannya setiap kali ada teman-teman lelakiku yang menyatakan cinta padanya. Aku tahu seperti apa dia, juga peraturan keluarganya. Tapi ... tidak ada salahnya, bukan, jika aku berpacaran dengannya.