Mohon tunggu...
Imroah
Imroah Mohon Tunggu... Lainnya - Hidup dalam ketenangan

Seneng Ghibahahahaha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Izinkan Aku Menziarahi Malam

24 Maret 2021   12:33 Diperbarui: 24 Maret 2021   12:37 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. Pribadi: Balai Pemuda Surabaya

"Menikah adalah nasib, mencintai adalah takdir, entah megapa kata mbah janjuker yang terucap oleh bibirku di malam itu."

Tak lekang oleh ingatan sebuah kenangan di linimasa, membuat aku merenung lebih lama. Hingga kucoba membuka pesan terakhir, ketika kata mulai tak saling silang. Dan aku masih belum tahu, mengapa sebegitu berani aku mengirim pesan itu untukmu.

"Menikah adalah nasib, mencintai adalah takdir. Aku bisa merencanakan menikah dengan siapa, namun tak dapat kurencanakan cintaku untuk siapa."

"Mas, aku sudah tunangan. Aku hanya ingin menyampaikan ini padamu."

"Aku tidak meminta apapun atasmu, hanya berharap aku bisa mengungkapkan kata yang tak sempat diucap embun pada pagi. Tak sempat di ucap lumut pada lantai. Tak sempat diucap air pada padi."

"Menjelang pernikahanku. Bisakah kita bertemu sekali saja ?"

"Semoga kita dipertemukan bersama malam, seperti waktu itu."

"Karena setiap malam datang, aku berada disana. Bersama kesunyian."

"Masih ingatkah, kopi yang kamu pesan malam itu."

"Ku buatkan spesial untukmu."

"Aku percaya setiap yang diberikan dari hati. Akan sampai pada hati."

"Tapi mungkin, kepercayaanku adalah tahayul."

Pesan singkat yang terkirim di malam itu.  Tidak ada balasan kalimat ataupun kata. Hanya senyum simpul yang dikirim untuk menjawab semua ocehanku. Beribu kali kusampaikan, dia hanya terdiam.

"Mas, sebelum aku menikah. Bolehkah, hanya semenit kita bertemu."

"Atau, jika memang engkau sibuk dengan pekerjaanmu. Aku ingin menelponmu, barang hanya semenit."

"Mas ?"

"Sesibuk itukah, hingga tak sempat kamu membaca pesanku ?"

Berhari-hari telah berlalu, minggu telah terlewat. Tidak kunjung ada kabar darinya. Hingga di sore hari dia menjawab,

"Semoga bahagia"

"Aku menghormati pilihanmu, namun ingatlah bahwa akan ada aku di wajahmu."

Satu pertanyaan meluncur dari mulutnya, usai berdiam lama sekali. Berhari-hari dan berminggu-minggu dia tidak merespon pesanku.

"Aku tefun ya, sebentar sehabis aku dari dapur. Aku akan menghubungimu."

Mataku membaca pesannya dengan penuh penantian. Namun lagi-lagi tidak ada kabar. Sehari, dua hari, tiga hari. Tidak kunjung ada telfun yang berdering.

Mungkin dia sibuk, batinku. Waktu begitu cepat dan hari penikahan semakin dekat. Hatiku sudah tak kuasa untuk mendengar suaranya untuk yang terakhir kali. Aku putuskan untuk menelfunnya.

"Mas, sibuk kah ?"

"Bolehkah, aku mengganngu waktumu satu menit saja."

"Boleh, aku masih naik tangga. Aku kekamar dulu. Aku tutup sebentar. Akan aku telfun lagi, tunggu dua menit."

Aku menunggu waktu dua minit itu. Serasa sangat lama. Dan kali ini dia menepati janjinya. Dia menelfunku setelah dua menit.

"Hallo."

"Maaf, menunggu."

"Aku sudah membaca pesanmu. Tapi aku tidak tahu harus menjawa apa."

"Mungkin aku terlambat menyadari.  Bahkan aku terlambat untuk sekedar berbicara.

"Aku harus berpikir."

"Aku terlalu berhati-hati."

"Sebenarnya ingin membawamu kesini, namun kamu sudah dahulu memutuskan pergi."

"Apa yang bisa ku jawab, kecuali diam. Semua telah ku rencanakan sedetail mungkin dalam folder."

"Tapi Tuhan berkehendak lain. Dia lebih cepat membuka foldermu, sebelum aku menunjukkan isi folderku."

"Mas, apa yang bisa kulakukan ? Aku tidak pernah berani menyapamu."

"Kamu juga tak pernah melihatku dengan sebenarnya"

"Tak pernah menyatakan aku ada."

"Lalu ?"

Dia mencoba menerka alasanku. Namun tak pernah kujelaskan apa yang membuatku pergi.  Dia membiarkan air mataku menetes berkali-kali.

"Menangislah, jika itu membuatmu lega!"

"Apapun yang terjadi, aku sangat menghormati keputusanmu."

Aku sangat percaya, sekalipun aku menikah berkali-kali. Namun tak bisa kupungkiri cinta ku hanya datang sekali. Dan itu, cinta pada orang yang sama. Aku alami itu padamu.

Kamu begitu pandai menyemai benih-benih di tamanku. Aku yang dengan senang menyiram biji itu sepenuh hati. Hingga tumbuh begitu tinggi mengangkasa. Menyentuh nirwana dan singgasan-Nya.

Aku menghapus semua kenang tentangmu. Agar ada jeda. Nyatanya jeda tidak membuat jarak. Namun semakin membuat subur tanaman itu.

Sewindu sudah kata tak saling silang. Dan aku telah diberikan buah pernikahan oleh suamiku. Malaikat kecil. Malaikat yang gagah sepertimu. Tampan sepertimu. Mata tajam sepertimu. Apa kamu tahu ? Namamu utuh kusematkan dalam nama anakku. Panji Bangun Asmoro.

Meskipun Tuhan tidak mentakdirkan kita Bersatu, tapi Tuhan mengirimkan malaikat kecil yang tak ubahnya sepertimu. Senyumnya, matanya, suaranya. Tidak ada yang berubah dari sosokmu yang menjelma menjadi malaikat kecil itu, yang sekarang setiap hari menemani hari-hariku.

Anak ini adalah malam. Tempat paling sunyi untuk aku berziarah mengenang dan membayangkan wajahmu yang terlelap begitu nyeyak disampingku. Wajah yang kudambakan membangunkanku. Wajah yang ku dambakan menatap wajahku. Dan wajah yang ku dambakan menyugukan kekuatan beserta kerendahatian. Terimakasih telah mengizinkan berziarah disetiap malam, dan kesunyian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun