"Menikah adalah nasib, mencintai adalah takdir, entah megapa kata mbah janjuker yang terucap oleh bibirku di malam itu."
Tak lekang oleh ingatan sebuah kenangan di linimasa, membuat aku merenung lebih lama. Hingga kucoba membuka pesan terakhir, ketika kata mulai tak saling silang. Dan aku masih belum tahu, mengapa sebegitu berani aku mengirim pesan itu untukmu.
"Menikah adalah nasib, mencintai adalah takdir. Aku bisa merencanakan menikah dengan siapa, namun tak dapat kurencanakan cintaku untuk siapa."
"Mas, aku sudah tunangan. Aku hanya ingin menyampaikan ini padamu."
"Aku tidak meminta apapun atasmu, hanya berharap aku bisa mengungkapkan kata yang tak sempat diucap embun pada pagi. Tak sempat di ucap lumut pada lantai. Tak sempat diucap air pada padi."
"Menjelang pernikahanku. Bisakah kita bertemu sekali saja ?"
"Semoga kita dipertemukan bersama malam, seperti waktu itu."
"Karena setiap malam datang, aku berada disana. Bersama kesunyian."
"Masih ingatkah, kopi yang kamu pesan malam itu."
"Ku buatkan spesial untukmu."