Tubing gagal dan glamping entah kapan, aku dan Reki memutuskan untuk ke air terjun saja. Ada dua pilihan, yaitu rute jauh atau rute dekat. Tentunya, sebagai permulaan, kami memilih yang terdekat.
Kami diharuskan pergi dengan seorang pemandu yang merupakan warga lokal. Namun, kalau sudah tahu jalannya, bisa saja pergi sendiri.
Ketika dijalani, waktu tempuhnya hanya sekitar setengah jam dari tepi sungai, tempat pusat informasi berada. Kami melewati perumahan warga menuju bukit di belakangnya. Lalu melewati hutan dengan jalan setapak yang agak tertutup tanaman dan rumput.
Beberapa kali pemandu mengingatkan kami untuk waspada pada pacet yang mungkin saja menempel di kaki. Saya pun jadi sering memeriksa kaki, dan beberapa kali harus membuang paksa pacet yang melekat secara diam-diam itu.
Begitu melihat air terjun di depan mata, saya langsung teriak girang. Tidak sabar ingin melompat dan diguyur tumpahan airnya.
Sejujurnya, air terjunnya terbilang rendah dan kecil, tapi akibat sudah terlalu lama di rumah saja karena pandemi, surga kecil itu sungguh menyenangkan. Bergegas, saya mengganti pakaian.
Setelah foto-foto sebentar dan melepas alas kaki, saya langsung melangkah ke pancuran alami itu. Badan berasa dipijat saat airnya menerpa keras bahu dan punggung. Dingin tapi segar, dan lama-lama terasa nyaman.
Semua pengalaman itu aku abadikan dalam video ini:
Semua keseruan itu hanya segelintir aktivitas yang bisa dilakukan di Desa Rindu Hati. Masih ada rute hiking yang lebih panjang serta menantang, dan tentunya dengan pemandangan yang lebih membuat decak kagum. Saya juga belum kesampaian menyesap kopi dan mencicipi kuliner lokalnya.
Ingin balik, tapi akan seru kalau beramai-ramai. Setidaknya lima orang, sesuai jumlah minimal agar bisa ikutan tubing.