Pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Tjahjo Kumolo, tentang peniadaan ujian calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada 6 Juli 2020 yang lalu dapat membuka sebuah diksusi kesejarahan yang menarik.
Kumolo menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan membuka rekrutmen pegawai negeri setidaknya hingga tahun 2021.
Tindakan ini didasarkan pada kondisi negara yang sedang dalam krisis pandemi. Sepanjang sejarah Indonesia, bahkan sejak masa tradisional, jabatan "pegawai negeri" dalam berbagai bentuk evolusinya selalu menjadi pekerjaan tujuan masyarakat.
Pada masa tradisional, jabatan diinginkan karena memberikan ruang bagi kedekatan seorang kawula (rakyat) dengan gustinya (raja)---tentu saja disertai dengan perolehan simbolisme kehormatan dan wewenang yang mendatangkan kecukupan pendapatan.
Namun, persoalan kedekatan kawula dengan gusti ini tetap menjadi fokus utama karena memberikan keuntungan magis-religius.
Di dalam lingkaran kultural Jawa, pengabdian kepada raja menjadi kunci bagi kedatangan berkah. Dengan demikian, menjadi pegawai negeri atau abdi bagi kerajaan memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar materi.
Pemikiran semacam ini setidaknya bertahan hingga kedatangan Eropa dan pembentukan negara kolonial. Pada tahun 1830, praktik cuulturstelsel (atau Sistem Tanah Paksa) mendatangkan cakrawala pemikiran baru tentang keuntungan materiel dan keamanan jabatan bagi sebuah trah.
Para pejabat negeri pada tingkat bekel (kepala desa) hingga bupati menikmati keuntungan materiel yang besar daripada sekedar berkah raja ketika mereka dapat memenuhi target setoran natura yang dituntut negara kolonial.
Pemikiran ini berubah lagi setelah Hindia Belanda melakukan reformasi birokrasi berturut-turut sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kekuatan Eropa di seluruh Asia pada masa itu memperkenalkan konsep jaminan sosial bagi warganya.
Namun demikian, konsep ini tampaknya baru menjangkau para pegawai kolonial dan tidak sampai pada warga biasa.
Pada tahap ini, motivasi menjadi bagian dari birokrasi---baik tradisional maupun kolonial---diperkaya dengan adanya jaminan sosial. Hal ini bertahan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan mulai menyusun sistem birokrasi negara.
Seluruh aspek keuntungan menjadi pegawai negeri terkristalisasi dan terpatri dalam benak masyarakat Indonesia. Dengan menjadi seorang pegawai negeri, setidaknya seseorang akan mendapat keuntungan materiel dan tunjangan.
Tampak pula bahwa aspek keuntungan berupa "berkah" yang berakar dari masa pramodern pudar dengan cepat. Sejak permulaan masa pascakolonial hingga hari ini, pemikiran tentang keutungan menjadi pegawai negeri ini tidak berubah.
Semua kalangan masyarakat berbondong-bondong menjadikannya tujuan dan mengambil ujian yang tiap-tiap tahun diadakan pemerintah. Berita dari Kumolo tadi kemudian menjadi pukulan, yang bisa jadi sangat serius, bagi orang-orang yang sedang mengharapkan hal itu.
Namun demikian, bila kita tidak melulu memandang sekedar pada sejarah Indonesia, mungkin dihentikannya ujian negara untuk sementara dapat menjadi hal yang tidak terlalu negatif.
Sejarah Cina modern memberikan contoh yang baik terhadap efek dari rekrutmen tahunan pegawai negeri yang dilakukan secara ajek.
Sejak permulaan abad ke-2 sebelum Masehi, Cina telah melaksanakan ujian tahunan untuk merekrut pegawai negeri. Ujian yang mulai dilaksanakan secara ajek sejak masa Dinasti Han (206 SM--220 M) tersebut menjadi agenda rutin hingga dihapuskan oleh Dinasti Qing pada tahun 1905. Ujian negara dilaksanakan dengan tes terhadap kemampuan siswa mengenai literatur klasik Konfusianisme.
Subjek yang diujikan mencakup urusan hukum, pemerintahan, dan analek-analek yang dicatat dari pengajaran Konfusius.
Hingga penghapusannya, kurikulum tersebut tidak berubah. Sekalipun disebut sebagai siswa, orang-orang yang mengikuti ujian negara awalnya---sebelum Dinasti Song (960--1279)---belajar secara mandiri atau pada guru-guru Konfusianis yang terkemuka.
Sistem ini diubah oleh Dinasti Tang dan Dinasti Song yang mendirikan akademi untuk para pelajar. Namun, tidak semua peserta belajar pada akademi yang khas elite tersebut.
Ujian negara di Cina tidak dilaksanakan dalam satu babak. Seorang peserta harus lulus pada tingkat-tingkat yang bertahap, dimulai dari tahap kabupaten untuk mendapat gelar lulus xiucai, provinsi untuk mendapat gelar lulus juren, dan ibu kota metropolitan yang biasanya disaksikan kaisar untuk mendapat gelar lulus terbaik jinshi.
Sebenarnya, dengan lulus pada tingkat paling dasar sekali pun (xiucai) seseorang dapat mengambil jabatan tingkat kabupaten.
Namun, banyak peserta yang jelas memiliki tujuan untuk masuk dalam Dewan Sekretariat Agung di pusat kerajaan. Untuk mencapai jabatan tersebut, seseorang harus mendapat gelar jinshi.
Dengan demikian, tahap penunjukan seseorang agar dapat menduduki sebuah jabatan adalah lulus ujian pada suatu tingkat dan baru kemudian ditunjuk dalam pos yang tersedia---bila tersedia pos jabatan yang kosong.
Praktik ini berjalan dengan cukup lancar selama berabad-abad. Namun demikian, praktik ajek tersebut menimbulkan permasalahan yang pelik pada abad ke-19.
Populasi Cina pernah mengalami dua kali lonjakan jumlah yang besar. Pertama, lonjakan terjadi pada masa Dinasti Song Utara (960--1127), dari 50 juta orang ke 120 juta orang sebelum kembali turun.
Kedua, lonjakan terjadi pada tahun 1700 hingga 1830 saat masa Dinasti Qing. Lonjakan kedua ini menghadirkan angka jumlah penduduk lebih dari 400 juta orang dari yang awalnya hanya 56 juta orang. Kelompok populasi yang meningkat pada tahap kedua itu adalah kelompok bangsawan terpelajar.
Dengan demikian, hal ini meningkatkan persaingan ujian negara. Jumlah peserta ujian meningkat, tetapi jumlah kelulusannya tidak banyak berubah. Selain itu, banyak pos jabatan yang masih terisi oleh pejabat-pejabat senior seiring dengan peningkatan angka harapan hidup pada awal abad ke-19.
Terdapat dua efek berat yang dihadapi oleh sistem ujian negara, yaitu jumlah kelulusan yang membeludak sehingga tak dapat ditampung oleh pos jabatan dan jumlah peserta tidak lulus yang sangat besar.
Permasalahan pertama menghasilkan efek lain, yaitu gelar kosong---karena orang yang lulus ujian sudah menerima gelar sebagai "calon pegawai negeri", tetapi tidak ada pos yang kosong. Sedangkan, permasalahan kedua tadi menghadirkan barisan sakit hati yang banyak jumlahnya.
Dalam penuturan Dr. Priyanto Wibowo, kedua permasalahan ini bermuara pada satu konsekuensi yang pasti, yaitu ketidakstabilan politik. Baik peserta ujian yang lulus tetapi tidak mendapat pos pekerjaan maupun peserta yang gagal sama-sama dalam posisi yang sulit untuk menghadapi lingkungan sosialnya.
Namun, banyak dari mereka yang kemudian menjadi cendikiawan lokal atau guru yang pada akhirnya rawan terhadap ide pemberontakan.
Salah satu reformis Cina yang memimpin Pemberontakan Taiping (1850--64), Hong Xiuquan, adalah orang yang gagal tahap akhir ujian negara sebanyak empat kali.
Pola ketidakpuasan ini terus tercipta hingga awal abad ke-20. Salah satu alasan paling penting dari berbagai kegaduhan ini adalah membeludaknya jumlah peserta ujian yang gagal dan calon pegawai negeri (peserta lulus) tadi.
Dr. Wibowo menjelaskan bahwa pertemuan kelompok terpelajar ini dengan suara tidak puas rakyat dan kekuatan militer daerah menjadi kunci pecahnya pemberontakan-pemberontakan di Cina sepanjang abad ke-19 dan 20.
Kenyataan ini menjadi sangat menarik karena diawali oleh sebuah faktor yang tampak tidak penting, yaitu "ujian negara"---yang dapat disandingkan dengan ujian pegawai negeri kita. Sekalipun banyak memiliki perbedaan, sistem ujian negara dan sistem ujian pegawai negeri dapat menghasilkan efek yang sama.
Belakangan, Indonesia beberapa kali membaca berita tentang suara "ketidakpuasan" terhadap pemerintah yang ditulis atau diinisiasi oleh pegawai negeri---dan hal ini selalu dianggap telah melanggar sumpah jabatannya. Rekrutmen ajek dari pegawai negeri---sebuah pos jabatan yang menjadi ilusi kesuksesan di Indonesia---dapat jadi menghasilkan dua efek negatif.
Efek pertamanya tentu pemborosan pada bidang yang mungkin tidak terlalu dibutuhkan. Selain itu, penerimaan yang ajek menghasilkan jumlah peserta lulus yang besar, tetapi tidak menjamin tersedianya pos-pos jabatan yang memuaskan.
Kita jangan melupakan bahwa salah satu orientasi utama pengejar jabatan pegawai negeri adalah keuntungan materiel dan tunjangan.
Bila seseorang dengan orientasi seperti ini diletakkan pada pos-pos yang tidak dapat memenuhi ekspektasinya, sangat mungkin terdengar suara berontak dan tidak puas. Cina telah membuktikannya dengan banyaknya jumlah "pegawai negeri" mereka pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 yang bergabung bersama militer lokal dalam usaha menggulingkan keluarga kerajaan di ibu kota.
Mungkin saja, Indonesia membutuhkan perampingan birokrasi untuk memastikan setiap pos memuaskan dan sekaligus membutuhkan perubahan sistem rekrutmen dari pola yang ajek menjadi rekrutmen hanya ketika ada pos yang butuh diisi.
Namun, kalau begini, di mana posisi pengabdian?
Tampaknya, konsep itu sudah ditinggalkan dan sekedar menjadi catatan pramodern.
Daftar Sumber
- Brine, Lindesay. 1862. The Taeping rebellion in China. London: J. Murray.
- Cartwright, Mark. 2019. "The Civil Service Examinations of Imperial China". Ancient History Encyclopedia. 19 Jul 2020.
- Deng, Kent. 2015. "China's Population Expansion and Its Causes during the Qing Period, 1644--1911". LSE Economic History Working Papers No. 219/2015.Â
- Duyvendak, J. J. L. 1947. Wegen en Gestalten der Chineesche Geschiedenis. Amsterdam: Elsevier.
- Ong, Hok Ham. 2018. Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang. Jakarta: KPG.
- Vlekke, Bernard H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.
- Wasserstrom, Jeffrey N. 2016. The Oxford Illustrated History of Modern China. London: Oxford UP.
Penulis
Christopher Reinhart adalah peneliti bidang sejarah kuno dan sejarah kolonial wilayah Asia Tenggara dan Indonesia. Sejak tahun 2019, menjadi asisten peneliti Prof. Gregor Benton pada School of History, Archaeology, and Religion, Cardiff University. Sejak tahun 2020, menjadi asisten peneliti Prof. Peter Carey.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H