Pada tahap ini, motivasi menjadi bagian dari birokrasi---baik tradisional maupun kolonial---diperkaya dengan adanya jaminan sosial. Hal ini bertahan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan mulai menyusun sistem birokrasi negara.
Seluruh aspek keuntungan menjadi pegawai negeri terkristalisasi dan terpatri dalam benak masyarakat Indonesia. Dengan menjadi seorang pegawai negeri, setidaknya seseorang akan mendapat keuntungan materiel dan tunjangan.
Tampak pula bahwa aspek keuntungan berupa "berkah" yang berakar dari masa pramodern pudar dengan cepat. Sejak permulaan masa pascakolonial hingga hari ini, pemikiran tentang keutungan menjadi pegawai negeri ini tidak berubah.
Semua kalangan masyarakat berbondong-bondong menjadikannya tujuan dan mengambil ujian yang tiap-tiap tahun diadakan pemerintah. Berita dari Kumolo tadi kemudian menjadi pukulan, yang bisa jadi sangat serius, bagi orang-orang yang sedang mengharapkan hal itu.
Namun demikian, bila kita tidak melulu memandang sekedar pada sejarah Indonesia, mungkin dihentikannya ujian negara untuk sementara dapat menjadi hal yang tidak terlalu negatif.
Sejarah Cina modern memberikan contoh yang baik terhadap efek dari rekrutmen tahunan pegawai negeri yang dilakukan secara ajek.
Sejak permulaan abad ke-2 sebelum Masehi, Cina telah melaksanakan ujian tahunan untuk merekrut pegawai negeri. Ujian yang mulai dilaksanakan secara ajek sejak masa Dinasti Han (206 SM--220 M) tersebut menjadi agenda rutin hingga dihapuskan oleh Dinasti Qing pada tahun 1905. Ujian negara dilaksanakan dengan tes terhadap kemampuan siswa mengenai literatur klasik Konfusianisme.
Subjek yang diujikan mencakup urusan hukum, pemerintahan, dan analek-analek yang dicatat dari pengajaran Konfusius.
Hingga penghapusannya, kurikulum tersebut tidak berubah. Sekalipun disebut sebagai siswa, orang-orang yang mengikuti ujian negara awalnya---sebelum Dinasti Song (960--1279)---belajar secara mandiri atau pada guru-guru Konfusianis yang terkemuka.
Sistem ini diubah oleh Dinasti Tang dan Dinasti Song yang mendirikan akademi untuk para pelajar. Namun, tidak semua peserta belajar pada akademi yang khas elite tersebut.
Ujian negara di Cina tidak dilaksanakan dalam satu babak. Seorang peserta harus lulus pada tingkat-tingkat yang bertahap, dimulai dari tahap kabupaten untuk mendapat gelar lulus xiucai, provinsi untuk mendapat gelar lulus juren, dan ibu kota metropolitan yang biasanya disaksikan kaisar untuk mendapat gelar lulus terbaik jinshi.