Salah satu reformis Cina yang memimpin Pemberontakan Taiping (1850--64), Hong Xiuquan, adalah orang yang gagal tahap akhir ujian negara sebanyak empat kali.
Pola ketidakpuasan ini terus tercipta hingga awal abad ke-20. Salah satu alasan paling penting dari berbagai kegaduhan ini adalah membeludaknya jumlah peserta ujian yang gagal dan calon pegawai negeri (peserta lulus) tadi.
Dr. Wibowo menjelaskan bahwa pertemuan kelompok terpelajar ini dengan suara tidak puas rakyat dan kekuatan militer daerah menjadi kunci pecahnya pemberontakan-pemberontakan di Cina sepanjang abad ke-19 dan 20.
Kenyataan ini menjadi sangat menarik karena diawali oleh sebuah faktor yang tampak tidak penting, yaitu "ujian negara"---yang dapat disandingkan dengan ujian pegawai negeri kita. Sekalipun banyak memiliki perbedaan, sistem ujian negara dan sistem ujian pegawai negeri dapat menghasilkan efek yang sama.
Belakangan, Indonesia beberapa kali membaca berita tentang suara "ketidakpuasan" terhadap pemerintah yang ditulis atau diinisiasi oleh pegawai negeri---dan hal ini selalu dianggap telah melanggar sumpah jabatannya. Rekrutmen ajek dari pegawai negeri---sebuah pos jabatan yang menjadi ilusi kesuksesan di Indonesia---dapat jadi menghasilkan dua efek negatif.
Efek pertamanya tentu pemborosan pada bidang yang mungkin tidak terlalu dibutuhkan. Selain itu, penerimaan yang ajek menghasilkan jumlah peserta lulus yang besar, tetapi tidak menjamin tersedianya pos-pos jabatan yang memuaskan.
Kita jangan melupakan bahwa salah satu orientasi utama pengejar jabatan pegawai negeri adalah keuntungan materiel dan tunjangan.
Bila seseorang dengan orientasi seperti ini diletakkan pada pos-pos yang tidak dapat memenuhi ekspektasinya, sangat mungkin terdengar suara berontak dan tidak puas. Cina telah membuktikannya dengan banyaknya jumlah "pegawai negeri" mereka pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 yang bergabung bersama militer lokal dalam usaha menggulingkan keluarga kerajaan di ibu kota.
Mungkin saja, Indonesia membutuhkan perampingan birokrasi untuk memastikan setiap pos memuaskan dan sekaligus membutuhkan perubahan sistem rekrutmen dari pola yang ajek menjadi rekrutmen hanya ketika ada pos yang butuh diisi.
Namun, kalau begini, di mana posisi pengabdian?
Tampaknya, konsep itu sudah ditinggalkan dan sekedar menjadi catatan pramodern.