Sebenarnya, dengan lulus pada tingkat paling dasar sekali pun (xiucai) seseorang dapat mengambil jabatan tingkat kabupaten.
Namun, banyak peserta yang jelas memiliki tujuan untuk masuk dalam Dewan Sekretariat Agung di pusat kerajaan. Untuk mencapai jabatan tersebut, seseorang harus mendapat gelar jinshi.
Dengan demikian, tahap penunjukan seseorang agar dapat menduduki sebuah jabatan adalah lulus ujian pada suatu tingkat dan baru kemudian ditunjuk dalam pos yang tersedia---bila tersedia pos jabatan yang kosong.
Praktik ini berjalan dengan cukup lancar selama berabad-abad. Namun demikian, praktik ajek tersebut menimbulkan permasalahan yang pelik pada abad ke-19.
Populasi Cina pernah mengalami dua kali lonjakan jumlah yang besar. Pertama, lonjakan terjadi pada masa Dinasti Song Utara (960--1127), dari 50 juta orang ke 120 juta orang sebelum kembali turun.
Kedua, lonjakan terjadi pada tahun 1700 hingga 1830 saat masa Dinasti Qing. Lonjakan kedua ini menghadirkan angka jumlah penduduk lebih dari 400 juta orang dari yang awalnya hanya 56 juta orang. Kelompok populasi yang meningkat pada tahap kedua itu adalah kelompok bangsawan terpelajar.
Dengan demikian, hal ini meningkatkan persaingan ujian negara. Jumlah peserta ujian meningkat, tetapi jumlah kelulusannya tidak banyak berubah. Selain itu, banyak pos jabatan yang masih terisi oleh pejabat-pejabat senior seiring dengan peningkatan angka harapan hidup pada awal abad ke-19.
Terdapat dua efek berat yang dihadapi oleh sistem ujian negara, yaitu jumlah kelulusan yang membeludak sehingga tak dapat ditampung oleh pos jabatan dan jumlah peserta tidak lulus yang sangat besar.
Permasalahan pertama menghasilkan efek lain, yaitu gelar kosong---karena orang yang lulus ujian sudah menerima gelar sebagai "calon pegawai negeri", tetapi tidak ada pos yang kosong. Sedangkan, permasalahan kedua tadi menghadirkan barisan sakit hati yang banyak jumlahnya.
Dalam penuturan Dr. Priyanto Wibowo, kedua permasalahan ini bermuara pada satu konsekuensi yang pasti, yaitu ketidakstabilan politik. Baik peserta ujian yang lulus tetapi tidak mendapat pos pekerjaan maupun peserta yang gagal sama-sama dalam posisi yang sulit untuk menghadapi lingkungan sosialnya.
Namun, banyak dari mereka yang kemudian menjadi cendikiawan lokal atau guru yang pada akhirnya rawan terhadap ide pemberontakan.