Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perputaran Aneh Distribusi Pendapatan Kita dan Bandingannya pada Masa Klasik

14 Januari 2020   22:51 Diperbarui: 16 Januari 2020   10:58 1411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul yang tertulis pada bagian atas tulisan ini mungkin akan membawa pikiran kita menuju istilah ekonomi makro. Namun demikian, saya perlu menegaskan bahwa intisari tulisan ini tidak akan menyentuh bahasan tersebut. 

Bertolak dari sebuah fenomena yang beberapa lama saya amati, tulisan ini dibuat untuk memandangnya dari sisi kesejarahan. Sepanjang bulan ini, saya banyak menghabiskan malam untuk duduk di kedai-kedai samping jalan raya dan menikmati makanan jalanan yang disuguhkannya.

Pada setiap kesempatan, tanpa terkecuali, selalu saya mendapati setidaknya satu pengemis atau pengamen yang mendatangi kedai untuk meminta sedekah dari pengunjung. Ini adalah fenomena yang saya sebut sebagai skema distribusi pendapatan. 

Pengemis atau pengamen tersebut datang untuk memberikan jasa yang tidak diminta oleh pelanggan dan mengharap mendapat jatah kecil dari pendapatan pelanggan. Praktik ini kita sebut sebagai pemberian sedekah.

Namun demikian, saya tidak ingin mengamalgamasikan makna pemberian sedekah tersebut dengan penyaluran pendapatan kita melalui lembaga-lembaga amal atau cara yang lain selain memberi pengemis. Oleh sebab itu, saya menyebutnya sebagai aksi mendistribusikan pendapatan kita secara aneh.

Skema ini saya sebut aneh menyoal kondisi yang melingkupinya. Para pengemis atau pengamen hadir di atau menghadiri tempat-tempat yang umumnya diisi oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah. 

Dengan demikian, kedua pihak, baik yang meminta maupun diminta masuk ke dalam kategori masyarakat bawah. Aliran dana di antara mereka berputar dari orang yang serba terbatas kepada orang yang miskin, lalu berakhir pada rantai ekonomi kapitalis yang menyediakan kebutuhan mereka.

Maksudnya, sebagian pendapatan masyarakat menengah ke bawah mengalir ke kantong pengemis yang sama-sama akan digunakan untuk membeli produk kebutuhan yang diproduksi oleh raksasa ekonomi, produsen rokok, atau roda kapitalis yang lain. 

Dengan demikian, sekalipun pendapatan mereka terdistribusi, kedua pihak akan tetap menjadi bagian dari masyarakat bawah. Fenomena ini sangat menarik dalam pandangan saya. 

Dengan latar belakang bidang sejarah, saya bertanya-tanya mengenai asal mula para pengamen yang kini menjadi salah satu fenomena problematis dan penting.

Bila kita menelusuri jawaban atas pertanyaan ini dengan jalan masuk melalui masyarakat agraris, kita akan menemukan sepotong jawaban.

Masyarakat agraris Asia Tenggara memiliki struktur masyarakat yang tegas dan pengaturan yang kuat namun cukup sederhana. Kelompok masyarakat petani memiliki skala yang kecil dan keterikatan yang kuat.

Masyarakat tani Asia Tenggara yang hidup subsisten ini sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai masyarakat bawah pada masanya -setaraf ekonomi dengan masyarakat bawah yang saya maksud sebelumnya. Pada masyarakat ini, terdapat pula lembaga sosial yang menjamin adanya distribusi pendapatan.

Lembaga sosial ini mewujud dalam dana seremonial. Masyarakat petani Asia Tenggara yang hidup secara subsisten setidaknya harus memenuhi empat beban biaya yang mendukung kehidupan mereka, yaitu makanan minimum mereka, biaya penggantian alat dan barang yang rusak atau berumur, biaya seremonial untuk hubungan sosial, dan biaya sewa tanah. 

Biaya atau dana seremonial adalah aspek yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Biaya ini dikeluarkan untuk menjaga hubungan antarindividu dan hubungan keluarga-masyarakat. 

Oleh sebab itu, biaya terbeban kepada keluarga petani ketika mereka mengadakan pernikahan, syukuran, atau perayaan lain.

Dalam perayaan ini, keluarga penyelenggara akan membagikan makanan atau bahan makanan kebutuhan kepada tetangga. Pada titik ini, keluarga penyelenggara mendistribusikan pendapatannya. 

Namun demikian, skema ini tidak berlaku satu arah. Keluarga lain di lingkungan tersebut pada kesempatan lain juga akan melaksanakan biaya seremonialnya. 

Dengan demikian, kehidupan di antara masyarakat petani Asia Tenggara disokong oleh saling silang distribusi pendapatan. Pada masyarakat yang semacam ini, pengemis tidak akan dapat hidup.

Dengan demikian, apakah tidak ada pengemis atau pengamen pada masa ini? Beberapa sumber epigrafi Srivijaya mencatat bahwa orang-orang semacam ini telah hidup paling awal pada abad kelima atau ketujuh. 

Lalu muncul pernyataan lanjutan, bagaimana mereka dapat hidup di tengah masyarakat yang memiliki pengaturan demikian ketat dan kelompok yang demikian erat? Sumber Melayu Kuno menyebut pengemis atau pengamen dengan sebutan menmen.

Kelompok manusia yang disebut tadi digambarkan hidup berpindah dan terkadang berkelompok. Menmen selalu merupakan orang-orang yang pandai bermusik atau melakukan penampilan hiburan. 

Oleh sebab itu, cara mereka mendapatkan uang atau makanan untuk hidup adalah dengan mengadakan petunjukan hiburan. Pertanyaan penting selanjutnya yang patut diajukan adalah mengenai tempat mereka mengadakan pertunjukan tersebut. 

Kelompok orang-orang ini diundang oleh pejabat, orang kaya, atau raja untuk menjadi penghibur dalam acara-acara.

Dengan demikian, sekalipun tidak dapat hidup di tengah masyarakat tani biasa, kelompok orang-orang ini dapat hidup dengan didukung dana pendapatan para pembesar. Ini adalah skema yang saya sebut normal, berbeda dengan skema masa kini yang tetap mendapat cap aneh di dalam kepala saya.

Cara hidup kelompok menmen pada masa Srivijaya memastikan distribusi pendapatan tepat sasaran. Menmen yang merupakan kelas ekonomi bawah di dalam masyarakat mendapatkan sebagian kecil pendapatan para pembesar yang merupakan kelas ekonomi atas dari masyarakat.

Sekalipun para pembesar sesungguhnya mendapatkan penghasilannya dari pajak atau hasil penjualan atas barang yang diproduksi masyarakat tani, distribusi pendapatan ini pada akhirnya tidak menghasilkan skema satu arah dan tidak terus mengalirkan uang ke kantong kelas ekonomi atas.

Paling tidak, sekalipun tidak sesederhana yang saya sampaikan, skema pada masa Srivijaya masih lebih masuk akal dibandingkan skema yang berlangsung sekarang.

Salah satu usaha yang cukup berhasil untuk mengembalikan kembali skema Srivijaya tadi diterapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya kepada para pengamen.

Kini, tidak ada pengamen yang datang berkunjung dan meminta sedekah di kedai-kedai di Surabaya. Seluruhnya diberikan fasilitas untuk mengamen di panggung pusat perbelanjaan atau mal-mal besar yang pengunjungnya lebih mungkin merupakan kelas ekonomi atas.

Sesungguhnya masih terdapat banyak aspek kesejarahan dan kebudayaan yang dapat dibahas dari sosok pengamen dan problematika yang menyelimutinya. Dengan demikian, pada kesempatan yang lain, saya akan kembali mengingat aspek-aspek kesejarahan untuk memandang fenomena kemiskinan dan pengamen di Indonesia pascakolonial. 

Pada akhirnya, saya berpikir bahwa sosok pengamen tetap bertahan di tengah masyarakat tidak saja dikarenakan mentalitas, dorongan, atau kondisi yang memungkinkan, tetapi juga pola pikir mereka yang menganggap diri sebagai institusi atau lembaga sosial distribusi penghasilan.

Bila mereka melihat seseorang mampu membeli makanan, mereka mungkin merasa bahwa orang itu sudah mampu dan dirinya tidak mampu sehingga perlu diberi sebagian uang.

Padahal, sangat mungkin bahwa uang yang dimiliki orang yang membeli makanan tadi hanya cukup untuk membeli makanan di hari itu saja. Ini adalah akibat dari pola pikir yang melihat diri sebagai lembaga distribusi pendapatan.

Daftar Sumber

  • Boechari, 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Coedes, G., 2015. Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: KPG, EFEO, Forum Jakarta-Paris, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
  • Coedes, G., Damais, L.-C., Kulke, H. & Manguin, P.-Y., 2014. Kedatuan Sriwijaya. Depok: Komunitas Bambu.
  • Scott, James C. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
  • Vlekke, B. H. M., 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Wolf, Eric R. 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: CV. Rajawali.
  • Wolters, O. W., 1979. Studying Srivijaya. Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society,Vol. 52, No. 2, pp. 1-32.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun