Oleh sebab itu, cara mereka mendapatkan uang atau makanan untuk hidup adalah dengan mengadakan petunjukan hiburan. Pertanyaan penting selanjutnya yang patut diajukan adalah mengenai tempat mereka mengadakan pertunjukan tersebut.Â
Kelompok orang-orang ini diundang oleh pejabat, orang kaya, atau raja untuk menjadi penghibur dalam acara-acara.
Dengan demikian, sekalipun tidak dapat hidup di tengah masyarakat tani biasa, kelompok orang-orang ini dapat hidup dengan didukung dana pendapatan para pembesar. Ini adalah skema yang saya sebut normal, berbeda dengan skema masa kini yang tetap mendapat cap aneh di dalam kepala saya.
Cara hidup kelompok menmen pada masa Srivijaya memastikan distribusi pendapatan tepat sasaran. Menmen yang merupakan kelas ekonomi bawah di dalam masyarakat mendapatkan sebagian kecil pendapatan para pembesar yang merupakan kelas ekonomi atas dari masyarakat.
Sekalipun para pembesar sesungguhnya mendapatkan penghasilannya dari pajak atau hasil penjualan atas barang yang diproduksi masyarakat tani, distribusi pendapatan ini pada akhirnya tidak menghasilkan skema satu arah dan tidak terus mengalirkan uang ke kantong kelas ekonomi atas.
Paling tidak, sekalipun tidak sesederhana yang saya sampaikan, skema pada masa Srivijaya masih lebih masuk akal dibandingkan skema yang berlangsung sekarang.
Salah satu usaha yang cukup berhasil untuk mengembalikan kembali skema Srivijaya tadi diterapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya kepada para pengamen.
Kini, tidak ada pengamen yang datang berkunjung dan meminta sedekah di kedai-kedai di Surabaya. Seluruhnya diberikan fasilitas untuk mengamen di panggung pusat perbelanjaan atau mal-mal besar yang pengunjungnya lebih mungkin merupakan kelas ekonomi atas.
Sesungguhnya masih terdapat banyak aspek kesejarahan dan kebudayaan yang dapat dibahas dari sosok pengamen dan problematika yang menyelimutinya. Dengan demikian, pada kesempatan yang lain, saya akan kembali mengingat aspek-aspek kesejarahan untuk memandang fenomena kemiskinan dan pengamen di Indonesia pascakolonial.Â
Pada akhirnya, saya berpikir bahwa sosok pengamen tetap bertahan di tengah masyarakat tidak saja dikarenakan mentalitas, dorongan, atau kondisi yang memungkinkan, tetapi juga pola pikir mereka yang menganggap diri sebagai institusi atau lembaga sosial distribusi penghasilan.
Bila mereka melihat seseorang mampu membeli makanan, mereka mungkin merasa bahwa orang itu sudah mampu dan dirinya tidak mampu sehingga perlu diberi sebagian uang.