“Sudah sayang. Kamu kenapa menangis? Apa yang terjadi padamu?”
Awalnya aku diam saja karena aku tak ingin ada orang lain tahu selain aku. Mungkin kali ini sudah terlalu berat jika harus aku tanggung sendiri, sehingga aku bercerita mulai awal sampai akhir.
“Harusnya kamu jujur padanya tentang perasaanmu. Jujur tak harus merendahkan diri sendiri bukan?”
“Tapi aku tak mau persahabatanku rusak hanya karena aku jujur padanya, Ma.”
“Jika kamu mengatakannya secara baik-baik, tidak akan terjadi masalah baru kok. Percaya sama Mama, temui dia sekarang dan katakana.”
Aku langsung kembali ke sekolah dengan harapan Reno masih disana. Namun sesampainya disana hanya sepi sunyi, hanya ada pak Dadang, tukang kebun sekolah yang sibuk mengunci pintu tiap-tiap kelas.
“Mbak Dina sedang mencari siapa?” Tanya pak Dadang yang melihat aku kebingungan menengok kanan-kiri mencari Reno. Pak Dadang sangat akrab dengan aku dan Reno karena kami berdua sering berbincang-bincang dengan beliau sampai berjam-jam.
“Saya mencari Reno, Pak.”
“Dia ada di taman belakang.”
“Terimakasih, Pak.”
Ternyata benar kata Pak Dadang, Reno sedang duduk sendiri di bangku taman. Dengan wajah gugup, aku menghampirinya.