“Din, dia balas pesanku lagi.” ucap Reno kegirangan.
Reno, cowok berpostur tinggi, berkulit putih, dengan mata yang berbinar adalah sahabatku sejak SMP, rumah kita bersebelahan.
“Cepat tanya kabarnya” jawabku singkat.
Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, aku menaruh hati padanya namun dia tak pernah tahu akan hal itu. Bahagia adalah ketika melihat Reno bahagia, maka akan selalu aku pendam rasa tentangnya agar mata ini bisa selalu melihat ia bahagia.
Malam harinya, aku menulis cerita di sebuah catatan harian kesayanganku, dengan memutar musik klasik, ku tuliskan semua rasa bahagia, kesal, sedih, kecewa, tak terkecuali perasaanku terhadap Reno.
Tiba-tiba ada seorang mengetuk pintu kamar,
“Din, keluar dong? Aku bawa makanan nih untuk kita makan berdua, tadi mamaku beri uang jajan bulanan hehe.” suruh seseorang yang berada dibalik pintu, yang tidak lain adalah Reno.
“Ya sebentar. Aku ganti baju dulu ya.”
“Ah tidak perlu ganti baju, itu terlalu lama, seperti mau bertemu pacar saja.” Katanya sambil terus mengetuk pintu
“Ya sudah, aku tidak mau keluar kalau begitu.” kataku sedikit jengkel.
Dia tidak tahu jika aku sangat senang ketika dia menemuiku, layaknya seorang pacar atau mungkin lebih dari itu. Cukup dengan raga yang berdekatan mampu mengoles sebuah kebahagiaan dalam hidupku, yang mungkin tak berarti lebih baginya.
“Iya deh, oke aku tunggu di ruang tamu ya.” jawabnya
Aku segera bergegas turun dari kasur dan membuka lemari pakaian, memilih pakaian yang setidaknya pantas, aku memang bukan tipe cewek yang fashionable, jadi tidak perlu lama untuk memilih baju. Setelah selesai, aku langsung menuju ruang tamu. Disana Reno sibuk bermain dengan smartphone-nya.
“Wah, kamu beli martabak?” ucapku spontan.
Dia sangat mengetahui seluk-beluk dalam hidupku termasuk makanan kesukaanku, martabak spesial seperti dia yang begitu spesial dalam hidupku.
“Iya dong, cepat makan sebelum dingin. Kamu sih ganti baju dulu tadi.” Jawabnya sambil tersenyum dan menyipitkan matanya. Sorot mata berbinar itu lagi-lagi membuat hatiku cukup bergejolak.
“sepertinya proses PDKT-ku akan segera berhasil!” kata Reno sambil tersenyum girang
Saking kagetnya aku sampai tersedak. Aku mengerti, sebagai sahabat aku tak boleh berharap lebih kan? Jika iya, lalu siapa yang salah? Aku yang bodoh tak mau mengungkapkan atau hatiku yang membiarkannya ia masuk begitu saja?
“Aku tadi kaget karena kamu begitu pandai dalam menaklukkan wanita.” kataku sambil berusaha menutupi rasa cemburu yang bergemuruh dalam hati.
“Ah masa iya? Oh baguslah, aku kira kamu cemburu padaku.” Candanya.
“Tidak mungkinlah aku suka sama kamu. Kamu kan suka ngiler.” jawabku sambil tertawa.
***
Pagi hari di sekolah, aku berjalan seorang diri menuju kelas, kali ini Reno tak menjemputku, mungkin karena ada tugas yang belum diselesaikannya. Saat aku berjalan melewati kelas-kelas, tiba-tiba seseorang menarik tanganku.
“Yuk ke kantin.” Pinta Reno sambil memasang senyum termanisnya.
“Aku ada urusan. Kamu saja ke kantin dulu, nanti aku menyusul setelah urusanku selesai. Aku janji deh.” Kataku sambil mengulurkan jari kelingking. Janji kelingking adalah tradisi kami berdua ketika berjanji. Ketika kita mengaitkan jari kelingking kita satu sama lain, disitulah terikat benang yang membuat janji tak bisa diingkari.
“Ayolah sebentar saja, 5 menit deh. Aku traktir makan bakso bagaimana?”
“Ya sudah, tapi janji ya sebentar saja?”
Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung bergegas menuju kantin dan aku berjalan mengikutinya dari belakang.
(Menunjuk sebuah tempat duduk) “Duduk sebelah sini saja, Din.”
“Kamu mau ngomong apa sampai tidak bisa ditunda?”
“Nanti siang sepulang sekolah aku mau menembak Gita nih. Kamu mau kan menemani aku ke kelasnya?”
Hari ini seharusnya menjadi hari bahagiaku juga, tapi aku sebaliknya. Jika diibaratkan bumi maka sekarang sedang terbakar atau mungkin sudah hancur. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain mengikhlaskan dan kehilangan.
“Ya sudahlah, nanti jemput aku dulu ya.”
Berusaha tegar merupakan hal yang sulit ketika bahagianya bukan karena aku, ketika aku tersenyum itu hanya topeng kebohongan, mungkin sedikit jahat, tapi memang begini adanya.
***
Siang harinya, Reno datang ke kelasku.
“Ayo Din, sebelum dia pulang.”
Aku melihat wajah Reno yang begitu bahagia, yang tak pernah kulihat sebelumnya bahkan saat dia bersamaku.
(sambil merapikan baju) “Din, aku gugup. Apa penampilanku sudah cukup bagus?”
“Sudah, cepat hampiri Gita.”
Reno berjalan mendekati Gita yang saat itu sedang berbincang dengan teman-temannya.
Aku balik badan, entah berapa bulir air mata yang sudah menetes, aku juga tak peduli dengan keadaan sekitar. Aku tak bisa menahannya, akhirnya aku pergi meninggalkan Reno. Sambil terus menangis terisak-isak aku pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, ternyata kali ini Mama yang membuka pintu.
“Mama sudah pulang dari luar kota?” tanyaku kaget
“Sudah sayang. Kamu kenapa menangis? Apa yang terjadi padamu?”
Awalnya aku diam saja karena aku tak ingin ada orang lain tahu selain aku. Mungkin kali ini sudah terlalu berat jika harus aku tanggung sendiri, sehingga aku bercerita mulai awal sampai akhir.
“Harusnya kamu jujur padanya tentang perasaanmu. Jujur tak harus merendahkan diri sendiri bukan?”
“Tapi aku tak mau persahabatanku rusak hanya karena aku jujur padanya, Ma.”
“Jika kamu mengatakannya secara baik-baik, tidak akan terjadi masalah baru kok. Percaya sama Mama, temui dia sekarang dan katakana.”
Aku langsung kembali ke sekolah dengan harapan Reno masih disana. Namun sesampainya disana hanya sepi sunyi, hanya ada pak Dadang, tukang kebun sekolah yang sibuk mengunci pintu tiap-tiap kelas.
“Mbak Dina sedang mencari siapa?” Tanya pak Dadang yang melihat aku kebingungan menengok kanan-kiri mencari Reno. Pak Dadang sangat akrab dengan aku dan Reno karena kami berdua sering berbincang-bincang dengan beliau sampai berjam-jam.
“Saya mencari Reno, Pak.”
“Dia ada di taman belakang.”
“Terimakasih, Pak.”
Ternyata benar kata Pak Dadang, Reno sedang duduk sendiri di bangku taman. Dengan wajah gugup, aku menghampirinya.
“Kamu darimana? Tiba-tiba menghilang saja.” Tanya Reno
“Tadi ada urusan mendadak jadi aku tak sempat memberitahumu, bagaimana? Berhasil?” kataku sambil menyodorkan ice cream Cornetto black forest kesukaannya.
“Tidak jadi.” jawabnya sambil tetap menunduk.
“Pasti kamu takut ya? Oh jadi Reno yang aku kenal sekarang jadi penakut sama ….”
(memotong pembicaraan) “Aku mencintaimu, Din”
Ya Tuhan, kalimat ini yang aku tunggu-tunggu sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku juga mencintainya! Tapi apa mungkin dia mencintaiku? Lalu perasaannya pada Gita itu apa?
“Gombalan kamu keren, sumpah deh. Sudahlah, makan ice cream-nya, hampir meleleh tuh.” Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, aku tahu dia tak pernah benar-benar mencintaiku.
“Aku serius, Din. Aku berusaha mencintai Gita agar aku bisa melupakan rasaku padamu namun ternyata aku tidak bisa. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku juga tahu kamu mencintaiku dari buku ini.” (sambil menunjukkan sebuah diary yang tak asing bagiku)
“Itu kan buku diaryku? Darimana kamu mendapatkannya? Itu kan privasiku. Kamu bohong, mana mungkin kamu menyukai sahabatmu sendiri?” kataku sedikit jengkel
“Maaf, waktu itu aku ingin meminjam buku catatan fisika, namun kamu sedang tidak ada dirumah, jadi aku meminta izin ke bibi untuk masuk kamarmu dan mencarinya sendiri, dan aku menemukan ini. Aku membaca semua dari awal sampai akhir. Aku ingin sekali menjadi pacarmu jika keadaan itu tak pernah terjadi..”
“Kejadian apa, Ren?
“Jika saja kita bukan saudara sedarah. Papaku adalah papamu. Saat aku berumur 2 bulan, papa dan mamaku bercerai karena suatu. Kemudian beliau menikah dengan mamamu dan mempunyai anak yaitu kamu, beliau meninggal saat kamu lahir”
“Tidak mungkin, tidak mungkin. Kamu jangan sok tahu!”
“Aku sudah tahu sejak SMP, waktu itu aku tidak sengaja membaca akta kelahiranmu. Dan kagetnya, nama papamu sama dengan nama papaku. Awalnya aku berpikir bahwa hanya kesamaan nama saja, namun setelah aku cari tahu, beginilah kenyataannya. Aku bercerita semua pada mamaku, anehnya mamaku ingin menjalin hubungan baik dengan mamamu sampai akhirnya mamaku membeli rumah di samping rumahmu. Mama menyuruhku untuk menjagamu, pada awalnya aku senang bisa menjadi teman sekelas sekaligus guardian angelmu, tapi perasaanku berkata lain, aku ternyata mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu, Ren. Sangat mencintaimu. Kenapa aku tak boleh bahagia? Aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang papa, saat aku mencintai seorang yang menurutku begitu tepat ternyata dia saudaraku, kenapa?”
“Aku sama sepertimu, Din. Kita sudah dewasa, aku yakin kita bisa melewati semua ini. Aku yakin suatu saat nanti kamu mencintai orang yang tepat, aku juga begitu.”
Sejak saat itu, aku mencoba melupakan semua perasaanku pada Reno. Kami tetap sering berkumpul seperti biasanya. 2 tahun kemudian aku menemukan seseorang yang mencintaiku apa adanya, namanya Anton. Reno menemukan pasangan hidupnya sendiri, seorang wanita cantik, baik. Kami bahagia dengan kehidupan kami sekarang.
“Bahagia datang ketika kamu mau bersabar, suatu saat Tuhan membuatmu bahagia dengan seseorang yang sudah ditunjukNya.”
“Hidup layaknya secangkir kopi, rasanya pahit namun kita bisa menambahkan manis sesuai selera.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H