Pagi hari di sekolah, aku berjalan seorang diri menuju kelas, kali ini Reno tak menjemputku, mungkin karena ada tugas yang belum diselesaikannya. Saat aku berjalan melewati kelas-kelas, tiba-tiba seseorang menarik tanganku.
“Yuk ke kantin.” Pinta Reno sambil memasang senyum termanisnya.
“Aku ada urusan. Kamu saja ke kantin dulu, nanti aku menyusul setelah urusanku selesai. Aku janji deh.” Kataku sambil mengulurkan jari kelingking. Janji kelingking adalah tradisi kami berdua ketika berjanji. Ketika kita mengaitkan jari kelingking kita satu sama lain, disitulah terikat benang yang membuat janji tak bisa diingkari.
“Ayolah sebentar saja, 5 menit deh. Aku traktir makan bakso bagaimana?”
“Ya sudah, tapi janji ya sebentar saja?”
Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung bergegas menuju kantin dan aku berjalan mengikutinya dari belakang.
(Menunjuk sebuah tempat duduk) “Duduk sebelah sini saja, Din.”
“Kamu mau ngomong apa sampai tidak bisa ditunda?”
“Nanti siang sepulang sekolah aku mau menembak Gita nih. Kamu mau kan menemani aku ke kelasnya?”
Hari ini seharusnya menjadi hari bahagiaku juga, tapi aku sebaliknya. Jika diibaratkan bumi maka sekarang sedang terbakar atau mungkin sudah hancur. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain mengikhlaskan dan kehilangan.
“Ya sudahlah, nanti jemput aku dulu ya.”