pada posisi hukum yang dapat menyebabkan dampak yang merugikan bagi korban, baik secara material maupun formal.
Terkait dengan isu ini, kami melakukan wawancara kepada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas untuk menggali pandangan mereka mengenai apakah Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) membatasi kebebasan berpendapat. Dari 24 responden yang kami wawancarai, 15 di antaranya sepakat bahwa ketentuan ini memang membatasi kebebasan berpendapat. Mereka berargumen bahwa konstitusi, khususnya UUD 1945 Pasal 28E, telah menjamin hak setiap individu untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas. Dalam konteks ini, ketidakjelasan yang terdapat dalam UU ITE seharusnya tidak menjadi penghalang bagi kebebasan berpendapat tersebut.Â
Di antara 15 responden yang setuju, terdapat dua alasan utama yang sering mereka kemukakan. Pertama, kurangnya definisi jelas mengenai istilah "penghinaan" dan "pencemaran nama baik" dalam undang-undang iniÂ
menyebabkan munculnya berbagai interpretasi saat diterapkan. Ketidakjelasan ini memicu potensi penyalahgunaan, di mana individu atau kelompok tertentu dapat menggunakan laporan atau kritik di media sosial untuk mendapatkan dukungan publik, dan saat melaporkannya kepada penegak hukum, respons yang diterima justru lebih lambat dibandingkan ketika isu tersebut viral di media sosial. Hal ini menjadikan UU ITE terlihat seakan-akan berupaya membungkam kritik atau pendapat.Â
Alasan kedua yang disampaikan adalah bahwa banyak kasus terkait Pasal ini melibatkan individu yang menyampaikan pendapat di media sosial, di mana mereka sering kali dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap tokoh-tokoh berkuasa. Ini bertentangan dengan Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapat. Dengan demikian, pembatasan hak berpendapat dapat menjadi hambatan bagi keberlangsungan pemerintahan yang demokratis. Sebuah negara yang demokratis semestinya menjunjungÂ
tinggi dan menghargai hak asasi manusia, termasuk kebebasan berpendapat. Keberadaan UU ITE pun harus dipertanyakan dari segi tujuan dan maksud penerapannya.Â
Di sisi lain, ada 9 responden yang berpendapat bahwa UU ITE bukanlah bentuk pembatasan, melainkan langkah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, regulasi diperlukan untuk menangani dampak negatif, seperti pencemaran nama baik dan penghinaan di media sosial, agar dapat diterapkan secara tegas.Â
 2. Revisi UU ITE Pasal 27 Ayat 3 sebagai solusi untuk menjawab jika regulasi ini merupakan pembatasan dari kebebasan berpendapatÂ
Menurut Mardjono Reksodiputro, seperti yang dikutip oleh Arsyad Sanusi dalam bukunya "Cybercrime", terdapat perbedaan pandangan di antara para ahli hukum mengenai kebutuhan untuk membuat undang-undang baru yang mengatur tindak pidana yang terjadi melalui media internet. Perdebatan ini bahkan sudah dimulai sebelum isu terkait Pasal 27 ayat 3 UU ITE muncul. Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa undang-undang baru tidak diperlukan untuk menindak pelanggar, karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada saat ini masih sangat relevan. Mereka berargumen bahwa ketentuan dalam KUHP dapat diinterpretasikan secara luas untuk mencakup kejahatan yang memanfaatkan media internet.Â
Sebaliknya, J. Sudama Sastroamidjojo menekankan pentingnya merumuskan aturan khusus mengenai cyber law. Menurutnya, perlindungan hak-hak individu di ranah maya sangatlah krusial. Tindak pidana yang melibatkan komputer memerlukan pendekatan yang berbeda, mengingat metode, lingkungan, waktu, dan lokasi pelanggaran dalam konteks kejahatan komputer jelas berbeda dengan tindak pidana lainnya.
Sekaitan dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, perdebatan antara akademisi dan praktisi pun masih berlanjut. Berikut adalah beberapa pendapat yang mendukung keberadaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE: