Mohon tunggu...
Reidnash Heesa
Reidnash Heesa Mohon Tunggu... Insinyur - Mohon Tunggu....

Penjelajah | Penikmat Sajak | Pecinta Rembulan | Pejalan Kaki

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Makelar Botol

19 November 2015   11:33 Diperbarui: 19 November 2015   12:38 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada awalnya aku tak pernah mencurigai hobi adikku yang baru satu ini.

Dia memang jagoannya, berbicara soal hobi, sebagai seorang kolektor yang senang mengumpulkan berbagai jenis barang, jika menurut seleranya bernilai unik serta menarik, bungkusss !.

Dimulai dari koleksi gantungan kunci berbentuk mobil, kartu-kartu ukuran postcard dengan latar berbagai model/merek mobil ternama dari seantero jagat raya, kaos-kaos baju oblong dengan hiasan logo berbagai perusahaan mobil kelas dunia sampai dengan koleksi celana dalam bergambar animasi mobil kesukaannya. Pokoke ada mobilnya.

Sudah hampir seminggu ini, kamar adikku penuh dengan kardus berisi puluhan botol bersih yang sudah tidak ada isinya lagi.

Penasaran, mencoba mengintip lebih dekat kumpulan botol-botol bekas tersebut, alhasil yang 'ku peroleh hanyalah botol-botol berbentuk standard pabrik , mirip dengan botol minuman teh kemasan yang mereknya terkenal di negeri ini.

Setelah membuka lebih dari lima kotak yang isinya sama semua, aku pun kembali penasaran dengan kotak kecil yang diletakkan di atas lemari pakaian.

“Kakak sedang ngapain di sini?”

“Lagi audit dan inventarisir ulang isi kamarmu, biasa tugas mingguan dari Papi. Buat apa botol-botol ini Vin? Jadi kolektor botol sekarang?”

“Mau di-drop ‘kak ke pengrajin sambal, lumayan untuk tambahan uang saku”

Pengakuan adikku menambah kecurigaan dalam hati, untuk memastikan lebih lanjut sengaja aku tak berkomentar atau menanggapi jawabannya dengan panjang lebar.

Waktupun berlalu.

 ***

Di malam hari, segenap penghuni rumah hanya berdiam diri sesaat setelah mendengarkan penjelasan Papi, apalagi kalau bukan cerita tentang botol-botol yang diperjualbelikan adikku ke pengrajin sambal.

 

Berdasarkan informasi dari Papi, aku semakin yakin kalo adikku sudah menjadi seorang makelar nakal yang mencatut nama Papi secara sembarangan di luar sana.

 

Botol-botol kosong itu ternyata diperolehnya dari pabrik botol milik Papi.

Dengan akalnya yang licik, adikku diam-diam mencoba mengeluarkan puluhan sampel botol dari lokasi penyimpanan di gudang pabrik tanpa melalui prosedur resmi dan menjualnya ke pengrajin sambal dengan harga menggiurkan. Semuanya mengatasnamakan Papi.

“Papi kok tidak marah ya ke kamu, hebat betul kamu, Vin, Coba kalo kakak di posisi yang sama seperti kamu, pasti sudah kena caci maki dan omelan sumpah serapah”

“Sudahlah kak, jangan diungkit-ungkit lagi masalahku”

“hanya karena kamu anak lelaki satu-satunya di rumah ini, yang akan meneruskan usaha Papi….”

“kakak, apa-apan sih ngomognya?”

“lagian buat apa juga kamu mencatut nama Papi”

“aku tak seperti yang kakak maksudkan, ini murni hanya untuk kepentingan usaha Papi dan sudah sepengetahuan Papi, sudahlah kak, Vin capek, mau istirahat sekarang”

Pikiranku masih bekerja keras untuk menyadarkan adik lelakiku ini dari perbuatan buruknya yang sudah melanggar prinsip norma keluarga kami.

Pelanggaran norma memang bukan sebuah tindakan kejahatan seperti mencuri atau membunuh secara langsung tetapi bagiku ini adalah awal dari pintu masuk untuk melakukan perbuatan jahat.

Inilah benih-benih yang disemaikan di lahan subur dengan potensi sedemikian rupa dalam waktu yang sedemikan cepat dapat bertumbuh, lalu akhirnya membuahkan nilai serta tindakan jahat.

***

Papiku, yang kubanggakan adalah seorang pemimpin bijaksana, dengan kharisma dan kewibawaannya, sosoknya sungguh mengagumkan, sangat disegani oleh para pengerja botol di pabrik. Aku tak pernah menyangka, adikku akan berbuat seperti itu terhadap ayah kandungnya sendiri.

Aku sudah pernah mencoba bertukar pikiran dengan Papi soal kasus adik ini tetapi karena kesibukan Papi yang menyita hampir seluruh waktunya, sampai saat ini aku belum memperoleh jawaban pasti bagaimana mengatasi perilaku Vin.

Terlintas dalam pikiran untuk mengusulkan hukuman yang seberat-beratnya supaya adikku menjadi jera dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Aku-pun mencoba mengadu ke ibunda tercinta.

“Bunda, sejak Pak Karmo berhenti bekerja, mengapa mobil di rumah ini ngga minta Vin saja yang bersihkan?”

“Loh, bukannya Vin setiap akhir minggu sudah punya jadwal nyuci mobil keluarga?”

“maksud aku, si Vin tiap hari saja di-kasi jatah bersihkan mobil sekaligus nebus dosa-nya ke Papi”

“nebus dosa? Ohhhh soal makelar botol itu….”

“iya bunda, biar Vin-nya kapok”

“cobalah berpikir lebih jernih, lihat masalahnya dengan baik-baik. Sejak kasus Vin ini terekspos, Bunda malah kasi usul ke Papi-mu untuk merombak semua prosedur distribusi yang terkesan berbelit-belit, memang sangat menghabiskan waktu dan biaya”

“bagaimana dengan nasib para pengrajin sambal, bunda?”

“nah termasuk mereka nohhh, bukankah dengan semakin murah harga botol yang dijual Papi-mu nanti, semakin meringankan ongkos produksi sambal botol kemasan milik para pengrajin di pasaran? Harga sambal botol kemasan turun, pengrajin-pun semakin menambah untung”

***

Dua puluh tahun kemudian, 'Vin telah sukses menjadi pengusaha besar menggantikan ayahnya yang telah pensiun dari aktivitas pabrik karena lanjut usia. Di ruangan kerjanya yang sangat luas, terpampang sebuah tulisan yang dibingkai dengan amat cantik.

tak pernah terlintas dalam bayanganku untuk menjauh

hanya karena terlahir sebagai seorang perempuan lewat rahim ibuku

tak pernah berniat untuk cemburu denganmu

tak bermaksud iri dengki karena melihat tingkahmu

 

pelanggaranmu hanya dianggap angin lalu

batinku masih berkecamuk menerima kenyataan itu

ingin rasaku melempar keluar semua botol-botolmu

tergiur ‘tuk dipecahkan sampai berkeping-keping untuk menutupi aurat kemaluanmu

tapi hatiku tak mungkin setega dahulu

sejak kerajinan sambal botol kemasan menjadi panggilan hidupku

 

melangkah maju wujudkan tekad

suratan takdir melantunkan tembang kehidupan

kamu di sini aku di sana

mengukir mesra sajak-sajak pengamen di persimpangan jalan

aku kamu terlahir nasib berbeda

memeluk erat bayang-bayang kejayaan

mencari makna menggapai impian

di bumi ibu pertiwi

milik anak-anak negeri

"Ini goresan tulisan kenangan dari kakakku, hadiah untuk ultah-ku yang ke 34" ujar Vin sambil bercerita dan menjelaskan kepada rombongan para pelajar yang melakuan kegiatan field gathering di pabrik botol.

Setelah menikah dengan seorang bankir, kakak-nya Vin telah pindah dari rumah keluarga, menetap di kota lain bersama suami dan anak-anaknya sambil terus mengembangkan kerajinan sambal botol kemasan miliknya.

sumber ilustrasi : di-sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun