Mohon tunggu...
Regina Cecilia
Regina Cecilia Mohon Tunggu... Lainnya - Currently studying Law at Universitas Indonesia

c’est a la vie

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

The Right to Die: Mungkinkah Legalisasi atas Tindakan Euthanasia dan Physician Assisted Suicide (PAS) dalam Praktik Kedokteran di Indonesia?

7 Desember 2020   19:05 Diperbarui: 7 Desember 2020   19:20 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meningkatnya praktik Euthanasia yang dilakukan di beberapa negara dan negara bagian (states) selama beberapa tahun kebelakang. Sumber: The Lancet

Mengenai Euthanasia dan Physician Assisted Suicide (PAS)

Dewasa ini, euthanasia atau praktik suntik mati sendiri merupakan suatu hal yang mengundang pro dan kontra dalam praktik kedokteran di Indonesia maupun di dunia.  Pertama-tama, kita perlu mengetahui mengenai etimologi kata dari euthanasia itu sendiri.

Euthanasia sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni Eu yang memiliki arti baik tanpa derita serta Thanatos yang memiliki arti mati, dan dapat disimpulkan bahwa euthanasia ini memiliki arti "mati cepat tanpa derita" (Ameln, 1991: 132). 

Mengutip dari Euthanasia Study Group yang tergabung di dalam Koninklijke Nederlandsche Maatschappy voor de Geneeskunst (Halimy, 1990: 36), euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau dengan sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.

Dalam hal tindakan euthanasia ini pula seringkali dikaitkan dengan physician assisted suicide (PAS), dikarenakan kedua topik ini berada pada ranah pembahasan yang cukup mirip, yakni memiliki tujuan untuk mengakhiri hidup seseorang berdasarkan kepentingan dari pasien tersebut. 

Euthanasia sendiri dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yakni euthanasia atas permintaan pasien dan euthanasia bukan atas permintaan pasien.

Dari kedua tipe euthanasia ini, kita mengenal yang disebut sebagai euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif merupakan suatu proses dimana tenaga medis secara aktif ikut andil dalam melakukan sebuah tindakan yang memiliki tujuan untuk memperpendek bahkan menghilangkan nyawa pasien, dan dibagi lagi menjadi secara langsung dan tidak langsung. 

Perbedaan yang dapat ditemukan dari kedua jenis euthanasia aktif tersebut adalah maksud dari tindakan medis yang diambil oleh tenaga kesehatan, dimana euthanasia aktif secara langsung adalah pengambilan tindakan dengan maksud meringankan penderitaan pasien secara sedemikian rupa, dan secara logis tenaga kesehatan tau dan berharap bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan hilangnya nyawa milik sang pasien.

Berbeda dengan euthanasia aktif secara tidak langsung, dimana maksud dari tindakan medis yang diambil ialah mengurangi penderitaan pasien, namun tidak bermaksud untuk menghilangkan nyawa milik si pasien secara sengaja.

Biasanya, tindakan tenaga kesehatan dapat dikategorikan sebagai euthanasia aktif secara tidak langsung ini merupakan tindakan medis yang diambil ini memiliki resiko yang dapat memperpendek ataupun membahayakan nyawa pasien.

Selain euthanasia aktif, dikenal juga euthanasia pasif (auto-euthanasia), yang memiliki definisi suatu keadaan dimana seorang dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak memberikan bantuan medis terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya (Halimy, 1990: 39-40).

Euthanasia pasif yang dilakukan atas permintaan pasien sendiri memiliki arti yang cukup jelas, dimana pasien menolak atas tindakan medis dan bahkan sadar bahwa apabila ia melakukan hal tersebut dapat menimbulkan resiko tertentu, yakni memperpendek atau bahkan mengakhiri nyawanya sendiri.

Perbedaan dengan euthanasia pasif yang dilakukan bukan atas permintaan pasien ialah pengambilan keputusan yang dilakukan oleh wali atau keluarga terdekat si pasien, dikarenakan kondisi tertentu yang tengah dialami oleh pasien dalam menerima tindakan medis, layaknya koma atau sakit stadium terminal.

Namun terdapat juga bentuk euthanasia lainnya, yakni euthanasia sikon yang memiliki definisi suatu bentuk euthanasia yang dilakukan karena situasi dan kondisi ekonomi, meskipun pasien tersebut masih ingin hidup dan dokter masih mampu dalam mengupayakan pengobatan demi kesembuhan pasien tersebut (Roesli, Kompas, 6 Mei 1989).

Hal ini tentu berbeda dengan euthanasia pasif, dimana kehendak untuk menghentikan pengobatan berasal dari faktor internal, sementara euthanasia sikon berasal dari alasan eksternal, yakni faktor kondisi ekonomi yang membatasi pasien tersebut untuk mendapat tindakan medis secara lebih lanjut.

Ilustrasi mengenai Euthanasia, sumber: wiken.grid.id
Ilustrasi mengenai Euthanasia, sumber: wiken.grid.id

Kontroversi Mengenai Praktik Euthanasia di Indonesia

Banyak yang berpendapat bahwa tindakan seorang tenaga medis (dalam hal ini yaitu diposisikan sebagai seorang dokter) dalam melakukan sebuah proses yang mengakhiri hidup atau menghilangkan nyawa seseorang merupakan hal yang melanggar sumpah Hipokrates serta merta Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Bahkan, dalam hal berkontribusi ikut andil untuk menghilangkan nyawa seseorang, apabila perbuatan tersebut didasarkan atas permintaan orang tersebut, orang yang membantu pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 344 KUHP.

Namun, apabila ditinjau dari perspektif dan aspek lainnya, ada beberapa alasan mengapa tindakan euthanasia serta physician assisted suicide (PAS) ini masih bisa ditemui di Indonesia, meskipun seringkali dilakukan secara diam-diam.

Lantas, apakah mungkin dengan ius constituendum atau yang dapat diartikan sebagai  cita-cita hukum di hukum positif Indonesia ke depannya, tindakan dokter dalam melakukan euthanasia aktif yang sering kali dikategorikan juga sebagai Physician Assisted Suicide (PAS) dapat dilegalisasikan?

Ilustrasi mengenai euthanasia dalam pandangan hukum, sumber: The Catholic Weekly
Ilustrasi mengenai euthanasia dalam pandangan hukum, sumber: The Catholic Weekly

Euthanasia dalam Hukum Positif Indonesia dan Perspektif Etika Kedokteran

Seperti yang sudah dituliskan oleh penulis, apabila seorang tenaga medis melakukan sebuah tindakan medis yang dapat dikaitkan dengan euthanasia, maka dirinya dapat dijerat dengan Pasal 344 KUHP (dasar larangan pelaksanaan euthanasia di Indonesia) yang tertulis 

"Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun"

Dalam bukunya, R. Soesilo (1976, hlm. 209) menerangkan bahwa permintaan untuk membunuh itu harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika tidak maka orang itu dikenai pembunuhan biasa. Namun, ada beberapa kekurangan dalam perumusan salah satu unsur Pasal 344 KUHP, yakni "atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati" menyebabkan pembuktian pemenuhan atas unsur di pasal ini menjadi sulit.

Hal ini disebabkan karena pasien, yang merupakan orang atau individu yang meminta tenaga medis untuk melakukan euthanasia tersebut kepada dirinya telah meninggal dunia. Pembuktian dari unsur Pasal 344 KUHP ini sendiri haruslah dinyatakan dari pasien, sehingga mengingat pasien telah meninggal dunia, maka pembuktian unsur ini menjadi mustahil untuk dilakukan.

Merujuk pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), maka dapat ditemukan Pasal 7 huruf d (sebelumnya diatur di dalam Pasal 9) tentang Kewajiban Umum yang tertulis

"Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani" (MKEK IDI, 2012: 1)

Dalam hal ini, sudah digambarkan secara jelas dan lagi-lagi kembali menegaskan mengenai kewajiban utama dokter, yakni melindungi serta mempertahankan hidup pasien tersebut sesuai dengan kemampuan dan tindakan medis yang dapat digunakan, seberapapun gawatnya kondisi pasien tersebut. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa apabila didasarkan pada etika dan moral dunia kedokteran, maka euthanasia merupakan sebuah tindakan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan.

Apabila membahas mengenai euthanasia, tentunya hal ini tidak terlepas dari keterkaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak pihak berargumen bahwa pelaksanaan dari euthanasia ini sendiri telah melanggar hak hidup, yang merupakan salah satu HAM yang bersifat esensiil dan dimiliki oleh semua orang tanpa terkecuali.

Selain itu juga, dalam Univerasl Declaration of Human Rights yang dipublikasikan serta diratifikasi pada 10 Desember 1948 di Paris, tidak ada disebutkan secara eksplisit mengenai hak seseorang untuk mati (the right to die).

Namun, apabila kita merujuk kepada International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR), disebutkan bahwa seorang manusia atau individu memiliki hak-hak dasar untuk menentukan nasib atas dirinya sendiri, yang secara sekilas dibahas di dalam UDHR. Pasal-pasal yang terkait dengan the right to self determination ini terdiri dari (UNGA, 1976: 1-11):

  1. Pasal 1, tertulis "Setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri";
  2. Pasal 9, tertulis "Setiap orang memiliki kebebasan dan keamanan atas dirinya";
  3. Pasal 17, tertulis "Tidak ada seorangpun yang boleh dilecehkan kepasinian ataupun kerahasiaan surat-menyuratnya";
  4. Pasal 18, tertulis "Setiap orang memiliki hak atas kebebasan suara dan kata hatinya"

Berdasarkan ICCPR tersebut, maka dasar atas hak untuk menentukan nasib diri sendiri menjadi kuat pondasinya, dikarenakan pada prinsipnya telah mengemukakan hak-hak dasar dari manusia yang tidak bisa dilecehkan.

Hal ini menjadikan hak atas kebebasan untuk menentukan nasib sendiri ini seringkali dijadikan sebagai dasar argumen seorang pasien dalam memutuskan untuk menjalankan proses euthanasia untuk mengakhiri nyawanya sendiri dengan bantuan tenaga medis, dikarenakan tidak ada batasan-batasan yang mampu menjelaskan secara tegas mengenai konsep dari hak untuk seorang individu dalam menentukan nasib atas dirinya sendiri. 

Sehingga, apabila ditinjau dari sudut pandang HAM, the right to die ini sendiri merupakan sebuah dilema hukum, dimana meskipun hal tersebut merupakan suatu hal yang melanggar hak hidup, namun pasien tersebut memiliki hak untuk meminta sesuatu atas kondisi dirinya dan juga kehidupannya di muka bumi ini.

Protes yang berlangsung di Portugal untuk melegalisasikan tindakan euthanasia, sumber: NBC News
Protes yang berlangsung di Portugal untuk melegalisasikan tindakan euthanasia, sumber: NBC News

Praktik Euthanasia di Belanda: Mungkinkah Legalisasi Undang-Undang Euthanasia di Indonesia?

Praktik euthanasia sendiri telah diakui secara sah oleh hukum di hukum nasional Belanda, bahkan merupakan negara pertama dunia yang melegalisasi tindakan euthanasia pada 10 April 2001, dan berjalan secara efektif semenjak tanggal 1 April 2002.

Namun, mengenai pelaksanaan euthanasia ini sendiri telah menjadi isu yang cukup sering ditemui di Belanda, dimana semenjak akhir tahun 1993, pemerintah Belanda mengatur secara hukum mengenai kewajiban setiap dokter untuk melaporkan apabila ada prosedur euthanasia serta physician assisted suicide (PAS) yang dilakukan selama mereka berpraktik medis (Pakes, 2005: 199), yang dilanjutkan dengan pengkodifikasian undang-undang mengenai euthanasia yang keberlakuannya terbatas pada tenaga medis, dan mengatur mengenai seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum (Leenen, 2001: 125).

Praktik euthanasia di Belanda sendiri sudah bisa ditemui semenjak tahun 1973, dimana apabila seorang dokter melakukan tindak euthanasia terhadap seorang pasien, maka ia haruslah memenuhi syarat substantif dan prosedural dari euthanasia itu sendiri (Leenen, 2001: 125).

Namun, dikarenakan fleksibilitas pelaksanaan euthanasia pada saat itu seringkali didasarkan pada yurisprudensi hakim, serta rendahnya suara mengenai pelanggaran ditinjau dari sisi religius yang bisa dikemukakan oleh oposisi di Senat menyebabkan rancangan undang-undang ini berhasil dibuat secara sukses tanpa adanya konflik dan kecaman dari hadapan publik Belanda itu sendiri (Pridgeon, 2006: 52).

Apabila merujuk pada praktik legalisasi Undang-Undang Euthanasia di Belanda, yang merupakan akar hukum barat yang diterapkan di Indonesia hingga saat ini, maka bukan tidak mungkin bahwa undang-undang ini bisa menjadi salah satu topik bahasan yang menarik untuk didiskusikan antara DPR dengan Presiden sebagai lembaga kekuasaan yang memiliki wewenang untuk membuat undang-undang.

Indonesia merupakan negara yang memiliki nilai-niai serta kesadaran mengenai moral dalam masing-masing individu, sehingga perbuatan untuk mengakhiri hidup sendiri dianggap sebagai sebuah konsep yang tabu dan seringkali bertentangan dengan konsep religius yang diajarkan oleh agama, dimana nilai-nilai ini telah melekat erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Sehingga, jika kita melihat dari kemungkinan apakah euthanasia akan dilegalisasikan suatu saat nanti dalam praktik hukum Indonesia, maka tentu hal ini mengundang ragam pro dan kontra yang sudah penulis sebutkan sebelumnya, yakni dilema perdebatan mengenai apakah seseorang memiliki hak untuk mati (the right to die) selayaknya dengan hak untuk hidup, dan apakah tindakan dokter dalam keterlibatan atas proses euthanasia secara aktif nantinya ini dapat dikatakan sebagai sebuah tindak pidana yang unsurnya dapat dihapuskan (dimaafkan) selama memenuhi syarat subsidiaritas dan proporsionalitas?

Selain itu juga, jika euthanasia akan dilegalisasikan praktiknya di dalam dunia kedokteran Indonesia secara menyeluruh, maka sebelum pelaksanaan regulasi yang berkenaan mengenai legalisasi atas tindakan euthanasia atau suntik mati ini, perlu diadakan sebuah edukasi secara masif kepada seluruh golongan masyarakat mengenai pengetahuan akan euthanasia ini sendiri, yang tentunya akan memakan waktu serta Sumber Daya Manusia (SDM) dan biaya yang cukup besar.

Hal ini didasarkan pada alasan kondisi Indonesia, dimana kesadaran masyarakat akan sistem hukum di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan hukum kesehatan masihlah rendah.

Yang terakhir ialah perlunya alasan penguat dalam konteks melegalisasikan tindakan suntik mati atau euthanasia serta physician assisted suicide (PAS), yang dianggap sebagai pemenuhan the right to die milik seseorang untuk dapat melakukan hal sesuai dengan kehendak bebas yang ada pada dirinya, agar pelaksanaan euthanasia secara dasar hukum memiliki pondasi yang kokoh dan didasarkan pada kepentingan yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan semata-mata empati belaka akan penderitaan si pasien.

Ilustrasi mengenai Euthanasia, sumber: Deutsche Welle
Ilustrasi mengenai Euthanasia, sumber: Deutsche Welle

Kesimpulan

Euthanasia dan physician assisted suicide (PAS) merupakan suatu topik yang akan terus menerus menjadi sebuah hal kontroversial dalam dunia kedokteran, terutama dalam aspek legalisasinya di mata hukum positif di Indonesia.

Ditinjau dari sudut hukum positif Indonesia serta Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), euthanasia jelas merupakan sebuah tindakan atau prosesi medis yang pelaksanaannya dilarang serta ditentang secara keras.

Dikarenakan sulitnya untuk menemukan kasus dimana seorang tenaga medis melakukan euthanasia aktif di Indonesia menyebabkan belum adanya yurisprudensi hukum yang dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam menangani kasus-kasus euthanasia yang terjadi di Indonesia, dimana seringkali pelaksanaannya dilaksanakan secara diam-diam. 

Dari tinjauan atas literatur yang digunakan sebagai referensi dalam artikel ini, dapat diketahui bahwa tindakan yang diambil oleh Belanda, yakni melegalisasikan euthanasia dalam sebuah produk hukum yakni undang-undang tentu memicu pro dan kontra, terutama berkaitan dengan hak asasi manusia "the right to die" milik individu yang belum diakui oleh PBB sebagai bagian dari HAM serta pula dengan dilema mengenai kewajiban dokter dalam menjalankan etika profesi kedokteran.

Dengan adanya legalisasi atas euthanasia ini di Belanda membuka perspektif baru dalam pelaksanaan etika dalam profesi kedokteran, dimana pertimbangan tersebut bukan hanya untuk mempertahankan nyawa seseorang, melainkan melepaskan orang tersebut dari penderitaannya, yang terkadang hanya bisa dicapai melalui euthanasia sebagai satu-satunya jalan terakhir bagi si pasien.

Namun, dalam hal mungkinkah legalisasi euthanasia ke dalam hukum positif Indonesia merupakan sebuah proses birokrasi yang panjang, dimana perlu adanya perubahan terhadap Pasal 344 KUHP yang menjadi dasar larangan pelaksanaan euthanasia itu sendiri di Indonesia, beserta dengan kontroversial dan dilema yang muncul berkaitan dengan topik euthanasia itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun