Mohon tunggu...
Regina Cecilia
Regina Cecilia Mohon Tunggu... Lainnya - Currently studying Law at Universitas Indonesia

c’est a la vie

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

The Right to Die: Mungkinkah Legalisasi atas Tindakan Euthanasia dan Physician Assisted Suicide (PAS) dalam Praktik Kedokteran di Indonesia?

7 Desember 2020   19:05 Diperbarui: 7 Desember 2020   19:20 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meningkatnya praktik Euthanasia yang dilakukan di beberapa negara dan negara bagian (states) selama beberapa tahun kebelakang. Sumber: The Lancet

"Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun"

Dalam bukunya, R. Soesilo (1976, hlm. 209) menerangkan bahwa permintaan untuk membunuh itu harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika tidak maka orang itu dikenai pembunuhan biasa. Namun, ada beberapa kekurangan dalam perumusan salah satu unsur Pasal 344 KUHP, yakni "atas permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati" menyebabkan pembuktian pemenuhan atas unsur di pasal ini menjadi sulit.

Hal ini disebabkan karena pasien, yang merupakan orang atau individu yang meminta tenaga medis untuk melakukan euthanasia tersebut kepada dirinya telah meninggal dunia. Pembuktian dari unsur Pasal 344 KUHP ini sendiri haruslah dinyatakan dari pasien, sehingga mengingat pasien telah meninggal dunia, maka pembuktian unsur ini menjadi mustahil untuk dilakukan.

Merujuk pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), maka dapat ditemukan Pasal 7 huruf d (sebelumnya diatur di dalam Pasal 9) tentang Kewajiban Umum yang tertulis

"Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani" (MKEK IDI, 2012: 1)

Dalam hal ini, sudah digambarkan secara jelas dan lagi-lagi kembali menegaskan mengenai kewajiban utama dokter, yakni melindungi serta mempertahankan hidup pasien tersebut sesuai dengan kemampuan dan tindakan medis yang dapat digunakan, seberapapun gawatnya kondisi pasien tersebut. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa apabila didasarkan pada etika dan moral dunia kedokteran, maka euthanasia merupakan sebuah tindakan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan.

Apabila membahas mengenai euthanasia, tentunya hal ini tidak terlepas dari keterkaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak pihak berargumen bahwa pelaksanaan dari euthanasia ini sendiri telah melanggar hak hidup, yang merupakan salah satu HAM yang bersifat esensiil dan dimiliki oleh semua orang tanpa terkecuali.

Selain itu juga, dalam Univerasl Declaration of Human Rights yang dipublikasikan serta diratifikasi pada 10 Desember 1948 di Paris, tidak ada disebutkan secara eksplisit mengenai hak seseorang untuk mati (the right to die).

Namun, apabila kita merujuk kepada International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR), disebutkan bahwa seorang manusia atau individu memiliki hak-hak dasar untuk menentukan nasib atas dirinya sendiri, yang secara sekilas dibahas di dalam UDHR. Pasal-pasal yang terkait dengan the right to self determination ini terdiri dari (UNGA, 1976: 1-11):

  1. Pasal 1, tertulis "Setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri";
  2. Pasal 9, tertulis "Setiap orang memiliki kebebasan dan keamanan atas dirinya";
  3. Pasal 17, tertulis "Tidak ada seorangpun yang boleh dilecehkan kepasinian ataupun kerahasiaan surat-menyuratnya";
  4. Pasal 18, tertulis "Setiap orang memiliki hak atas kebebasan suara dan kata hatinya"

Berdasarkan ICCPR tersebut, maka dasar atas hak untuk menentukan nasib diri sendiri menjadi kuat pondasinya, dikarenakan pada prinsipnya telah mengemukakan hak-hak dasar dari manusia yang tidak bisa dilecehkan.

Hal ini menjadikan hak atas kebebasan untuk menentukan nasib sendiri ini seringkali dijadikan sebagai dasar argumen seorang pasien dalam memutuskan untuk menjalankan proses euthanasia untuk mengakhiri nyawanya sendiri dengan bantuan tenaga medis, dikarenakan tidak ada batasan-batasan yang mampu menjelaskan secara tegas mengenai konsep dari hak untuk seorang individu dalam menentukan nasib atas dirinya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun