Mohon tunggu...
Recia KurniaRachman
Recia KurniaRachman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidikan Sosiologi UNJ

Hallo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hubungan Gender dan Kekuasaan dengan Kekerasan Seksual di Lingkuangan Akademik

17 Desember 2022   14:51 Diperbarui: 17 Desember 2022   15:17 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source : balairungpress

Latar Belakang 

Kekerasan seksual merupakan fenomena yang sering kali terjadi baik di lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan pendidikan. Lingkungan pendidikan yang seharunya menjadi tempat yang aman bagi semua orang dalam melakukan proses pembelajaran pada kenyataanya tidak demikian. Kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terjadi pada semua jenjang mulai dari TK sampai perguruan tinggi dan ditingkat perguruan tinggi ini yang paling banyak terjadi kasus kekerasan seksual. 

Kekerasan seksual berbeda dengan pelecehan seksual. Berdasarkan situs kemdikbud kekerasan seksual merupakan perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, menyerang atau bertindak terhadap tubuh seseorang yang berkaitan dengan nafsu seksual atau terhadap fungsi repsoduksi seseorang yang disebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa dan/ atau gender dan berdampak pada penderitaan psikis, fisik, termasuk gangguan kesehatan reproduksi seseorang serta hilangnya kesempatan untuk melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

[1] Selain itu menurut WHO  kekerasan seksual merupakan perilaku seseorang yang menuju pada seksualitas orang lain tanpa persetujuan disertai unsur paksaan serta ancaman.

[2] Contoh kekerasan seksual seperti eksploitasi seksual, perbudakan seksual, perkawinan paksa, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Sedangkan pelecehan seksual merupakan tindakan yang bernuansa seksual baik melalui sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran seksualitas seseorang seperti catcalling, main mata, ucapan bernuansa seksual, dan lain sebagainya. [3] Fenomena ini temasuk dalam kejahatan asusila yang dimana berkaitan dengan tingkah laku seseorang yang menyimpang, tidak sesuai aturan yang ditetapkan oleh suatau lembaga legal atau pemerintahan.[4]

Dalam kasus kekerasan seksual ada yang namanya pelaku dan korban. Pelaku kekerasan seksual cenderung mempunyai status yang lebih tinggi dari korban sehingga ia merasa dapat melakukan apa pun yang ia inginkan. Sedangkan korban mempunyai status atau dianggap lebih rendah. Contoh kekerasan seksual yang dilakukan oleh bos terhadap karyawan, seorang ayah terhadap anak, dosen terhadap mahasiswa, dan lain sebagainya. 

Dari banyaknya kasus, pelaku kekerasan seksual dominan laki-laki dan korban kekerasan seksual dominan perempuan. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat juga korban kekerasan seksual laki-laki dan pelaku perempuan. Hanya saja pada dari laporan kekerasan yang terjadi korban perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Artinya banyak kekerasan seksual yang dilakukan terhadap perempuan. Hal ini menunjukan bahwa kekerasan seksual berkaitan dengan ketimpangan gander dan relasi kuasa.

Pembahasan 

Kekerasan Seksual, Ketimpangan Gander, dan Relasi Kuasa

 Dalam bahasa Inggris kekerasan seksual (sexual hardness) secara etimologi berasal dari dua kata yaitu sexual yang berarti sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas dan hardness yang berarti tidak bebas, tidak menyenangkan.[5] Dengan demikian sexual hardness diartikan sebagai perbuatan tidak menyenangkan/ tidak diinginkan oleh si penerima (korban) yang dimana didalamnya terdapat unsur tekanan, ancaman, dan tidak menyenangkan.[6] 

Menguti dari laman kemdikbud, kekerasan seksual merupakan perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, menyerang atau bertindak terhadap tubuh seseorang yang berkaitan dengan nafsu seksual atau terhadap fungsi repsoduksi seseorang yang disebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa dan/ atau gender dan berdampak pada penderitaan psikis, fisik, termasuk gangguan kesehatan reproduksi seseorang serta hilangnya kesempatan untuk melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal

.[7] Selain itu menurut WHO  kekerasan seksual merupakan perilaku seseorang yang menuju pada seksualitas orang lain tanpa persetujuan disertai unsur paksaan serta ancaman.[8] Contoh kekerasan seksual seperti eksploitasi seksual, perbudakan seksual, perkawinan paksa, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Kerasan ini termasuk dalam kategori kejahatan asusila. Berdasarkan perspektif sosiologi, kejahatan merupakan tindakan atau tingkah laku manusia yang tidak hanya merugikan korban tetapi juga merugikan masyarakat serta dapat menimbulkan hilangnya keseimbangan, ketertiban, dan ketentraman dalam masyarakat.[9] 

Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja baik itu di lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan pendidikan. Pelaku dari kekerasan ini cenderung merupakan orang yang dekat dengan korban seperti teman, pacar, anggota keluarga, dosen, guru agama, namun pada sebagian kasus pelaku kekerasan seksual juga datang dari stranger atau orang yang tidak dikenal.

Adapun penyebab dari kekerasan seksual yaitu stereotip dan relasi kuasa. Pertama stereotip, stereotip adalah pemberian label yang cenderung negative kepada orang lain atau sekelompok orang. Dalam kasus kekerasan seksual sering kali perempuan yang disalahkan baik itu karena pakaian atau perilakunya. Selain itu anggapan dari pelaku bahwa seseorang (korban) ini lemah dan tidak dapat melakukan apa-apa. 

Korban dari kekerasan seksual lebih dominan dialami oleh kaum perempuan dan pelaku dominan laki-laki. Stereotip negative umumnya ditujukan kepada perempuan contoh perempuan suka berdandan, menggunakan pakaian yang seksi sehingga menarik perhatian laki-laki.[10] Menurut Faturani pengaduan kekerasan seksual berbasis gender (KBG) di Indonesia tahun 2021 sebanyak 327.629 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan mengalami peningkatan di tahun 2022 sebanyak 50% dengan  total 338.496 kasus.[11] Hal ini menunjukan adanya ketimpangan gander. 

Gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender tidak dilihat secara biologis melainkan perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh struktur masyarakat melalui konstruksi budaya.[12] Dengan adanya gender ini pula yang membedakan karakteristik feminis dan maskulin. Feminis yaitu sifat-sifat yang menggambarkan keperempuanan seperti lemah lembut, penyanyang, keibuan, sabar, penurut, dan lain sebagainya. 

Perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah, inferior, sering ditindas, dieksploitasi, tidak bebas menentukan kehidupan dan mengontrol tubuhnya, dan bergantung pada laki-laki. Sedangkan laki-laki dianggap sebagai pihak yang kuat, superior, berkuasa, pemimpin, pembuat keputusan, dan lain sebagainya. Hal ini yang terkadang membuat laki-laki merasa bahwa dirinya berkuasa atas segala hal termasuk tubuh perempuan. 

Kedua, relasi kuasa. Dalam relasi kuasa tentu ada dua kelompok yaitu pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai. Hal ini ditentukan oleh banyak hal seperti kepemilikan modal, pengetahuan, dan struktur sosial. Ketika seseorang mempunyai kekuasaan mereka tentu memiliki wewenang dalam bertindak. Namun kekuasaan sering kali disalahgunakan untuk memenuhi hasrat pribadi seperti yang berkaitan dengan seksual. Seseorang (pelaku) cenderung merasa berkuasa atas orang lain (korban) sehingga ia dapat melakukan apapun yang ia inginkan. Contoh relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, orang tua dan anak, bos dan karyawan. Dalam kasus kekerasan seksual akibat relasi kuasa sering kali disertai pemaksaan dan ancaman oleh pelaku.

Kasus

Menguti dari detik.com pada tahun 2021 terdapat kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen di salah satu universitas swasta di Semarang.[13] Dosen tersebut melakukan pemerkosaan terhadap mahasiswa disertai dengan ancaman nilai akademik korban. Tidak disebutkan secara rinci inisial pelaku, korban, serta TKP atau nama universitas swasta yang dimaskud dalam kasus ini. Namun yang diketahui bahwa belaku sudah beristri. Menurut Annizar (2021) lembaga bantuan hukum asosiasi perempuan indonesi untuk keadilan (LBH APIK) Semarang enggan mengungkapkan secara rinci mengenai identitas kasus tersebut.[14] 

Adapun kronologi kasus kekerasan seksual antara dosen dan mahasiswa di Universitas Swasta di Semarang berdasarkan keterangan Citra selaku pendamping korban dari LRCKJ HAM atau Legal Resources Center Untuk Kedilan Jender Dan Hak Asasi Manusia yakni awalnya pelaku (dosen) mengenal korban (mahasiswa) disemester 3 karena ia mengampu salah satu mata kuliah yang diambil oleh mahasiswi tersebut. 

Lalu karena korban (mahasiswi) ini dilihat pintar, aktif dikelas, pelaku (dosen) tertarik pada mahasiswi tersebut, akhirnya pelaku mulai melakukan interaksi dengan korban melalui DM (direct message) di Instagram dan beralih ke WA (WhatsApp). Mereka sering berinteraksi melalui media social. Lalu pelaku mulai sering membelikan tiket namun selalu ditolak oleh korban. 

Pelaku tidak tinggal diam, ia terus membujuk rayu mahasiswi tersebut sampai pada akhirnya mereka semakin dekat dan menjalin hubungan/ berkencan. Dalam hubungannya sejak tahun 2020-2021 pelaku seringkali memaksa korban untuk melakukan hubungan badan dengan berbagai ancaman muali dari masalah nilai akademik mahasiswa tersebut hingga mendatangi tempat tinggal atau kosan korban. 

Setelah terjadi kekerasan seksual, mahasiswa yang bersangkutan melaporkan kejadian tersebut ke pihak kampus dan juga lembaga LRCKJHAM. Untungnya kampus berpihak pada korban dan cepat tanggap dalam menangani kasus ini dengan mengambil keputusan pemecatan terhadap pelaku atau dosen yang bersangkutan serta memberikan perlindungan dan pemulihan psikologis korban. [15]

Analisis Kasus Berdasarkan Pemikiran Pierre Bourdieu 

Teori Struktural Konstruktif

Pierre Felix Bourdieu atau Bourdieu (1930-2002) merupakan seorang tokoh sosiologi modern yang berasal dari Prancis. Karya-karya Bourdieu atau hasil pemikiran beliau banyak dipengaruhi oleh berbagai tokoh seperti Marx, Durkheim, Weber, Hegel, Michel Foucault, Aristoteles, Jean Paul Sartre, Thomas Aquinas, Picasso, Levi Strauss, dan lain sebagainya.[16] Teori yang dihasilkan oleh Bourdieu yaitu teori structural konstruktif yang dimana pemikiran ini berfokus pada subjektivitas atau peran actor.  Istilah teori Bourdieu dikenal dengan teori praktik manusia yaitu teori yang menggabungkan antara teori yang berfokus pada actor atau agen dengan penjelasan objektif yang menekankan struktur dalam membentuk kehidupan social.[17] Artinya teori ini menggabungkan antara subjektivitas dengan struktur objektif dalam melihat lingkungan social. 

Adapun konsep penting dalam teori structural konstruktif yaitu :

  • Habitus 

Habitus secara etimologi berasal dari habit atau kebiasaan, sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang. Habitus menurut Bourdieu adalah struktur mental atau kognitif individu untuk menghadapi dunia sosial.[18] Habitus juga diartikan sebagai produk internalsasi struktur dunia social. [19] Jadi habitus dapat dikatakan sebagai konsepsi mental hasil proses sosialisasi/ internalisasi dari lingkungan sekitar baik keluarga, masyarakat, dan sekolah yang digunakan untuk memahami, menafsirkan, merasakan, dan menyadari kehidupan social. A

rtinya ada fator latar belakang social budaya, pengalaman individu yang mempengaruhi habitusnya. Habitus tidak bersifat alamiah tetapi bersifat konstruktif atau dibentuk. Aktor bertindak melalui habitus atau pengalaman dari proses internalisasi yang dilakukan oleh struktur. 

Dalam kasus kekerasan seksual habitus dapat dilihat dari nlai-nilai yang diinternalisasikan masyarakat kepada actor terutama perempuan. Biasanya masyarakat mempresepsikan perempuan sebagai manusia yang lemah lembut, penurut, sabar, lebih pasif, dan lain sebagainya. Selain itu perempuan juga dilarang melakukan sifat-sifat yang bertentangan dengan keperempuanannya sebab dianggap telah melekat pada diri perempuan sejak lahir. Sosialisasi tentang nilai-nilai perempuan, kelas social perempuan, dan sebagainya berlangsung sejak individu itu lahir melalui institusi keluarga, masyarakat, sampai institusi pendidikan. 

Habitus ini semakin menguatkan perspektif masyarakat terhadap perempuan sehingga perempuan menerima hal-hal yang melekat pada dirinya mengenai peran gendernya dimasyarakat.[20] Contoh perempuan selalu berada pada kelas bawah daripada laki-laki, perempuan tidak boleh memakai pakaian yang terbuka, ketat, dan sebagainya sebab dianggap menggoda nafsu laki-laki sehingga dapat menimbulkan kekerasan seksual. Hal ini juga dapat disebut sebagai kekerasan simbolik yang dimana seseorang dianggap wajar menerima apa yang mereka dapatkan. 

Menurut Bourdieu kekerasan berada pada lingkup kekuasaan.[21] Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang secara paksa mendapat kepatuhan namun tidak dirasakan sebagai paksaan sebab sudah menjadi nilai-nilai kolektif dan tertanam secara social.

[22] Jadi ada hubungan antara habitus dan kekerasan simbolik dengan peran gander dan relasi kuasa. Kekerasan simbolik memiliki berbagai bentuk seperti sopan santun, pemberian, kepercayaan, belas kasih, dan kesetiaan.[23] Bourdieu juga mengatakan bahwa system pendidikan menjadi tempat utama dalam memperaktikan kekerasan simbolik terhadap individu.[24] Artinya dalam system pendidikan ini berkontribusi dalam melestarikan dan memproduksi relasi kuasa dan hubungan kelas. 

Kekerasan simbolik dalam kasus kekerasan seksual tersebut berbentuk sopan santun, pemberian, dan belas kasih. Hal ini dapat dilihat bahwa antara dosen (pelaku) dan mahasiswa (korban) menjalin hubungan atau pacaran. Mahasiswa harus patuh dan sopan kepada dosen. 

Mungkin saja mahasiwa tersebut berpikir bahwa jika tidak menerima dosen tersebut dianggap tidak sopan atau tidak menghargai beliau, nilai akademiknya akan bermasalah, jadi bahan omongan sebab mereka sudah sering berinteraksi melalui media social, dan lain sebagainya. Selain itu pemberian dan belas kasih dapat dilihat dari dosen tersebut yang selalu memberikan tiket kepada mahasiswa meskipun pada awalnya mahasiswa tersebut menolak. 

Dosen tersebut melihat korban dengan belas kasih sebagai seorang anak perempuan yang tinggal sendiri (ngekos), jauh dari orang tua, dan butuh support system dari dirinya sebab ia seorang dosen yang harus memperhatikan mahasiswanya. Mekanisme kekerasan dilakukan secara perlahan sehingga korban tidak menyadari bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Kekerasan simbolik ini juga berkaitan dengan relasi kuasa yang dimana dosen berkuasa atas mahasiswa namun kekuasaan ini disalahgunakan sehingga terjadi kasus kekerasan seksual.

  • Ranah (field)

Ranah dapat dikatan sebagai arena, ruang social, lingkungan social. Menurut Bourdieu ranah adalah arena pertarungan yang dimana terdapat hubungan antarposisi objektif didalamnya serta sebagai tempat kompetisi actor untuk menyebarkan dan menggunakan berbagai jenis modal.[25] Modal yang dimaksud bukan hanya modal ekonomi seperti yang dikatakan Marx namun juga termasuk modal social, budaya, dan simbolik. Jadi ranah ini merupakan lingkungan social yang didalamnya terdapat pertarungan untuk mempertahankan atau memperebutkan sumber daya yang terbatas disertai dengan strategi. Hubungan antara posisi objektif, ada relasi kuasa didalamnya. Tindakan agen dalam ranah ditentukan oleh posisi agen tersebut dalam struktur social.  

Ranah juga diartikan sebagai permainan yang melibatkan posisi seseorang dan menentukan berbagai stategi yang akan digunakan untuk memenangkan permainan tersebut. Selain itu ada juga selera untuk memperjelas posisi seseorang dalam lingkungan social. 

Dalam analisis kasus kekerasan seksual tersebut ranah dilihat dari lingkungan sosial yang ada di universitas yang dimana dalam hal ini melibatkan posisi/ jabatan yaitu seorang dosen dan mahasiswa. 

Dosen mempunyai berbagai jenis modal lebih besar daripada mahasiswa contoh modal simbolik, ekonomi, dan sosial. Jadi dosen lebih mendominasi ranah di ruang kelas. Selain itu dalam hubungan antarposisi dosen menempati posisi atau kelas atas dan mahasiwa berada pada kelas bawah dalam struktur kelas sehingga mahasiswa harus patuh, sopan, santun, lemah lembut kepada dosen. Seperti yang terjadi disalah satu universitas swasta di Semarang, kekerasan seksual karena adanya dominasi dalam ranah antara dosen (pelaku) dan mahasiswa (korban). 

Pelaku memaksa korban untuk melakukan hubungan badan dan disertai ancaman berupa nilai akademik korban serta ancaman ingin mendatangi tempat tinggal (kosan) korban. Hal ini menunjukan adanya dominasi yang dilakukan pelaku sebab pelaku berada pada posisi kelas atas dan memiliki berbagai jenis modal seperti modal ekonomi dan simbolik. Seperti yang dikatakan sebelumnya, tindakan agen dalam ranah ditentukan oleh posisi agen tersebut dalam struktur social, seharusnya pelaku yang dimana sebagai seorang dosen yang berpendidikan tidak melakukan hal tersebut kepada mahasiswa sebab tidak mencerminkan posisi pelaku dalam struktur sosial dilingkungan kampus. Selain itu pertarungan antara pelaku dengan korban dapat dilihat dari pelaku yang mencoba untuk mempertahankan sumber dayanya dan korban yang memperjuangkan hak nya sebagai mahasiswa yaitu nilai.

  • Modal 

Pemikiran Bourdieu dipengaruhi oleh beberapa tokoh salah satunya Marx dan Foucault. Bourdieu juga membahas mengenai modal namun sebelumnya ia mengkritik pemikiran Marx mengenai modal. Modal yang dimaksud marx hanya seputar kepemilikan alat produksi dan ekonomi. Sedangkan menurut Bourdieu modal dapat diartikan lebih luas lagi yaitu meliputi modal ekonomi, modal sosial, modal culture, dan modal simbolik. Modal menentukan posisi/ kelas/ jabatan seseorang dan digunakan oleh actor atau agen sosial untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Modal ekonomi adalah modal yang berbentuk materil seperti uang, harta, alat produksi, tanah yang dimiliki seseorang. Modal sosial adalah hubungan atau relasi sosial yang bernilai dimiliki seseorang.[26] Jadi modal sosial termasuk dalam modal non fisik yang terbentuk karena adanya interaksi sosial antar individu sehingga membentuk relasi sosial. 

Modal culture adalah modal yang ditentukan oleh latar belakang, kelas sosial yang berhubungan dengan pendidikan seperti memiliki pegetahuan akan sesuatu, ijazah, gelar akademik. Modal culture juga diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam bertingkah laku, berpenampilan, bertutur kata, bergaul.[27] Modal simbolik adalah sesuatu yang dikenali dan diakui oleh orang lain.[28] Modal simbolik berupa previllage atau kehormatan yang berhubungan dengan kekuasaan dan didasarkan atas pengetahuan atau modal culture. 

Dalam kasus kekerasan seksual akibat adanya relasi kuasa dan ketimpangan gander dapat dilihat dari kepemilikan modal yang dikemukakan oleh Bourdieu. Berdasarkan modal ekonomi pelaku memiliki modal ekonomi yang lebih besar dari pada korban. Hal ini dilihat dari upaya pelaku untuk mendekati korban dengan memberikan tiket dan berkencan. Dalam lingkungan kampus dosen berada pada struktur kelas atas (bourjuis) dan mahasiswa berada pada kelas bawah (prolentar) sehingga dosen memilki wewenang yang lebih besar daripada mahasiswa. 

Modal sosial dapat diartikan sebagai relasi sosial yang dimiliki oleh seseorang. Seorang dosen tentu memiliki modal sosial yang sangat luas. Artinya menjalin hubungan sosial dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan yang setara atau sesama dosen, ataupun dengan orang yang lebih tinggi diatasnya seperti rector. Dengan adanya modal sosial ini mungkin pelaku tersebut merasa punya banyak backingan sehingga dapat menekan korban dengan berbagai ancaman. Selanjutnya modal culture  dapat dilihat dari tutur kata pelaku yang membujuk rayu kepada korban hingga mereka menjalin hubungan. Ketika sudah menjalin hubungan dari 2020-2021 pelaku mulai memaksa korban untuk melakukan hubungan badan. 

Selain itu pengetahuan yang dimiliki pelaku lebih tinggi sehingga ia lebih memiliki kekuasaan.  Terakhir yaitu modal simbolik dapat dilihat dari pelaku yang merupakan seorang dosen memiliki suatu previllage, lebih berkuasa, dan disegani sehingga pelaku dapat bertindak sewenang-wenang atas korban dan korban tidak dapat melakukan apapun pada awalnya selain menuruti keinginan pelaku sebab adanya ancaman.

Kesimpulan

Dengan demikian terdapat hubungan antara ketimpangan gander dan relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual. Ketimpangan gander yang dimana adanya persepsi yang menjamur dimasyarakat mengenai peran gander antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dianggap sebagai seorang pemimpin, kuat, memiliki kekuasaan daripada perempuan sedangkan perempuan dianggap sebagai orang yang lemah lembut, penurut, berada pada posisi kedua atau dibawah laki-laki. 

Oleh karena itu perempuan yang sering menjadi korban kekerasan seksual daripada laki-laki. Selain itu relasi kuasa yang dimana terdapat dua kelompok yaitu yang berkuasa/ mendominasi dan yang dikuasai/ didominasi. Relasi kuasa juga berkaitan dengan kepemilikan modal sehingga pihak yang berkuasa memiliki wewenang yang lebih besar.  Seperti yang terdapat dalam pemikiran Bordieu bahwa kekuasaan berkaitan erat dengan kepemilikan modal baik itu modal ekonomi, modal sosial, modal culture, dan modal simbolik. Lalu mengenai habitus dan ranah, habitus dapat dikaitkan dengan ketimpangan gander dan relasi kuasa sebab habitus terbentuk karena adanya internalisasi yang berlangsung lama sehingga membentuk konsepsi seseorang mengenai struktur sosial. Habitus dan ranah memiliki hubungan dialektika satu sama lain.

Daftar Pustaka

Andini, S. D., & Faridah, H. (2022). Tinjauan Kriminologi Mengenai Ketimpangan Relasi Kuasa Dan Relasi Gender Dalam Kasus Kekerasan Seksual. Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 2279-2292.

Annizar, B. (2021, Desember 12). Lbh Apik Semarang Terima 55 Aduan Kasus Kekerasan Seksual Di Kampus.

Dalimoenthe, I. (2020). Sosiologi Gender. Jakarta: Bumi Aksara.

Faturani, R. (2022). Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 480-486.

Gadafi, M., Jamaluddin, & Amin, H. (2019). Bersinergi Dalam Memberikan Perlindungan Kepada Anak Untuk Mencegah Dan Menanggulangi Kekekrasan Seksual Anak. Kendari: Literacy Institute.

Indriani, R. M. (2022, September 3). Jangan Keliru, Pahami Perbedaan Pelecehan Seksual Dan Kekerasan Seksual.

Kuswandoro, W. (2016, Januari 30). Pemikiran Pierre Bourdieu Dalam Memahami Realitas Sosial.

Martono, N. (2012). Kekerasan Simbolik Di Sekolah. Jakarta: Rajawali Pers.

Musdawati. (N.D.). Kekerasan Simbolik Dan Pengalaman Perempuan Berpolitik Di Aceh. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, 1-16.

Purbaya, A. A. (2021, Desember 5 ). Seorang Dosen Di Semarang Perkosa Mahasiswi, Ancam Korban Soal Nilai.

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2010). Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam. Jakarta: Kencana.

Suprapti, S. (2022). Struktur Kekuasaan Dan Kekerasan Simbolik Dalam Novel Orang-Orang Biasa Karya Andrea Hirata: Perspektif Pierre Bourdier. Universitas Sanata Dharma.

Susantol, A., Wahyuni, M., & Dkk. (2020). Biografi Tokoh-Tokoh Sosiologi Klasik Sampai Postmodern. Kota Parepare: Iain Parepare Nusantara Press.

Wirawan, I. (2012). Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma . Jakarta: Kencana.

Kekerasan Seksual diakses Pada 10 Desember 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun