Mohon tunggu...
R. Syrn
R. Syrn Mohon Tunggu... Lainnya - pesepeda. pembaca buku

tentang hidup, aku, kamu dan semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Indah Kuingat Dirimu

1 November 2022   08:40 Diperbarui: 1 November 2022   11:03 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto dari mapio.net

Sosok yang dikaguminya itu memang tak jelas sebenarnya, hanya dari nama saja, yang tidak umum dan irit, nama perempuan kebanyakan di negeri ini, terpampang sebagai penulis cerita bersambung di majalah yang setiap dua minggu, yang menjadikannya harus menabung uang jajannya untuk ongkos angkot ke perpustakaan di batas kota, karena hanya d situ yang rajin menyediakan majalah favoritnya gratis dan tak pernah tidak tepat waktu.

Saat itu selain bubin LantanG yang  bercerita tentang kisah hidup si kembar di Lampung, tak ada yang lebih menarik perhatiannya lagi selain kisah pelajar dan pertemanan dengan tiga sahabatnya, yang latar belakangnya selalu di Jogja, rasanya sampai hapal di luar kepala ruas-ruas jalan dan suasana kota yang sepertinya selalu dingin berkabut dan menyedihkan itu, kontroversi memang dengan kisahnya yang sebenarnya terkadang agak absurd tapi selalu membuatnya penasaran untuk menuntaskannya.

Pertengahan tahun itu, lebih dua bulan kebiasaannya itu terpaksa harus dilupakan, keputusannya untuk mencoba pindah ke Jogja, tempat yang selalu membuat rasa penasarannya semakin bertambah setiap kali membaca cerita-cerita Farra, penulis idolanya.  Hal itu sepertinya hanya mungkin jika dia lulus UMPTN, dan kuliah di sana.  

Angkotnya berubah haluan ke bimbingan belajar, yang tak searah dengan jurusan menuju perpustakaan daerah langganannya tiap akhir pekan.  Terkadang tekat seseorang untuk belajar itu tidaklah logis.  Agustus pun terasa lama.

Oktober 1993, siang.  Rassta memarkirkan sepedanya dan bergegas mengeluarkan seribuan dari kantong jinsnya, menyerahkannya pada penjual koran yang merangkap penjual bensin dan tambal ban di pinggir jalan itu.  Minta ijin duduk di kursi kayu yang sepertinya biasa digunakan untuk menambal ban.

Mencermati satu demi satu nama yang tercetak dengan huruf berukuran kecil, ada ribuan nama dan nomor yang harus dipelototi satu per satu.  Dua menit kemudian terbit seulas senyum di bibirnya, dan terus melebar sampai akhirnya berteriak keras, sehingga menimbulkan kerut di jidat mamang pemilik tambal ban yang terlompat dari duduknya.. 

 ..

November, 1993 pagi.  Akhirnya setelah melewati drama di rumah karena tak memberitahu perihal kuliah yang ingin ditempuhnya, Dan tentu saja dia memenangkan argumentasinya.  Abah & mamanya akhirnya cuma bisa pasrah dengan tekatnya, dan mengantarkannya sampai pelabuhan di kotanya subuh sehari sebelumnya, hingga akhirnya kakinya menapak di Tanjung Perak setelah terombang ambing lebih 24 jam akibat cuaca buruk, musim hujan memenuhi jadwalnya rupanya.

Bis kota yang ditunggunya setengah jam akhirnya datang, dan akhirnya meninggalkan hidup pikuk di pelabuhan, menuju Bungurasih, untuk nantinya berganti dengan bis antar kota ke Jogja.  Rute yang sudah dihapalnya sejak seminggu yang lalu.  Rassta senyum-senyum sendiri membayangkan perjalanan beberapa jam ke depan. 


Padahal tulisan Purabaya jelas dan besar-besar tertulis di gerbang, tali tetap saja disebutnya Bungurasih.  Rassta sempat memastikan dirinya tak salah terminal kepada kenek.

Baru saja duduk di baris ketiga dari belakang, dekat jendela.  Beberapa pedagang menawarkan bermacam-macam jualan, dari gunting kuku sampai permen jahe.  Diletakkan begitu saja di dekat bangku dan di atas ransel yang dipangkunya.  Membingungkan sekali, tapi setelah penjual ketiga mengambil barang jualannya kembali, akhirnya dia memahami mekanisme jualannya.

Selanjutnya cuma menggelengkan kepala saja, kecuali membeli satu botol air mineral yang memang diperlukannya.  Surabaya sedang gerah sekali, padahal sedang musim penghujan.  

Setengah jam menunggu giliran berangkat, memejamkan mata karena bosan, sampai dia merada pundaknua dicolek dari samping.  Malas membuka mata, hanyar berucap "Ndak, mas.  Terimakasih.."

"Uhm, mas.  Boleh tukeran tempat duduk ga?"

'Kok, suara mas-mas yang jualan jadi merdu?'. Gumamnya.  

Alih-alih mas-mas penjual dagangan, matanya malah menemukan menatap senyum seorang gadis berambut pendek sebahu, berkacamata, jaket jins, memandangnya dengan tatapan memohon.

"Oh, iya." Singkat saja dijawabnya.  Sembari berdiri memberi jalan dan beranjak ke lorong bis.

Baru saja kakinya ke bagian tengah bis, masuk dua orang laki-laki separuh baya, dari pintu tengah, sembari berucap setengah berteriak "Penumpang mohon turun, ganti bis"

Penumpang yang sudah terlanjur duduk dan menunggu bisa berangkat cuma bisa bersungut-sungut, sambil berdiri menuju pintu.

"Hati-hati barangnya diperhatikan.."  Tambahan kalimat itu didengarnya lamat-lamat.  Gadis yang tadi minta bertukar tempat duduk dilihatnya terlihat sedang bingung, setengah panik tepatnya, mukanya pias.

"Ada apa, mbak?" Tanyanya pelan-pelan.
"Tas aku.."  Matanya masih saja menatap ke bagasi di atas tempat duduk, tapi sepertinya apa yang dicarinya tidak ketemu juga.
"Sebentar, mbak.."  

Setelah turun dari bisa dan pindah ke bis di belakangnya, Rassta berusaha menanyakan perihal tas yang hilang, tapi sepertinya nihil.  Tak ada jalan keluar ataupun penjelasan dari supir bis, malah katanya itu hal yang biasa.  "Makanya hati-hati, bawaannya dijaga!"  Begitu akhirnya.

Sempat kesal juga, malah balik menyalahkan.  

"Mbak, maaf.."  Dia menghampiri gadis yang dimintanya untuk tenangduduk di dekat jendela, sementara dia menitipkan ransel birunya.
"Iya ngga apa-apa."
"Terus gimana?"
"Biar aja dulu, yang penting berkasku aman" Katanya sambil menunjukkan map plastik di dekapannya.

Bis pun melaju, tak lama kemudian.  Beberapa jam di laut, ditambah bonus beberapa jam lagi menunggu, ditambah kejadian di terminal, rupanya cukup menjadi alasan untuk Rassta langsung terlelap, entah berapa lama. Hingga kembali dia merasa pundaknya disentuh.

"Mas, turun dulu katanya"  Suara yang merdu itu lagi., pemilik suara sedang menatapnya sambil tersenyum lagi.
"Oh, iya.  Di mana ini?"
"Caruban.."

Dua puluh menit singgah,makan siang, pakai kupon yang dibagikan kenek bus.  Sebagian menyempatkan diri untuk menengok toilet.  Sebagian lagi asik dengan kepulan asapnya, sampai bis bersiap untuk berangkat kembali.

Mempersilakan gadis itu duduk duluan, kemudian dia pun duduk kemudian.  Sesaat kemudian ada telapak tangan yang disodorkan.

"Indah.."
"Eh?"  Sedikit terkejut tapi disambutnya juga tangan yang mengajak salaman itu.
"Rassta.."
"Terimakasih, mas.  Tadi di terminal."
"Maaf, ga bisa membantu lebih banyak" Tukasnya.

Tak ada obrolan lagi setelah itu, matanya rupanya kembali mengajak tenggelam, apalagi sepiring rawon yang cukup enak di rumah makan tadi membuat lelapnya semakin terasa nikmat pula.  Entah berapa jam lagi berlalu, tak dipedulikannya lagi.

Kembali, sentuhan di pundak kiri membangunkannya,  seraut wajah tersentum lagi, tapi dengan tatapan lucu, seperti menahan tawa.

"Sudah sampai, mas.  Tidurnya sepertinya lelap sekali"  Tak hilang-hilang wajah menahan tawa itu.
"Eh, aku ngorok, ya?"  Tanyanya ragu-ragu
Yang ditanya cuma mengangguk sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan.
"Maaf ya"  Bisa malu juga rupanya.

Semua penumpang siap-siap turun.  Sambil menunggu antrian, menyempatkan bertanya.

"Sudah sering ke Jogja?"
Indah cuma mengangguk.
"Dari terminal sini ke Bulaksumur naik apa ya?"
"Ke kampus?"  Malah balik ditanya.
Giliran Rassta yang mengangguk.

"Bis kota, tapi lupa jalur berapa, nanti deh nanya.  Yuk duluan"
Baru saja melangkahkan kakinya, malah tersandung kaki kursi bis.  Map yang dibawanya jatuh.

Rassta mengambil map yang terbuka dan isinya terjatuh sebagian, sekilas dibacanya, formulir daftar ulang, di kampus yang sama dengan dirinya.  Menyerahkannya pada gadis yang baru saja dikenalnya itu.

"Terimakasih, ya"

"Eh, ini ada satu lagi"  Sembari mengambil selembar kertas dari kolong kursi bis.  Fotokopi ijazah sebuah SMA di Malang.  Sebaris nama tertera di sana.  Rassta menahan napas, lalu memandang gadis di sampingnya yang sibuk merapikan berkas kembali ke dalam map plastik berwarna hijau.  Menyodorkannya, dan entah kenapa jantungnya jadi berdebar setelah membaca sebaris nama di surat kelulusan tersebut : Indah Farra Diva ..

"Terimakasih, eh kamu kenapa, mas?"

Rassta hanya terpaku.
Lamat-lamat sebaris lagu tiba-tiba terdengar dari warung samping terminal..

".. indah kuingat dirimu
bilang ingin kau bertemu
.."

Umbulharjo sore itu mendadak terasa hangat..

/

*cerita pendek ini, untuk seorang sahabat yang kebetulan seorang penulis hebat ..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun