Sosok yang dikaguminya itu memang tak jelas sebenarnya, hanya dari nama saja, yang tidak umum dan irit, nama perempuan kebanyakan di negeri ini, terpampang sebagai penulis cerita bersambung di majalah yang setiap dua minggu, yang menjadikannya harus menabung uang jajannya untuk ongkos angkot ke perpustakaan di batas kota, karena hanya d situ yang rajin menyediakan majalah favoritnya gratis dan tak pernah tidak tepat waktu.
Saat itu selain bubin LantanG yang  bercerita tentang kisah hidup si kembar di Lampung, tak ada yang lebih menarik perhatiannya lagi selain kisah pelajar dan pertemanan dengan tiga sahabatnya, yang latar belakangnya selalu di Jogja, rasanya sampai hapal di luar kepala ruas-ruas jalan dan suasana kota yang sepertinya selalu dingin berkabut dan menyedihkan itu, kontroversi memang dengan kisahnya yang sebenarnya terkadang agak absurd tapi selalu membuatnya penasaran untuk menuntaskannya.
Pertengahan tahun itu, lebih dua bulan kebiasaannya itu terpaksa harus dilupakan, keputusannya untuk mencoba pindah ke Jogja, tempat yang selalu membuat rasa penasarannya semakin bertambah setiap kali membaca cerita-cerita Farra, penulis idolanya. Â Hal itu sepertinya hanya mungkin jika dia lulus UMPTN, dan kuliah di sana. Â
Angkotnya berubah haluan ke bimbingan belajar, yang tak searah dengan jurusan menuju perpustakaan daerah langganannya tiap akhir pekan. Â Terkadang tekat seseorang untuk belajar itu tidaklah logis. Â Agustus pun terasa lama.
Oktober 1993, siang. Â Rassta memarkirkan sepedanya dan bergegas mengeluarkan seribuan dari kantong jinsnya, menyerahkannya pada penjual koran yang merangkap penjual bensin dan tambal ban di pinggir jalan itu. Â Minta ijin duduk di kursi kayu yang sepertinya biasa digunakan untuk menambal ban.
Mencermati satu demi satu nama yang tercetak dengan huruf berukuran kecil, ada ribuan nama dan nomor yang harus dipelototi satu per satu. Â Dua menit kemudian terbit seulas senyum di bibirnya, dan terus melebar sampai akhirnya berteriak keras, sehingga menimbulkan kerut di jidat mamang pemilik tambal ban yang terlompat dari duduknya..Â
 ..
November, 1993 pagi. Â Akhirnya setelah melewati drama di rumah karena tak memberitahu perihal kuliah yang ingin ditempuhnya, Dan tentu saja dia memenangkan argumentasinya. Â Abah & mamanya akhirnya cuma bisa pasrah dengan tekatnya, dan mengantarkannya sampai pelabuhan di kotanya subuh sehari sebelumnya, hingga akhirnya kakinya menapak di Tanjung Perak setelah terombang ambing lebih 24 jam akibat cuaca buruk, musim hujan memenuhi jadwalnya rupanya.
Bis kota yang ditunggunya setengah jam akhirnya datang, dan akhirnya meninggalkan hidup pikuk di pelabuhan, menuju Bungurasih, untuk nantinya berganti dengan bis antar kota ke Jogja. Â Rute yang sudah dihapalnya sejak seminggu yang lalu. Â Rassta senyum-senyum sendiri membayangkan perjalanan beberapa jam ke depan.Â
Padahal tulisan Purabaya jelas dan besar-besar tertulis di gerbang, tali tetap saja disebutnya Bungurasih. Â Rassta sempat memastikan dirinya tak salah terminal kepada kenek.
Baru saja duduk di baris ketiga dari belakang, dekat jendela. Â Beberapa pedagang menawarkan bermacam-macam jualan, dari gunting kuku sampai permen jahe. Â Diletakkan begitu saja di dekat bangku dan di atas ransel yang dipangkunya. Â Membingungkan sekali, tapi setelah penjual ketiga mengambil barang jualannya kembali, akhirnya dia memahami mekanisme jualannya.