Mohon tunggu...
Razan Tata
Razan Tata Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Hanya seorang pria yang suka menulis banyak hal :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gejolak

16 Januari 2016   09:08 Diperbarui: 16 Januari 2016   10:50 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Cantik sekali. Rambut panjangnya yang hitam gelap dibiarkan terurai. Sinar matahari sore menerpa wajahnya lembut, menambah keanggunan goresan wajahnya. Sesekali dia menyeruput cappuccinonya pelan. Ah… siapa sangka ternyata wanita, mentari sore, dan kopi memiliki perpaduan keindahan yang begitu menyihir.

            Ingin sekali Ari menghampirinya, tapi entah kenapa dia menjadi gugup. Mendadak dia bingung akan mengatakan apa jika sudah di hadapan wanita itu. Diseruput Kopi Torajanya yang mulai dingin. Dan sudah diputuskan dia akan menunggu saja, sampai ada keberanian baru akan menghampirinya.

                                                                       

                                                                      * * *

 

            Semua siswa SMA Kencana bersuka cita, pasalnya pagi itu adalah pengumuman kelulusan mereka. Dan seperti tahun sebelumnya, SMA Kencana berhasil meluluskan semua siswanya. Tak pelak, lapangan sekolah pun dipenuhi dengan seragam yang dicoret-coret. Larangan dari Depdiknas hanya seperti angin lalu. Pihak sekolah pun tidak ingin merusak kebahagiaan mereka.

            “Ri, tanda tangan baju gue dong!” Bagas memberikan spidol warna birunya kepada sahabatnya itu. Dia membalikkan badannya.

            “From Ari, sahabat loe tercinta.”

            “Aseeem! Pake kata-kata tercinta lagi tu.”

            “Emang mau pake kata apalagi. Itu dah yang paling cocok.” kata Ari sambil tertawa. Dia mengembalikan spidolnya kepada Bagas.

            “Sahabat teraneh kek, sahabat terjelek kek. Gue bukan gay kali pake cinta-cintaan.” Ari kembali tertawa melihat respon sahabatnya itu

            “Tapi apapun itu, gue bakalan rindu sama loe ni, sob.” kata Ari.

            “Tenang aja, bro. Walaupun gue kuliah di Medan, gue, loe sama anak-anak tetap bisa kontak-kontakan kok.”

            “Oh ya, Arya, Fandi, sama Jaka mana ya?” Ari dan Bagas mengedarkan pandangan mencari ketiga sahabatnya itu. Ternyata mereka sedang menggoda Siska, anggota cheerleader terseksi di SMA Kencana.

            “Emang dasar tu anak bertiga.” Bagas geleng-geleng kepala. Dia melambaikan tangan. Fandi melihatnya. Dia pun mengajak Arya dan Jaka untuk menghampirinya.

            “Kasian kali Siska kalian gangguin terus.” kata Bagas.

            “Siapa yang gangguin? Tu liat Siska mukanya senyum-senyum aja.” Tapi yang terlihat ternyata berbeda. Ketika Siska memandang ke arah mereka, Siska memasang wajah jengkel.

            “Apanya yang senyum-senyum?”

            “Pura-pura aja dia tu.” sahut Jaka meyakinkan. Ari sama Bagas geleng-geleng kepala. Tapi itulah yang membuat persahabatan mereka menjadi lebih hidup, kelakuan Arya, Fandi dan Jaka melengkapi sifat Ari dan Bagas yang lebih kalem. Mereka pun saling bertukar tanda tangan atau tanda apapun di masing-masing seragam mereka.

            “Oh ya, kalian ada liat Nanda nggak?“

“Nanda tadi gue liat ada di lapangan basket.” sahut Arya.

            “Oke, gue ke sana dulu ya.”

            Ari bergegas mencari pacar yang sangat disayanginya itu dalam 3 tahun ini. Dilihatnya Nanda lagi sama teman-temannya di lapangan basket, tampak dia sedang memberikan tanda tangan di belakang seragam salah satu temannya. Begitu selesai, dia melihat Ari, dan segera Nanda berpamitan dengan teman-temannya untuk menghampiri pacarnya itu.

            “Selamat ya Panda udah dapat nilai tertinggi di sekolah.” puji Ari sambil tidak lupa mengucapkan panggilan sayangnya kepada Nanda.

            “Makasih ya, beb.”

            “Jadi kamu udah fix ni ninggalin Ari di sini?”

            “Bukan ninggalin kok sayang, kita kan tetap bisa saling berkirim pesan juga skype-an.”

            “Kamu kenapa gak kuliah di sini aja?”

            “Ya mau gimana lagi, papa dan mama maunya aku ngelanjutin kuliah di Jerman.”

            “Aku bakalan kangen berat sama kamu, Panda.” Ari mengelus pipi Nanda sebelum kemudian memegang tangannya.

            “Aku juga, bakalan kangen seberat-beratnya sama kamu, beb.” suara Nanda bergetar. Matanya mulai memerah.

            “Udah…udah…jangan nangis, kita kan harusnya senang-senang merayakan kelulusan kita.” Ari langsung memeluk pacarnya itu. Nanda balas memeluknya erat.

 

                                                                    * * *

 

             Hari yang ditunggu tapi juga tidak diharapkan datang. Bandara Soekarno-Hatta tampak padat pagi itu. Ada 2 anak berumur kira-kira 8 tahun berjalan sambil membawa ransel di punggungnya, sesekali mereka bertanya pada ayah dan ibunya kapan pesawat mereka akan terbang. Ada juga seorang pria tua berdiri sambil memandang ke arah pintu kedatangan. Berulang kali dia menggerak-gerakkan kakinya. Dia memegang sebuah tulisan di dadanya, “ANAKKU, ANDI!”

             “Panda, kamu baik-baik ya di Jerman. Jangan tergoda sama pria bule di sana walaupun lebih ganteng dan tinggi daripada aku.” Ari berusaha bercanda. Dia menahan air matanya jangan sampai jatuh.

             “Tenang aja, beb. Bagi aku, kamu itu adalah pria terganteng, tergagah, terbaik, pokoknya ter ter ter deh.” senyum Nanda kepada kekasihnya itu.

             Nanda melihat jam tangannya yang berwarna putih, kado dari Ari pada ulang tahunnya yang ke-16. Jarum mungilnya menunjuk ke arah angka 10. Dia harus segera check in.

             “Beb, kamu jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa jadwal kita untuk skype-an.” mereka berpelukan untuk yang terakhir kalinya. Nanda pun segera masuk meninggalkan Ari, dan tak lupa dia melambaikan tangan kepada orang tuanya.

 

                                                                    * * *

 

             Hubungan Ari dan Nanda pun berjalan lancar seperti yang diharapkan. Mereka saling mengirim pesan, dan tentunya juga skype-an, walaupun Jerman dan Indonesia memiliki perbedaan waktu 5 jam. Bisa dikatakan selama satu tahun pertama, mereka mampu melewatinya dengan baik. Apalagi ketika Nanda pulang ke Indonesia untuk liburan, mereka sering menghabiskan waktu bersama melebihi ketika mereka dulu pacaran pas SMA.

             Tapi memasuki tahun kedua tanda-tanda gejolak mulai muncul. Perbedaan waktu yang awalnya tidak menjadi masalah, ternyata menjadi pemicunya. Ari tidak muncul di skype pada waktu yang dijanjikan. Nanda sudah menunggunya dari jam 5 sore, tapi dua jam menunggu, Ari tidak muncul-muncul juga. Perasaan Nanda campur aduk. Dia sangat gelisah karena pacarnya itu tidak memberikan kabar sampai malam hari. Nanda pun sampai tidak bisa tidur. Dan bisa ditebak keesokan paginya, penampilan dan moodnya sangat berantakan.

            “Maaf ya Panda…Ari ketiduran semalam…” Nanda tidak membalas emailnya Ari. Email dari pacarnya itu terus masuk ke HP nya selama dia di kampus.

            “Panda…maafin Ari. Ari benar-benar minta maaf. Ari janji malam ini bakalan on-skype.” Nanda tetap tidak bergeming untuk membalasnya ketika dia sedang berada di metro, pulang menuju apartemennya.

             Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Ini sudah waktunya Nanda menghadap laptopnya untuk skype-an dengan Ari, tapi dia tidak calling duluan, dia menunggu Ari. Tapi sampai satu jam, pacarnya itu tidak juga online. Dada Nanda kembali sesak. Lebih sesak dari kemarin. Kemana Ari? Kemana pacarnya itu? Tiba-tiba ada email masuk. Dari Ari. “Maaf Panda. Ari nggak bisa on-skype lagi malam ini. Ari lagi ngerjain tugas di rumah teman. Daritadi udah berusaha mencari waktu untuk skype-an, tapi nggak bisa. Maafin Ari ya, Panda.”

             Nanda memejamkan mata. Perlahan air mengalir di kedua sudut matanya.

 

                                                                  * * *

 

             Semenjak kejadian itu, hubungan mereka sudah tidak lagi sama. Rasa percaya Nanda kepada Ari mulai berkurang. Padahal di satu sisi Ari tidak pernah mengkhianatinya, Ari jujur ketika dia tidak on-skype karena ketiduran maupun sedang mengerjakan tugas. Tapi bagaimana mungkin Nanda tahu akan hal itu.

             Di tahun kedua ini, hubungan mereka mulai goyah, ternyata LDR tidak semudah yang mereka harapkan. Nanda pun tidak pulang di liburan tahun ini, karena orang tuanya mengunjunginya ke Jerman dan liburan di sana. Ari pun jadi tidak bisa menjelaskan semua alasannya secara langsung.

              Dan entah kenapa, seiring waktu, memasuki tahun ketiga, Ari dan Nanda sudah ragu dengan hubungan yang mereka jalani. Perlahan komunikasi mereka tidak sesering dulu. Selain karena jadwal kuliah yang padat, mereka juga lelah jika setiap waktu harus memberikan kabar tanpa bisa melihat langsung pasangan mereka. Hubungan kedua sejoli ini pun sudah bisa dikatakan “putus”, tanpa salah satu di antara mereka mengatakannya.

 

                                                                    * * *

             

              Kerjaan di kantor membuat tenaga Ari terkuras. Sebagai direktur di sebuah perusahaan telekomunikasi ternama, membuatnya harus bekerja ekstra agar perusahaan itu selalu berada di nomor satu se-Indonesia. Hanya ada satu hal yang bisa merelaksasikan tenaga dan pikirannya saat ini, apalagi kalau bukan duduk santai di coffeshop sambil menyesap secangkir Kopi Toraja favoritnya. Memikirkan itu, Ari pun segera mengemaskan barang-barangnya, dan bergegas menuju ke coffeshop yang tak jauh dari kantornya.

              “Mau pesan apa, mas?”

              “Kopi Toraja, mbak.”

              10 menit kemudian kopinya tiba. Dia menghirup aromanya dan tersenyum, diseruput kopinya pelan. Matanya terpejam. Pahitnya kopi bercampur asam dan sedikit manis sangat memanjakan lidahnya.

              Coffeshop sore itu tidak terlalu ramai, tidak sampai 20 orang. Ada yang sendirian seperti dirinya, ada juga yang bersama temannya dan asyik mengobrol. Tiba-tiba Ari terkesiap. Lehernya menegang. Dia mengucek-ngucek matanya. Nanda! Dia melihat Nanda duduk sendirian di pojokan lurus di depannya, terpisah oleh 6 meja. Nanda tidak melihatnya karena posisinya yang menghadap jendela. Seandainya saja dia menoleh ke kanan, dia akan menyadari kehadiran Ari.

              Cantik. Panda semakin cantik. Ari termenung. Rasa rindu itu kembali membuncah. Sudah lama sekali. Ingin sekali dia menghampiri Pandanya. Tapi entah kenapa dia mendadak gugup. Dia bingung harus berkata apa jika sudah di depan Nanda. Keberaniannya masih belum terkumpul. Ketika pikiran dan perasaannya berkecamuk, ada sebuah pesan whatsapp masuk.

              “Sayang, kamu di mana? Aku udah pulang ni.”

              Ari tersadar ke dunia nyatanya. Dadanya sesak. Matanya memanas. Dia tersenyum getir.

              “Oke, sayang. Aku jemput sekarang ya.”

              Ari kembali menatap Pandanya. Dia menarik napas panjang, lalu pergi meninggalkan coffeshop langganannya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun