Bau anyir darah membanjiri seluruh tanah desa. Potongan kepala dan serpihan anggota tubuh berserakan tanpa terkecuali pria, wanita, anak anak dan bayi. Seluruh penduduk desa terbantai mati.
Sekitar jam 5 pagi langit masih gelap, Ferdi tidak lagi merasakan demam kemudian mereka sepakat untuk segera keluar dusun untuk meninggalkan desa dengan mengendap endap. Mereka juga terpaksa harus melangkahi beberapa mayat dan menginjak tanah yang masih tercecer darah para korban pembantaian.
Ketika mereka sedang berlari, mereka bertemu dengan sekelompok petani yang akan ke sawah. “pak tolong...... tolong kami pak...... tolong pak”.
Para petani pun berhenti dan segera menghampiri mereka.
“ada apa nak ?” tanya salah satu petani.
“di sana ada pembantaian, pak, di Desa Mawar terjadi pembantaian tadi malam, pak. Kami menyaksikan para perusuh membantai seluruh penduduk desa”. “Tolong panggil Polisi, pak…..tolong panggil Polisi, pak” dengan napas terengah engah dan gemetar suara Kardi dan Mulya saling bergantian.
“tenang, nak, tenang. Nama saya Pak Sukijan dan saya Kepala Desa ini” kata petani tersebut. “mari kita lihat kondisi di sana” sambung Pak Sukijan sambil mengajak para petani lainnya untuk bersama sama pergi ke Desa Mawar yang letaknya kurang dari 2 Km itu.
Setiba di sana, masih berdiri tegak batu pembatas desa yang bertuliskan “Desa Mawar – Gunung Kidul”, namun mereka tidak melihat sama sekali adanya 1 dusunpun bahkan tidak ada mayat atau tetesan darah yang tercecer di tanah.
Yang tampak hanyalah belasan gundukan tanah kuburan dengan papan seadanya yang sudah usang, dan salah satunya tertulis nama Siti Saijah (nek Ijah).
Pak Sukijan menengok ke arah wajah ketiga pemuda ini yang sejak tadi tidak berkedip memandangi apa yang ada di hadapan mereka dengan mulut menganga.
“Penduduk desa ini ramah ramah dan selalu melindungi para pejuang kemerdekaan” kata Pak Sukijan memulai ceritanya.