Mohon tunggu...
Rasyiq Arif Buamona
Rasyiq Arif Buamona Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mantan mahasiswa

Mencoba produktif

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Proxy War: Strategi Perang Andalan Negara Besar

6 Agustus 2023   13:24 Diperbarui: 6 Agustus 2023   13:24 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahukah kamu, apa itu proxy war atau perang proxy?

Proxy war adalah istilah yang mulai populer semenjak berakhirnya perang dunia kedua dan dimulainya perang dingin. Secara bahasa, proxy didefinisikan sebagai wakil atau kaki tangan. 

Jadi, dapat kita artikan bahwa proxy war merupakan peperangan yang dilakukan tidak secara langsung, akan tetapi dengan melibatkan 'kaki tangan' atau perwakilan dari pihak-pihak yang sedang berseteru.

Layaknya perang pada umumnya, proxy war merupakan sebuah bentuk intervensi militer, suatu usaha untuk mempengaruhi urusan negara lain melalui ancaman maupun kekerasan. 

Perbedaannya adalah proxy war dilakukan oleh aktor negara dengan menggunakan aktor lokal di negara target yang pada umumnya adalah indigenous group -- istilah untuk penduduk asli yang telah menempati sebuah wilayah -- guna menghindari penggunaan kekuatan militer miliknya sendiri untuk terlibat dalam pertempuran.

Negara yang menggunakan proxy sebagai perwakilannya dalam sebuah perang dikenal dengan istilah negara sponsor. Relasi kekuatan antara kelompok yang menjadi proxy dengan sponsornya lazimnya bersifat asimetris, di mana negara sponsor biasanya lebih kuat secara militer dan ekonomi dibandingkan dengan proxy-nya dan memiliki status yang lebih tinggi dalam sistem internasional. 

Hubungan yang bersifat hierarkis ini menyebabkan proxy cenderung menundukkan kepentingannya terhadap kepentingan negara sponsor karena ketidakmampuannya untuk bertindak sendiri. Meskipun demikian, hal tersebut tidak serta merta diartikan bahwa proxy bertindak sepenuhnya untuk memenuhi kepentingan negara sponsor.

Proxy bisa saja mampu untuk mengejar kepentingannya tanpa dukungan dari negara sponsor. Hanya saja terkadang proxy ingin mengambil keuntungan dari bantuan material yang diberikan oleh negara sponsor. Terlebih lagi apabila kepentingan negara sponsor sejalan dengan kepentingan yang hendak diraihnya.

Setidaknya ada lima alasan yang mendorong sebuah negara untuk menggunakan proxy dalam mengejar kepentingannya di negara lain. Pertama, tidak adanya kepentingan vital yang dipertaruhkan untuk membenarkan intervensi militer secara langsung. Kedua, risiko dari intervensi militer secara langsung dianggap terlalu tinggi. 

Ketiga, dengan menggunakan proxy, krisis dapat ditangani dengan lebih baik untuk menghindari intervensi militer. Keempat, tidak adanya legitimasi eksternal maupun internal untuk melakukan intervensi militer. Kelima, proxy menawarkan kemungkinan untuk mencapai banyak tujuan serta memiliki risiko ekonomi dan politik yang cenderung kecil.

Salah satu kelebihan atau keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan proxy adalah keterlibatan sebuah negara dalam peperangan sukar untuk dideteksi karena biasanya pemberian bantuan terhadap proxy dilakukan secara diam-diam sehingga sulit untuk memperoleh bukti-bukti yang dapat diverifikasi bahwa ada hubungan keterlibatan pihak eksternal dalam sebuah konflik.

Sedangkan kelemahan dalam penggunaan proxy dalam sebuah peperangan salah satunya adalah proxy bisa saja membelot dan bertindak di luar kesepakatan awal dengan negara sponsor.

Beberapa contoh real dari penggunaan proxy dalam peperangan adalah dalam konflik Iran dan Arab Saudi yang juga dikenal dengan perseteruan Sunni dan Syiah yang bermula ketika terjadinya Revolusi Islam Iran pada 1979 yang dipimpin oleh seorang Imam Syiah, Ayatollah Khomeini. 

Pemerintah Saudi yang beraliran Sunni khawatir bahwa Iran akan mengekspor nilai-nilai revolusinya dan membangkitkan perlawanan rakyat untuk menggulingkan raja Saudi seperti halnya yang terjadi pada rezim Shah Reza Pahlevi di Iran. Dalam memperjuangkan tercapainya kepentingannya ini, kedua negara kemudian menjadikan pihak-pihak yang sedang berseteru di negara-negara Timur Tengah lain yang lebih kecil sebagai 'pion' mereka.

Yaman, adalah salah satu negara konflik yang menjadi arena pertempuran kepentingan kedua negara superpower di Kawasan Timur Tengah tersebut. Yaman sendiri dihuni oleh 65% Islam Sunni dan sisanya beraliran Syiah. 

Konflik di Yaman meletus ketika terjadi ketika terjadinya peristiwa Arab Spring pada tahun 2011. Masyarakat Yaman melakukan protes terhadap Presiden Ali Abdullah Saleh yang beraliran Sunni dengan tuduhan melakukan korupsi dalam pemerintahan. Protes paling besar dilakukan oleh kelompok pemberontak Syiah bernama Houthi, yang dipimpin oleh Abdul-Malik Al-Houthi.

Houthi yang memang telah terlibat peperangan dengan pemerintahan yang dipimpin Saleh selama bertahun-tahun dalam upayanya untuk mengambil alih kekuasaan di Yaman pada akhirnya berhasil menggulingkan Saleh yang digantikan oleh wakilnya, Abd-Rabbu Mansour Hadi yang juga beraliran Sunni pada November 2011.

Melihat tujuannya belum tercapai, Houthi tidak tinggal diam, mereka terus mengganggu jalannya pemerintahan dengan menduduki beberapa wilayah hingga berhasil menduduki ibukota Yaman, Sana'a dan mulai bergerak menuju Aden, tempat dimana Hadi berada. Hadi kemudian melarikan diri ke Arab Saudi setelah Houthi berhasil menduduki bandara Aden.

Kemajuan Houthi dipandang sebagai sebuah ancaman untuk Saudi karena mereka meyakini bahwa Houthi didukung oleh Iran. Dugaan ini diperkuat oleh bukti bahwa senjata yang digunakan Houthi untuk menyerang fasilitas minyak Saudi merupakan senjata produksi Iran. Iran sendiri mengakui bahwa mereka mendukung Houthi dalam upayanya menguasai Yaman namun mereka mengingkari keterlibatannya secara militer.

Saudi kemudian mulai melakukan blokade laut dan udara terhadap Yaman, yang dilanjutkan dengan melakukan intervensi militer bersama negara-negara koalisinya pada tahun 2015 dengan melakukan serangan udara untuk mencegah Houthi yang berupaya mengambil alih pemerintahan. Dukungan yang diberikan Saudi kepada pemerintahan Hadi ini dikarenakan Saudi ingin memastikan bahwa Yaman yang berbatasan langsung dengannya diperintah oleh pemerintahan yang beraliran Sunni.

Contoh lain dari proxy war adalah keterlibatan Amerika Serikat dan Rusia dalam konflik internal Ukraina pada tahun 2014 antara pemerintah Ukraina melawan kelompok separatis di wilayah Timur Ukraina seperti di Donetsk dan Luhansk. 

Pada saat itu, Rusia mendukung dan mempersenjatai kelompok pemberontak pro-Rusia tersebut untuk mendeklarasikan kemerdekaannya dan memisahkan diri dari Ukraina, sedangkan Amerika Serikat mendukung pemerintah Ukraina untuk menumpas para pemberontak tersebut.

Dua contoh di atas memberikan gambaran bagaimana negara-negara besar yang enggan terlibat secara langsung dalam peperangan menggunakan 'pion' dalam memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara menyokong proxy-nya masing-masing baik melalui bantuan dana maupun persenjataan.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah, proxy war merupakan sebuah tool yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam melakukan intervensi ke dalam urusan negara lain secara sembunyi-sembunyi untuk menjaga citra negara sponsor dan menghindari masalah dalam politik internasional. Oleh karena itu, proxy war sering digunakan negara-negara besar sebagai solusi yang ampuh untuk mencapai kepentingan mereka di negara lain tanpa harus mengotori tangan mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun