"Tapi pasti mahal, Mbak," sahut Tini.
"Iya, tapi kualitasnya bagus."
   Dengan sedikit berat, esoknya Tini merogoh tabungannya untuk mengajak bapaknya ke rumah sakit yang kebanyakan pasiennya datang menggunakan mobil. Pintu masuknya dibukakan oleh seorang pria, wajah penerima pasiennya sangat ramah tapi biaya pendaftarannya sepuluh kali dari biaya puskesmas.
"Bapak, sakit apa?" Tanya dokter berusia setengah baya.
   Tini menceritakan semua keluhannya. Dokter mengangguk-anggukan kepalanya, kemudian memberi penjelasan kepada Tini bahwa bapaknya menderita penyakit yang semakin lama menurunkan fungsi otak dan daya ingat bapaknya. Demensia Alzheimer. Dokter menyebutkan nama penyakit yang asing dan tak pernah didengar gadis yang hanya bekerja sebagai pelayan rumah makan. Kemudian dokter menulis resep dan menyerahkan kepada Tini. Di apotik, Tini tercengang-cengang melihat tagihan obat yang jumlahnya membuat ia tak percaya. Kali ini jumlahnya sekitar lima puluh kali lipat biaya di puskesmas. Tapi apa boleh buat, demi kebaikannya bapaknya.
   Kota Jakarta menjadi semakin kejam bagi Tini, apalagi sejak ia kehilangan ibunya dan merawat bapaknya sungguh menyiksa. Hari demi hari setelah pulang dari rumah sakit kaum berduit itu Kasno memang terlihat sedikit lebih baik, meski belum ada perubahan yang sangat besar pada diri Kasno setelah menelan tablet-tablet yang harganya sungguh  membuat Tini harus hidup lebih irit. Bapaknya memang menjadi lebih mudah diatur, karena dapat tidur lebih awal, tidak seperti malam-malam silam dimana bapaknya sulit memejamkan mata. Bapaknya pun agak lebih mudah diajak bicara dan tidak salah bicara.
   Kesetiaan Kasno pada mendiang ibu mereka telah menggoreskan pelajaran setia juga pada Tini dan Tono dalam merawat pria tua yang telah berjasa dalam hidup mereka. Tapi untuk membawa bapaknya kembali ke dokter atau membeli obat yang diresepkan dokter rasanya tidak mungkin, karena untuk makan sehari-hari saja mereka harus berhemat. Belum lagi biaya berbagai tagihan-tagihan yang harus dilunasi kedua kakak beradik ini. Alhasil, keputusan membawa bapak mereka ke dokter pun harus ditunda.
   Hari terus berganti membawa ingatan Tini pada pria lanjut usia yang sangat ia rindukan. Penantian dan usaha pencariannya belum jua membuahkan hasil yang menggembirakan. Hanya foto-foto dan kenangan indah orangtuanya yang dapat mengusir kerinduan di hatinya.Â
Drrrrrttt.....drrrrrrrrtttt
Tiba-tiba telepon seluler Tini bergetar sangat lama. Sebuah panggilan masuk dari nomer yang dikenalnya.
"Bulek Parti Kebumen," gumam Tini. Tanpa pikir panjang Tini segera menekan tombol penjawab panggilan.