Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pernikahan | Cerpen Banyu Biru

1 Juni 2024   13:09 Diperbarui: 8 Juni 2024   19:03 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diedit menggunakan Canva

Namaku Ana. Kenapa harus kuberitahu? Karena memang itu perlu supaya perempuan di luar sana tidak merasakan apa yang aku rasakan. Atau jika ada yang sudah telanjur, kau tahu kamu tidak sendirian. Sekali lagi, aku Ana dan aku mau bilang, 'persetan dengan cinta, suami dan pernikahan'.

Kuakui Herman Tan bukan orang biasa. Dia keluarga terpandang. Orang-orang semakin mengagumi Herman karena dipandang rendah hati, sedangkan aku adalah perempuan murahan yang mengincar kekayaan Herman. Aku tidak masalah dengan itu. Aku dan Herman sepakat untuk mengabaikan cibiran itu walaupun yang lebih sering makan hati adalah aku. Tapi, aku tidak menyangka perjalanan cintaku akan serumit ini.

"Loh, kemana cewek sialan itu?"

"Nggak tahu. Jangan-jangan dia sadar kalau kita ngikutin dia."

"Apa kubilang, harusnya kita langsung sergap aja tadi. Lu sih, sok-sokan."

"Heh, lu yang goblok. Kalau kita tangkap dari tadi, yang ada kita juga ikut ditangkap warga, Rud. Lu mau mati digebukin warga."

"Ya... gimana, kalau orangnya ngilang gini, kita bilang apa ke Bos Ali?

Aku mengenal pria yang dipanggil 'Rud' itu. Itu Om Rudi. Orang kepercayaan Om Ali. Dia orang paling ramah di rumah Om Ali bahkan sering duduk bersama di pendopo taman sambil menikmati teh di gazebo orang kaya itu. Dalam situasi yang genting ini, aku hanya ingat obrolan tentang kematian dari banyaknya bahan obrolan seru lainnya. Mungkin karena kematianku sudah semakin dekat.

"Nak Ana, kira-kira kalau kita mati, kita kemana ya?"

Itu pertanyaan berat. Dari pertanyaan yang cukup serius itu, aku bisa merasakan Om Ali sebenarnya sedang mengujiku. Ia tahu aku dan Herman sama-sama kuliah di universitas yang juga menekankan nilai-nilai agama. Aku melirik Herman. Ia bisa menangkap maksudku sehingga mengambil alih untuk menjawab.

"Kalau Om sendiri, gimana dulu, Om?" tanya Herman.

Om Ali menyipitkan mata, menunjuk-nunjuk pada Herman, "Ini nih, tipe-tipe orang yang katanya berpendidikan. Orang kita yang nanya, malah ditanya balik."

Herman terkekeh, "Ya, nggak gitu, Om. Kita cuma pengen tahu sudut pandang Om Rudi dulu."

Dengan berlagak percaya diri dan yakin sepenuhnya, Om Rudi menjawab, "Ya kalau udah mati, ya mati aja. Enggak ada apa-apa lagi. Semuanya stop, udah gitu aja."

Mendengar jawaban itu aku dan Herman mengalih pembicaraan. Perbedaan pandangan yang akan kami bahas selanjutnya akan membutuhkan waktu yang panjang karena hal ini sudah berkaitan dengan perspektif dan keyakinan. Herman hanya mengatakan bahwa apa yang ia yakini cukup berbeda dengan Om Rudi.

Baca juga: Penunggu Sekolah

Sekarang, alasaan itukah yang mendorong Om Rudi tidak ambil pusing untuk menghabisi nyawaku?  Tapi kalau benar, seharusnya ia mengutuk Om Ali dan istrinya, atau Om Rudi juga bisa tertawa sepuas-puasnya karena majikannya masih percaya adanya kehidupan setelah kematian bahkan di sana aka nada pernikahan dan melanjutkan keturunan. Kalau memang tidak ada kehidupan setelah kematian, harusnya Om Rudi tidak perlu buang-buang tenaga untuk melakukan ini. Bukankah pekerjaannya sia-sia belaka? Tapi...bagaimanapun, posisi Om Rudi tetap menguntungkan, ia bisa menertawakan majikannya karena orang sekaya itu percaya tradisi yang kolot atau menertawakanku karena telanjur terlibat di dalam keluarga ini atas nama cinta.

"Cewek goblok. Ngumpet kok enggak pake otak."

Aku melonjak kaget. Teman Om Rudi menyibak tanaman tempatku bersembunyi. Rupanya aku terlalu sibuk dengan pikiranku sehingga tidak menyadari bahwa laki-laki itu sudah mengamati sedari tadi. Ia menyambar rambutku dan menyeretku keluar. Kenapa taman ini harus sesepi ini, biasanya kalaupun malam, banyak kendaraan yang lewat.

Laki-laki itu menggiringku dengan kasar kepada Om Rudi. Om Rudi tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap sebentar dengan cara menatap yang tidak bisa kuartikan.

"Ko Ali pasti puas dengan kerja kita. Kita habisi sekarang atau bagaimana?" tanya laki-laki itu bersemangat.

"Jangan gegabah. Koh Ali lebih paham membunuh dengan cantik dari pada kita. Kita bawa saja ke rumah sakit."

"Tapi kita bisa bantu meringakan kerjaan Bos."

Om Rudi menggeplak kepala temannya itu, "Goblok. Perempuan ini enggak boleh lecet. Dia harus tetap bagus saat ritual."

Laki-laki itu tidak lagi membantah. Mobil melesat cepat dan tiba di rumah sakit. Area parkir sepi tanpa lalu lalang. Hal yang wajar karena ini hampir tengah malam. Aku dibawa dengan keadaan kaki dan tangaan terikat serta mulutku disumpal kain yang entah bekas apa, bau busuknya membuatku ingin muntah. Aku terus meronta, tetapi gengaman mereka sangat kuat. Aku dibawa melewati ruang rawat jalan dan sentral oksigen, kemudian memasuki bangunan bertuliskan 'Gudang Umum'.

Ternya di sana Om Ali dan Tante Meylin sudah Bersiap. Om Rudi dan tenmannya terengah-engah sehingga mereka menjatuhkanku begitu saja setelah berada di ruangan berarOma obat-obatan khas rumah sakit.

"Ini, Ko," kata teman Om Rudi dengan tersengal.

Om Ali dan istrinya tersenyum. Aku melihatnya lebih kepada menyeringai. Mata sipit keduanya tampak menyeramkan dari pada menggemaskan seperti mata yang dimiliki Herman.

"Baringkan dia," perintah Om Ali.

Om Rudi dan temannya dengan tubuh yang masih berat, berusaha mengangkatku ke ranjang operasi. Entah apa yang akan mereka lakukan yang pasti lampu operasi ini begitu menyilaukan. Om Ali dan istrinya di balik busana siap operasi menambah kengerian ruangan ini. Katanya reputasi Om Ali sebagai dokter bedah dan Tante Meylin sebagi dokter anestasi sangat bagus di sini, tetapi kali pertama melihat mereka melakukan tugas dengan mempraktikkannya langsung menggunakan tubuhku, aku sepenuhnya ragu.

"Mah!" Om Ali menganggukkan kepala. Tante Meylin menangkap kode tersebut.

Tante Meylin terlihat seperti meracik cairan yang kalau adegan di film-film berarti obat bius. Om Ali membalikkan tubuhku dengan kasar. Om Rudi dan temannya juga turut membantu memegangi kaki dan tanganku. Aku merasa ngeri dengan pemaksaan ini sehingga badanku terasa dingin. Aku meronta sejadi-jadinya walau aku tak bisa menandingi tenaga ketiga pria dewasa tersebut.

Aku merasakan kain dipunggungku tersibak. Rupanya tante Meylin akan menyuntikkan cairan itu dari punggungku atau mungkin ruas-ruas tulang belakang. Jarum itu memberi sensasi kesemutan sebentar dan kemudian aku dikembalikan ke posisi semula. Om Rudi dan temannya langsung beinisiatif mengikat kedua kaki dan tanganku pada sisi-sisi ranjang menunggu cairan itu bekerja.

Beberapa menit kemudian, mataku mulai terasa berat, cahaya lampu mulai samar. Untuk beberapa saat aku diliputi kegelapan tapi tak lama setelahnya tubuhku terasa semakin ringan, seperti  tidak ada beban. Aku seperti angin yang siap berembus. Kubuka mataku. Aku masih di ruangan yang sama. Hanya pemandangan bikin mual terpampang nyata tepat di depan mataku. Om Ali tengah mengacak-acak tubuhku. Hati, jantung, ginjal oh semua organ dalamku tidak lagi menempel di dalam tubuhku melainkan di dalam wadah berisi es.

"Herman pasti bahagia ya, Pah. Sebentar lagi Herman dan Ana akan hidup selamanya di sana," lirih Tante Meylin.

"Semoga ya, Mah. Segera kita akan langsungkan prosesi minghun segera setelah kita selesaikan ini."

"Rud, Lim, tolong bantu bereskan bentar, jangan sampai ada jejak," perintah Om Ali.

Baca juga: Gadis Bermata Cokelat

***

 Herman Tan, seperti biasa, ia tetap menawan sekalipun sudah tak bernyawa. Berbeda dengan diriku yang terlihat menyedihkan dan menjijikkan sekalipun dibalut dengan gaun pengantin. Riasan wajah dan lipstik yang kukenakan tidak bisa melunnturkan muka pucat mayat itu. Sepasang pengantin tengah berbaring Bersama di dalam peti sebelum dibaringkan di liang persegi yang sudah disiapkan.

Aku marah. Benar-benar marah. Aku mencintai Herman, tetapi bukan berarti aku harus merelakan nyawaku untuk ritual bodoh ini. Bukankah normal jika harus membahas kesintingan keluarga ini sebelum aku telanjur masuk lebih jauh? Aku tidak bersalah seperti dugaan Om Ali dan tante Meylin. Kecelakaan yang dialami Herman tidak ada sangkut pautnya denganku.

Aku mungkin akan memaafkan kalau Herman bohong tentang hal lain. Aku hanya tidak menyangka selama ini Herman tidak terbuka tentang keluarganya. Saking cintanya aku kepada Herman, aku hampir menoleransi kalau calon mertuaku ini adalah broker untuk ritual pernikahan alam astral. Aku dan Herman paham bahwa sulit menghilangkan sesuatu kala itu sudah menjadi budaya. Masalahnya, ternyata aku dan Herman tak sepenuhnya sepemahaman. Sama seperti kedua orang tuanya, ia belum bisa lepas sepunuhnya dengan tradisi. Aku pun tak sudi menikah dengan mayat sekalipun itu adalah kekasihku sendiri.

Pernikahan memang sakral. Seperti yang aku percaya bahwa pernikahan akan menyatukan dua jiwa menjadi satu untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama. Walau ternyata itu tidak berlaku untukku. Lihatlah, sekarang aku adalah jiwa yang merana. Pernikahan yang kujalani adalah malapetaka. Aku akan terjebak di dunia ini dan bergentayangan selamanya. Kalau benar ini adalah akibat mati perawan, apakah aku harus menunggu kematian pria lajang yang masih perjaka untuk menikahiku lagi? Lantas, akankah cara matinya turut mengenaskan sepertiku?

Namaku Ana, kenapa kuberitahu lagi? Karena aku sudah menjadi arwah yang merana. Aku mengutuk pernikahan sialan ini. Herman tidak ada di sini dan aku tidak merasakan kebahagiaan sedikit pun.

Jangan lewatkan: Nikmat Kematian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun