Aku merasakan kain dipunggungku tersibak. Rupanya tante Meylin akan menyuntikkan cairan itu dari punggungku atau mungkin ruas-ruas tulang belakang. Jarum itu memberi sensasi kesemutan sebentar dan kemudian aku dikembalikan ke posisi semula. Om Rudi dan temannya langsung beinisiatif mengikat kedua kaki dan tanganku pada sisi-sisi ranjang menunggu cairan itu bekerja.
Beberapa menit kemudian, mataku mulai terasa berat, cahaya lampu mulai samar. Untuk beberapa saat aku diliputi kegelapan tapi tak lama setelahnya tubuhku terasa semakin ringan, seperti  tidak ada beban. Aku seperti angin yang siap berembus. Kubuka mataku. Aku masih di ruangan yang sama. Hanya pemandangan bikin mual terpampang nyata tepat di depan mataku. Om Ali tengah mengacak-acak tubuhku. Hati, jantung, ginjal oh semua organ dalamku tidak lagi menempel di dalam tubuhku melainkan di dalam wadah berisi es.
"Herman pasti bahagia ya, Pah. Sebentar lagi Herman dan Ana akan hidup selamanya di sana," lirih Tante Meylin.
"Semoga ya, Mah. Segera kita akan langsungkan prosesi minghun segera setelah kita selesaikan ini."
"Rud, Lim, tolong bantu bereskan bentar, jangan sampai ada jejak," perintah Om Ali.
Baca juga: Gadis Bermata Cokelat
***
 Herman Tan, seperti biasa, ia tetap menawan sekalipun sudah tak bernyawa. Berbeda dengan diriku yang terlihat menyedihkan dan menjijikkan sekalipun dibalut dengan gaun pengantin. Riasan wajah dan lipstik yang kukenakan tidak bisa melunnturkan muka pucat mayat itu. Sepasang pengantin tengah berbaring Bersama di dalam peti sebelum dibaringkan di liang persegi yang sudah disiapkan.
Aku marah. Benar-benar marah. Aku mencintai Herman, tetapi bukan berarti aku harus merelakan nyawaku untuk ritual bodoh ini. Bukankah normal jika harus membahas kesintingan keluarga ini sebelum aku telanjur masuk lebih jauh? Aku tidak bersalah seperti dugaan Om Ali dan tante Meylin. Kecelakaan yang dialami Herman tidak ada sangkut pautnya denganku.
Aku mungkin akan memaafkan kalau Herman bohong tentang hal lain. Aku hanya tidak menyangka selama ini Herman tidak terbuka tentang keluarganya. Saking cintanya aku kepada Herman, aku hampir menoleransi kalau calon mertuaku ini adalah broker untuk ritual pernikahan alam astral. Aku dan Herman paham bahwa sulit menghilangkan sesuatu kala itu sudah menjadi budaya. Masalahnya, ternyata aku dan Herman tak sepenuhnya sepemahaman. Sama seperti kedua orang tuanya, ia belum bisa lepas sepunuhnya dengan tradisi. Aku pun tak sudi menikah dengan mayat sekalipun itu adalah kekasihku sendiri.
Pernikahan memang sakral. Seperti yang aku percaya bahwa pernikahan akan menyatukan dua jiwa menjadi satu untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama. Walau ternyata itu tidak berlaku untukku. Lihatlah, sekarang aku adalah jiwa yang merana. Pernikahan yang kujalani adalah malapetaka. Aku akan terjebak di dunia ini dan bergentayangan selamanya. Kalau benar ini adalah akibat mati perawan, apakah aku harus menunggu kematian pria lajang yang masih perjaka untuk menikahiku lagi? Lantas, akankah cara matinya turut mengenaskan sepertiku?
Namaku Ana, kenapa kuberitahu lagi? Karena aku sudah menjadi arwah yang merana. Aku mengutuk pernikahan sialan ini. Herman tidak ada di sini dan aku tidak merasakan kebahagiaan sedikit pun.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!