Lidahku tiba-tiba kelu. Pikiranku menentang suara itu, tetapi hatiku mengiyakan. Ya, kadang-kadang aku merasa begitu sekalipun Bu Nina selalu punya cara untuk menghiburku.
"Jadi bagaimana? Boleh kami bergabung?" ulang suara itu.
Aku menimbang-nimbang. Makhluk apa mereka ini, tentu aku tidak tahu. Namun, bagaimana jika aku sebenarnya tidak diberikan kesempatan memilih? Kalau dugaanku benar, berinteraksi dengan makhluk seperti ini selalu berujung petaka. Tak peduli jawabannya ya atau tidak, manusia selalu akan dirugikan. Nah, masalahnya, untuk kasusku, bukan aku yang mengusik mereka, melainkan sebaliknya.
"Kami berjanji, kami tidak akan membahayakanmu. Juga akan menghargai keputusanmu. Jika kau membutuhkan waktu berpikir, kami bersedia menunggu. Datanglah lagi Sabtu depan untuk memberikan kepastian."
Aku memutuskan tidak memberitahukan Bu Nina dulu tentang suara-suara di taman itu. Terakhir kali kami membicarakan tentang Karen pun, masih tersirat ketidakpercayaan di wajahnya. Namun, Aku sudah memikirkan dengan matang. Seminggu kemudian aku mendatangi mereka. Semoga keputusanku kali ini tidak salah. Jika makhluk yang berkomunikasi melalui embusan angin itu datang lagi, aku sudah punya jawabannya.
"Bagaimana, kau sudah memikirkannya?" semilir angin berembus di sela-sela rambut.
"Sudah," jawabku mantap. "Tapi aku perlu memastikan bahwa hubungan ini akan sama-sama menguntungkan, tidak akan merugikan atau menjebakku di dunia kalian."
"Oh, sepertinya kau sudah terpengaruh oleh ulah roh-roh jahat yang selalu berhasrat menggoda dan menyengsarakan kaummu."
"Kalian bukan golongan itu?" tanyaku.
"Tidak," jawab suara itu lembut.
Kuakui suara wanita di balik embusan angin itu sangat menenangkan. Itu yang membuatku yakin untuk menyatakan kesediaanku untuk berinteraksi dengan mereka. Di bayanganku, pemilik suara itu adalah orang yang manis, keibuan dan penuh kasih sayang.