"Mungkin ada warga yang iseng. Kita cek yok." Miko berlagak berani.
Kami mendahulukan Miko, yang dalam situasi ini menjadi andalan. Memang di antara seluruh anggota geng, Miko adalah yang paling pemberani. Kekurangannya hanya terlalu banyak bicara.
Selangkah lebih dekat dengan pintu pagar, tiba-tiba kabut tebal bergerak cepat menyelimuti seluruh gerbang. Miko sempat kaget. Ia menoleh ke arah kami dengan tatapan ragu. Kami hanya bisa mengangkat bahu. Kami sebenarnya penasaran sehingga kami membiarkan Miko menyalurkannya. Tangan Miko terulur dan perlahan lenyap ke dalam kabut. Miko tampak meraba-raba.
"Pintunya hilang, guys."
Aku dan tiga temanku saling pandang. Lewat sinyal mata itu, kami sepakat untuk menghampiri Miko.
"Masukin tangan kalian, deh. Nggak ada apa-apa. Coba, deh," tukasnya.
Kami manut. Benar kata Miko, seperti tidak apa-apa selain hawa dingin.
"Aku penasaran, kalian mau ikut masuk?" Miko menawarkan.
"Kita masuk atau keluar, nih?" guyon Ferdi, cowok paling pendek di antara kami berlima.
"Yah, masukin dulu baru ke luar," balas Oki, si otak mesum tapi paling rajin beribadah.
Saat Ferdi dan Oki mulai melebar kemana-mana, Miko langsung masuk tanpa aba-aba. Kami kaget. Kami memanggil-manggil Miko tetapi tidak ada yang menyahut. Kami mulai panik dan berusaha menghalau kabut itu dengan mengibas-ngibasnya. Bagai membelah air, usaha kami sia-sia.
"Woi. Kaliang ngapain? Sini, gue mau nunjukin sesuatu."
Kami tersentak. Secara refleks kami berbalik ke arah suara.