Gerbang yang berkarat itu menyambut kami. Tidak ada gembok atau pengaman lainnya. Ini seperti pertanda bahwa kami akan mendapatkan cerita dan pengalaman luar biasa. Menurut rumor yang beredar, setiap jam tujuh pagi akan terdengar bunyi lonceng. Layaknya sekolah pada umumnya, kadang-kadang juga terdengar riuh suara dari area sekolah. Â Ketika jam pulang, sekolah itu akan menjadi tempat uji nyali yang cukup bisa membuat bulu tengkuk berdiri. Menurut penuturan beberapa warga yang sempat kami tanyai, siapa pun yang masuk ke sekolah itu tidak akan pernah bisa kembali.
Kami ada enam orang waktu itu. Kami sengaja datang satu jam lebih pagi untuk memastikan kebenaran mengenai lonceng itu. Â Masalahnya, sekitar tengah tujuh pagi suasana berubah 180 derajat. Hawa dingin menyapu sekujur tubuh kami walau matahari pun sudah unjuk gigi. Beberapa kali aku juga merasa seakan-akan ada orang yang baru saja berjalan di dekat kami sebab jejak sepatu tercetak pada ubin koridor.
Kami tak saling bicara. Kami hanya terus terpaku pada jejak-jejak kaki sepatu yang tercetak jelas berwarna merah tanah terus bertambah pada ubin. Kami kemudian berjalan melewati koridor gerbang sehingga tampak halaman rumput yang luas yang dikelilingi oleh bangunan seperti bentuk U.
"Keren banget cuy. Kayaknya cocok nih kita camping di sini," ujar Oki kagum. Oki benar. Tempat ini bisa jadi tempat berkemah yang keren karena sekolah ini dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun. Pohon ketapang berjejer seakan membelah lapangan menjadi dua.
"Eh, ada orang." Miko menunjuk ke arah salah satu pohon.
"Mana?" tanyaku.
"Tadi ada, dia ngintip dari balik pohon sana. Tuh... tuh... kepalanya nongol lagi."
Kami tidak terlalu menggubris Miko.
"Katanya, nggak ada orang. Itu buktinya ada bocil." Miko menggerutu.
"Udah, kita...."Aku belum sempat menyelesaikan ucapanku. Kami tersentak. Pintu gerbang seperti ditutup dengan kasar. Kami menyaksikan tidak ada siapa-siapa.