Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Sepasang Mata di Kebun Karet

4 September 2022   14:31 Diperbarui: 4 September 2022   14:39 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayahku adalah pendongeng yang hebat. Kalau sudah bercerita, ayah begitu lihai mengubah suaranya. Suaranya bisa diatur menjadi suara berat penuh wibawa, suara melengking anak kecil atau suara wanita yang centil. Kemampuan itu membuat Ayah mendalami peran apa saja di dalam cerita. 

Kadang-kadang jadi mas-mas penjual sayur keliling, kadang jadi pejabat yang berwibawa, kadang juga jadi wanita karir yang tegas. Kalau sudah bercerita, Ayah seakan-akan lupa kalau dia adalah seorang penderes yang bekerja pada juragan karet bernama Pak Suri. Penderes yang harus siap menelan ludah kalau datang musim penghujan. Getah karet akan dengan senang hati meluap dari tempurung penampungannya. Kadang Ayah kena semprot amarah Pak Suri karena Ayah tidak sanggup menahan keluhan titik air pada awan yang manja untuk segera meluncur ke permukaan bumi.

Ayah dan Ibu bukan orang kaya, tetapi aku orang kaya. Kamarku adalah istanaku. Dalam kotak dua kali tiga meter persegi, aku menciptakan duniaku sendiri. Buku-buku menjadi tempat petualangan paling menyenangkan. Ayah dan Ibu memberikan aku jatah satu buku dalam sebulan. Kalau ada rejeki lebih, bisa jadi dua buku. Aku suka buku fiksi. Bagiku fiksi adalah jalan bercerita tentang fakta yang menyenangkan. 

Aku bisa menjadi pelaku utama, kadang hanya jadi pengamat. Namun, pada jam sembilan malam aku akan menjadi pendengar yang budiman untuk mendengarkan cerita dari pendongeng ulung hingga akhirnya aku memasuki dunia mimpi, duniaku yang lain.

Kesepian. Rasa itu seringkali menyergapku ketika berada di dalam kerumunan bocah-bocah seusiaku. Aku merasa berbeda dengan teman-teman sekelasku dan aku merasa kelas ini mengurungku dari duniaku sendiri. Saat guru mengajar, aku hanya bisa melihat gerak bibir mereka sedangkan suara mereka tak ubahnya seperti dengungan lebah. Otakku tidak bisa memproses informasi yang aku dengar. Aku hanya menunggu waktu pulang, masuk ke kamar dan aku bisa belajar dengan caraku sendiri. Sayangnya, jarum jam sepertinya ikut-ikutan mengejekku. Untuk melompat satu detik saja seakan sengaja diperlambat.

***

Sudah beberapa malam berlalu. Ayah sudah jarang menutup pintu kamarku saat aku sudah memasuki alam mimpi. Pintu kamar yang terbuka di pagi hari menandakan Ayah tidak masuk ke dalam kamar sama sekali. Ayah biasanya tidak pernah melewatkan ritualnya di kamarku.

Entah karena apa, mata Ayah menyiratkan sendu. Bibirnya jarang menunjukkan lengkungan bahkan saat mencium keningku sebelum berangkat ke sekolah. Wajah murung Ayah tentu saja mengganggu pikiranku, tetapi tidak ada keberanian untuk menanyakan sendiri kepada Ayah atau Ibu, lebih tepatnya aku takut membuang waktu mereka karena masalah orang dewasa masih sulit dicerna oleh otakku yang kecil ini.

"Ayah...," seruku girang saat melihat Ayah memasuki pekarangan rumah. Alih-alih melempar senyuman, Ayah hanya mengusap kepalaku dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia bahkan tidak menatapku atau memelukku.

"Hera sudah lama menunggumu di depan pintu." Aku mendengar Ibu memberitahu Ayah.

Tanpa memberikan respons kepada Ibu, Ayah malah menyuruh Ibu untuk menyediakan kopi selagi ia masuk ke kamar mandi. Wajah Ayah sebelum dan sesudah mandi sama saja, kusut dan tidak segar.

"Ayah, malam ini Ayah ke kamar Hera, kan?" tanyaku setelah Ayah duduk tenang di kursi depan rumah sambil menyesap kopi. Bagai angin yang berhembus pelan, suaraku sepertinya tidak berhasil menggetarkan gendang telinga Ayah. Matanya terjurus ke depan dengan tatapan kosong. Ayah seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mungkin juga ia sedang sibut untuk menjalin gulungan kusut sehingga gelombang bunyi yang kukeluarkan tidak memiliki tempat di dalam otaknya.

"Ayah, malam ini Ayah ke kamar Hera, kan?" Aku mengulang pertanyaan yang sama. Kali ini Ayah menoleh. Butuh beberapa detik sampai Ayah menjawab pertanyaanku.

"Jangan malam ini ya, Nak, nanti minta tolong ibu dulu," kata Ayah dengan wajah datar. Mata yang sayu sedikit berkilau itu sedang serius. Mata itu juga memohon agar aku menurutinya.

"Baiklah," jawabku singkat sambil beranjak dari situ. Aku melihat Ayah membetulkan posisinya lalu menatap lamat-lamat entah menatap apa, yang pasti Ayah tidak menyadari bahwa aku masih memperhatikannya untuk beberapa saat.

***

            "Bu, Ayah kenapa?" tanyaku kepada Ibu yang sibuk mengelus-elus rambutku. Aku menuruti kata Ayah untuk mengajak ibu saja, tetapi bukan untuk bercerita, hanya untuk menemaniku di atas ranjang. Ibu tidak sepiawai Ayah kalau bercerita. Kalau ibu yang bercerita, aku akan menguap dengan cepat karena rasa bosan lebih cepat menarik kelopak mataku bahkan sebelum Ibu menyelesaikan ceritanya.

            "Memangnya ada apa?"

            "Ayah, tidak mau bercerita untuk Hera lagi ya? Hera buat salah sama Ayah, ya?"

            "Memangnya kenapa dengan Ayah?"

            "Ayah cemberut terus, Hera jadi takut."

            "Sini. Sini," Ibu menarikku ke dalam pelukannya. "Nanti Ayah pasti akan cerita sama Hera, mungkin Ayah lagi mikirin cerita baru buat Hera, kita tunggu aja."

            Aku mendongak. "Ayah, juga nggak banyak ngomong sama Ibu," bantahku.

            "Kamu tahu darimana?" ibu mencolek hidungku.

            "Ya kelihatannya gitu," jawabku.

            "Itu kan kelihatannya. Kalau Hera ke sekolah, ibu ngomong sama siapa, dong?"

            Aku tidak ingin menjawab pertanyaan Ibu. Kalau aku jawab iya, aku kalah dan tidak ada alasan untuk mendebatnya lagi, ya, walaupun diamku juga menunjukkan kalau aku sudah kalah debat. Aku memeluk ibu dengan erat, masuk ke dalam pelukannya yang hangat. Seperti sudah lama aku tidak bertemu dengannya, aku sangat rindu padanya, juga kepada Ayah. Aku meminta Ibu untuk tidur denganku malam ini.

***

Entah malam keberapa aku tidak menghitungnya. Sedikit rasa bahagia menyelinap ke dalam hatiku saat melihat ayah membuka pintu dan menghampiriku yang akhir-akhir ini memilih bergelut dengan buku-buku. Ayah membusurkan senyum tipis saat melihatku walaupun rasanya masih kecut. Segera kuambil posisi duduk lalu kuletakkan buku cerita rakyat dan memberikan atensi kepada Ayah.

"Hera, maafkan Ayah, beberapa hari ini kurang memperhatikan Hera," katanya lembut sambil mengusap rambutku. Senang sekali rasanya merasakan tangan Ayah yang besar di kepalaku. Itu adalah cara Ayah dan Ibu menunjukkan kasih sayangnya. Aku juga menunjukkan rasa sayangku dengan menghambur ke dalam pelukan mereka.

"Aku kangen Ayah," kataku manja lalu kembali ke posisi semula.

"Iya, Ayah tahu." Aku masih melihat cermin-cermin di mata Ayah. Matanya belum menunjukkan keceriaan, tetapi tidak apa-apa, setidaknya aku melihat Ayah duduk di ranjangku malam ini, itu yang paling penting. "Kau mau Ayah bercerita untukmu?" aku mengangguk dengan penuh semangat. Senyum tipis Ayah kembali ia tunjukkan. Ekspresi wajah yang sendu membuat aku pesimis kalau cerita yang ia bawakan kali berakhir bahagia.

Ayah mengambil beberapa detik untuk menghirup udara di kamarku. Ia menatapku, pun aku menatapnya dengan rasa penasaran. Aku ingin Ayah segera memulai ceritanya. Ia seperti memahami permintaanku dengan sorot mata yang kulayangkan kepadanya.

Pada belahan dunia yang lain, ada seorang Raja yang tak di ketahui namanya, katanya. Wilayah kekuasaanya dikenal luas karena perkebunan karetnya. Ia mempekerjakan banyak orang di kebun karet itu. Baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda, selagi mereka masih bisa bekerja, mereka pasti diterima olehnya. Sang Raja bukan orang yang suka turun langsung ke lapangan. Ia sudah cukup memiliki banyak pekerja dan beberapa orang kepercayaan. Dan sebagai orang yang sangat dihormati, tidak seorangpun dari mereka berani untuk melawan.

Pada suatu siang, tatkala matahari menunjukkan taringnya dan siap mencakar ubun-ubun, Sang Raja memutuskan untuk memantau para pekerjanya tanpa dikawal oleh para prajurit. Karena bukan kebiasaannya, para pekerja sempat memandangi pria dengan pakaian kerajaan datang ke tempat yang penuh dengan semak belukar dan serangga penghisap darah. Ditemani oleh seekor anjing kesayangan yang kadang diperlakukan lebih tinggi derajatnya daripada para pekerja atau prajuritnya sendiri, sang Raja menyusuri tempat itu dengan dada membusung. Lidah anjing itu menjulur membuang panas yang berlebihan ulah sang matahari. Sang Raja tidak mungkin mengikuti tingkah anjing itu walaupun ia bisa merasakan cairan keringat mulai menjalar pada bagian yang tertutup pakaiannya. Ia lebih memilih melindungi batok kepalanya dari sengatan matahari mengunakan topi anyaman bambu berbentuk kerucut itu.

Sang Raja sempat terkejut melihat pemandangan di depan matanya. Entah ada berapa pohon karet yang berdiri kokoh sedang menahan banyak sangkar burung di beberapa cabangnya dengan pintu yang dibiarkan terbuka. Burung-burung yang berwarna-warni itu menimbulkan berbagai macam suara. Agaknya, suara-suara burung itu telah menjadi hiburan tersendiri bagi para pekerja tanpa sepengetahuan sang raja. Perhatiannya sekarang bukan lagi kepada para pekerja atau kepada anjingnya, melainkan kepada burung-burung yang berhasil memanjakan mata sang Raja. Ia sibuk mengamati burung-burung itu, memperhatikan mereka yang sesekali menyantap buah atau biji-bijian yang ada di dalam sangkar mereka

Ayah berhenti sejenak. Aku memperhatikan raut muka ayah bersedih. "Ada apa ayah?" tanyaku penasaran.

"Ini adalah bagian terburuknya...," Ayah melanjutkan ceritanya.

            Burung-burung peliharaan para pekerja bukan burung sembarangan. Mereka adalah jelmaan siluman yang berdiam di perkebunan yang luas itu. Sang Rajalah yang memusnahkan tempat tinggal mereka. Dari hutan belantara yang jauh dari tangan manusia, ia mengubahnya menjadi perkebunan karet yang ramai dikunjungi saban hari. Wujud mereka akan berbentuk burung di siang hari tetapi akan berubah menjadi wujud manusia saat matahari terbenam demi menjaga kedamaian di tempat itu. Para pekerja sudah terbiasa dengan mereka dan tidak pernah saling mengganggu. Keterangan itu diperoleh sang Raja dari salah seorang pekerja.

            Hari terus berlanjut. Raja yang mulai gemar berkunjung ke perkebunan semakin penasaran dengan rupa burung-burung apabila berubah ke wujud manusia. Tanpa sepengetahuan warga istana, sang Raja mengendap-endap meninggalkan istana saat malam tiba. Diam-diam sang Raja bersama anjingnya pergi ke perkebunan untuk mengamati mereka. Sang Raja takjub. Putri-putri siluman burung parasnya cantik-cantik, membuat sang Raja tertarik ingin mendekati mereka.

            Awalnya semua berjalan baik. Raja berhasil menjalin kedekatan dengan warga siluman burung yang menempati perkebunan. Namun, keadaan berubah menjadi menakutkan saat satu per satu putri siluman burung itu menghilang. Tidak ada yang tahu siapa penculik tersebut sebab menurut saksi mata yang melihat, penculik itu menggunakan penutup wajah.

            "Lalu bagaimana dengan para pekerja itu, Ayah? Mereka tidak tahu?" tanyaku memotong cerita ayah.

            "Burung-burung itu tidak bisa berbicara di siang hari. Mereka hanya bisa berbicara kalau sudah berubah wujud di malam hari, tetapi itulah fungsi sangkar yang dibuat para pekerja itu. Burung-burung akan kembali ke sangkar itu saat matahari terbit agar para pekerja bisa memastikan keberadaan mereka, dari situlah akhirnya mereka tahu bahwa jumlah burung-burung itu sudah berkurang." Jelas Ayah.

            "Kasihan sekali burung-burung itu, Yah. Setelah itu apa yang mereka lakukan?" aku semakin tertarik dengan kelanjutan cerita Ayah.

            Ayah tidak langsung menjawab. Ia menunduk lalu berkata pelan, "Mereka melaporkan kejadian itu kepada sang Raja. Raja berjanji akan menolong mereka dengan menyebarkan sayembara dengan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pemenang sayembara," kata Ayah.

            "Apa isi sayembaranya?" tanyaku.

Ayah berdehem. Ayah siap-siap untuk memperagakan seorang prajurit istana yang gagah sedang membacakan sayembara. Diambilnya buku cerita yang sempat kuletakkan di kasur. Dengan suara lantang ayah berkata, "Negeri kita dikenal sebagai negeri yang aman dan damai. Namun, belakangan ini tersiar bahwa seorang penculik sedang berkeliaran dan menculik putri-putri siluman burung yang berdiam di wilayah perkebunan. Barang siapa berhasil menemukan dan menangkap penculik tersebut, ia akan dijadikan sebagai penasehat kerajaan dan menjadi orang kepercayaan kerajaan seumur hidupnya. Sedangkan penculik akan diberikan hukuman yang seberat-beratnya hingga menemui ajalnya."

Aku bertepuk tangan kegirangan. Bukan karena pembacaan sayembaranya, tetapi aku Ayahku yang sebenarnya sudah kembali. Sang pendogeng ulung yang selalu kunantikan kedatangannya beberapa malam terakhir.

Ayah mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku. "Kau ingin tahu hal yang paling mengejutkan seluruh negeri?" tanya ayah dengan mengernyitkan dahinya, sehingga tampak beberpa lengkungan disana.

"Apa?" tanyaku.

"Ternyata pelaku yang sedang mereka cari-cari, tak lain adalah Raja sendiri," bisik Ayah. Itu membuatku benar-benar terkejut.

"Loh, kok bisa? Bukankah hubungan Raja justru sangat baik dengan mereka?" tanyaku tidak percaya.

Ayah membetulkan posisinya lagi. Wajahnya berubah sedih lagi. Dengan tatapan lemah matanya diarahkan kepadaku, "Itu masalahnya. Kebaikan sang Raja ternyata menjadi topeng untuk menyembunyikan kejahatannya." tegas Ayah.

Entah apa yang merasuki pikiran sang Raja, saat hubungannya semakin dekat dengan warga siluman burung, timbul ambisi untuk memiliki putri-putri siluman yang cantik itu. Ia gelap mata. Ia menculik beberapa dari antara mereka dan memboyong mereka ke istana. Di dalam istana, ia menyembunyikan mereka di dalam ruang bawah tanah. Informasi itu tersebar dari mulut ke mulut para pekerja. Hampir semua orang mempercayai cerita tersebut tetapi tidak ada seorangpun yang berani untuk buka suara.

"Loh, kok bisa?"

            "Mereka tidak akan bisa. Raja punya kekuasaan. Dan kabarnya, Raja telah menjebloskan para pekerja yang menyebarkan desas-desus itu ke penjara bawah tanah dengan tuduhan fitnah, pencemaran nama baik dan pemberontakan terhadap kerajaan,"

            "Tapi pekerjanya kan banyak, Ayah? Kalau mereka ajak keluarga mereka untuk menuntut Raja, bisa-bisa aja, kan?" aku mencoba menyampaikan argumen,

            "Siapa yang mau berdiri membela siluman, Nak? Siluman itu derajatnya lebih rendah dari manusia. Reputasi mereka juga terbilang buruk. Siluman dikenal sebagai makhluk bejat, penyesat dan menjauhkan manusia dari pencipta-Nya."

            Aku terdiam. Aku tidak bisa membantah pernyataan Ayah. Selain burung-burung itu tidak leluasa berubah wujud, para pekerja dalam posisi dilema, jika mereka menuntut mereka kehilangan mata pencaharian dan kerajaan bisa menyerang balik mereka. Jika dibiarkan begitu saja, mereka hidup dalam penyesalan karena para siluman meneruh harapan besar pada mereka.

            "Semakin lama, Raja semakin beringas," sambung Ayah.

Pada siang hari, sang raja akan bermain-main dengan putri siluman yang di tawan itu, ia mengusap-usap kepala burung itu dengan senyum menyeringai. Bagai anjing diberikan daging, air liurnya sampai menetes melihat keindahan burung-burung itu. Ia mencabuti bulu burung itu dengan tawa menyeringai. Tubuh burung itu bisa mengeluarkan darah karena perlakuan kasar sang raja. Malam harinya, burung-burung itu akan berubah ke wujud manusia, tanpa busana, tetapi penuh luka dan darah bekas bulu-bulu yang dicabut dengan kasar oleh sang Raja. Parahnya, para pekerja yang dituduh memberontak itu dapat menyaksikan dengan mata kepala mereka kegilaan sang Raja. Miris dan menyedihkan.

"Inilah kabar baiknya," kata ayah, memancing semangatku untuk mendengar akhir cerita Ayah. Aku memperbaiki posisiku, aku ingin menyimak akhir cerita ini sebaik mungkin. Aku duduk dan menyandaran punggungku pada sandaran kayu ranjangku.

"Ada sepasang mata yang selalu mengawasi sang Raja. Kalau kau menyimak cerita Ayah dari awal, aku pasti tahu," Ayah mengedipkan mata kirinya, menantangku.

Aku memutar otak. Yang kutahu, sang Raja selalu melakukan aksinya seorang diri. Tidak ada satupun manusia yang mengikutinya bahkan prajuritnya sendiri. Aku melihat ayah tak hentinya membusurkan bibirnya dengan sempurna. Alisnya yang diangkat menujukkan bahwa ayah benar-benar sedang menantangku, tetapi buntu. Aku tidak menemukan ide apapun.

"Kau benar-benar tidak ingat? Sesungguhnya sang Raja tidak pernah sendiri. Ia selalu ditemani sesuatu bahkan saat pertama kali berkunjung ke perkebunan," jelas Ayah memberi petunjuk.

Aku menggumam dan menimbang-nimbang, "aaa aku tahu, Yah. Anjingnya, iya, anjingnya," kataku bersemangat hampir berteriak.

"Betul, sepasang mata anjing itu selalu mengawasi tindak-tanduk sang Raja kemanapun dan dimanapun Raja berada" Ayah membenarkan jawabanku.

Situasi kerajaan semakin gempar karena anjing itu. Entah keajaiban yang datang darimana, anjing itu bisa berbicara dan memberitahukan apa yang disaksikannya kepada semua orang yang dijumpainya, mulai dari para pejabat istana, dayang-dayang, prajurit dan seluruh masyarakat.

"Lalu apakah, semua masalahnya langsung beres Ayah? Bagamana dengan nasib sang Raja atau nasib burung-burung itu?" tanyaku.

"Besok kita lanjutkan ya, sekarang sudah larut,"

"Ah ayah, tanggung banget, lanjut dong, Ya" rengekku sambil memegangi tangan Ayah.

            Ayah tidak menghiraukan rengekanku. Ia menarik selimyu lalu menutupi tubuhku. "Lihat! Sudah jam 10, besok bangunya telat," kata Ayah sebelum akhirnya beranjak dari ranjang lalu ke luar kamar. Aku mengikuti punggung ayah yang kemudian menghilang bersamaan dengan tertutupnya pintu kamar.

***

Sudah lima hari sejak ayah bercerita cerita yang aku sendiri tidak tahu judulnya. Sepertinya ibu tidak memiliki alasan lagi untuk membohongiku. Hari pertama ia bilang kalau Ayah menginap di rumah juragan karet karena besoknya harus mengumpulkan getah mulai dari pagi, hari kedua, pengumpulan getah karet belum selesai, hari ketiga ada acara bersama dengan juragan dan para pekerja lainnya. Hari keempat, ibu mulai kehabisan ide dan hari ini, aku melihat mata ibu tidak memancarkan keceriaan. Pekerjaan rumah ditelantarkan. Ibu paling cerewet masalah kebersihan rumah, dan kali ini ia seakan tidak peduli.

"Bu, malam ini, Ayah masih di rumah Pak Suri ya?" aku tidak bertanya alasan Ayah belum pulang. Sengaja kujadikan alasan ibu menjadi pertanyaan agar ibu bisa mengangguk mengiyakan. Jelas ibu berbohong, sebab diam-diam aku mendengar ibu sesenggukan di dalam kamarnya sejak kemarin.

Ayahku hilang. Itu yang kupahami. Mulut ibu bisa membohongiku, tetapi bukan dengan mata dan senyum palsunya. Aku anak 14 tahun yang berusaha memahami situasi, memahami ibu.

Seminggu, dua minggu, tiga minggu, ayah tak kunjung datang. Ibu mulai terbiasa tanpa kepulangan Ayah tetapi ibu bukan lagi istri yang ceria menyambut kepulangan suaminya. Tidak ada lagi aroma kopi di ruang tamu atau di kursi depan rumah setiap ayah pulang. Tidak ada aroma getah karet yang mampir ke rumah ini yang menjadi alasanku untuk mengejek bau badan ayah. Ibu tidak akan lagi ditinggal suaminya di kamarnya barang satu sampai dua jam demi pendengar cerita yang budiman ini.

Di penghujung bulan, tatkala senja mampir sebentar lalu menghilang dalam bayangan awan yang hitam. Beberapa orang datang bertamu. Ibu tidak mengenal mereka, apalagi aku. Sebisa mungkin ibu menunjukkan sikap ramah, hendak membuatkan the sampai dicegat oleh mereka. Namun, ibu bersikeras untuk mengambil air putih sebagai gantinya.

"Hera ada, Bu?" Aku mendengar salah seorang dari mereka menanyakan keberadaanku. Aku yang sudah berada di kamar tidak segera beranjak.

"Ada, di kamarnya, ini ada apa ya?" suara ibu terdengar bergetar. Mungkin terkejut karena orang yang tidak dikenal tiba-tiba tahu nama putri semata wayangnya bahkan menanyakan keberadaannya.

"Boleh saya dan Mira bertemu?"

"ii. iya, silahkan," balas ibu gelagapan.

Di dalam kamar aku pura-pura mengambil buku, sambil berbaring aku membolak-balik halaman buku, hanya membolak-baliknya saja.

Pintu kamar terbuka. Dua orang perempuan muda memasuki kamar. Aku menilik ke belakang mereka, tidak ada ibu di sana, hanya mereka berdua. Lalu salah satu dari mereka menyapaku lembut. Aku langsung tahu, perempua itu adalah orang yang meminta izin kepada ibu sedangkan satu lagi pasti Mira. Aku hanya terpaku menatap mereka. Mencoba untuk memotret wajah mereka dan menyimpannya dalam memoriku.

"Sudah mendengar cerita Sepasang Mata di Perkebunan Karet?" tanya perempuan itu. Aku menggeleng tanpa suara.

"Itu cerita Ayah terakhir kali untuk Hera, bukan?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk. Mungkin benar itu adalah cerita yang belum sempat dituntaskan oleh Ayah.

"Kamu mau mendengar kelanjutannya?" tanya perempuan itu. Sekali lagi aku mengangguk tanpa suara.

Setelah Raja ketahuan, ia dikabarkan melarikan dan menghilang. Tawanan dibebaskan. Seluruh masyarakat merasa berbahagia karena pekerja yang ditahan dibebaskan, burung-burung itu juga ada beberapa yang masih hidup dan ada juga yang sudah mati. Baik yang hidup dan mati dikembalikan ke perkebunan karet sebab disanalah tempat tinggal mereka sejak mulanya dan jasadnya harus dikembalikan kesana.

Keadaan normal kembali, tetapi tidak untuk waktu yang lama. Bukan hanya putri-putri siluman namun juga anak-anak gadis para pekerja. Seluruh warga meyakini pelakunya masih orang yang sama. Namun, mereka belum berhasil menemukan penculik tersebut.

Lalu kau masih ingat anjingnya? Anjing yang terkenal akan kesetiaannya itu tahu betul bau badan tuannya. Suatu malam saat sang raja meluncurkan aksinya di perkebunan karet, kali ini bersama beberapa orang, kemungkinan besar komplotannya. Sang anjing memergokinya dan tidak henti-hentinya menggonggong dan menyerangnya. Sang Raja tidak lagi peduli tentang anjing itu, ia berbalik menyerang anjing itu dengan celurit di tangannya. 

Saat anjing itu berusaha meraih kaki sang Raja, tangan raja telah terlebih dahulu menyabet tubuh anjing itu dengan celurit. Tubuh anjing itu bersimbah darah dan mulai melemahkan aksi sang anjing. Tanpa membuang waktu lebih lama, sang Raja menggorok leher anjing itu dengan pisau lipat yang juga ia selipkan dipinggangnya. Begitulah akhir hidup anjing itu.

"Lalu, bagaimana dengan siluman burung itu?"

"Mereka juga sudah siap dengan peralatan untuk menyerang Raja. Seluruh pekerja dan para siluman burung sudah berjaga-jaga malam itu. Anjing itu bekerja sama dengan mereka. Alhasil, Raja dan komplotannya berhasil dibekuk dan diarak ke istana untuk di adili. Seperti isi sayembara itu, pelakunya akan disiksa perlahan-lahan hingga menemui ajalnya, sedangkan janji untuk mengangkat orang yang menangkap pelaku penculikan tersebut diberikan kepada para pekerja yang sebelumnya ditawan bersama perempuan siluman itu." Papar perempuan itu.

"Apakah itu jadi akhir ceritanya?" tanyaku memastikan.

"Ya, betul" jawab perempuan itu, disambut dengan anggukan perempuan bernama Mira itu. "Kerajaan itu kembali seperti semula, menjadi kerajaan yang aman dan damai. Warga siluman burung dan warga kerajaan hidup berdampingan dan saling menjaga."

"Lalu bagaimana dengan anjing itu? Apakah tidak ada yang mengingat jasa anjing itu?" tanyaku.

"Ada, tetapi tidak banyak," sekarang perempuan bernama Mira yang menyahut dengan wajah lemah.

"Kenapa?"

"Karena berkembang desas-desus bahwa anjing itu telah turut bekerjasama dengan Raja sebelum akhirnya anjing itu mengkhianati tuannya sendiri."

"Hah?" aku terkejut dengan pernyataan itu. Seketika aku merasa ada luapan emosi yang ingin segera meledak. "bagaimana bisa? Jelas-jelas anjing itu tahu apa yang terjadi di dalam istana dan anjing itu tidak melakukan apapun yang menunjukkan membantu Raja? Bukankah ada perempuan siluman dan para pekerja yang menjadi saksinya?" aku mencecar mereka dengan pertanyaan.

"Kami juga tidak mengerti, mereka tidak mau mendengarkan suara kami," kata perempuan itu.

Aku diam sejenak, berusaha mencerna pernyataan mereka barusan. "Apa maksudnya, mereka tidak mau mendengar suara kami?" tanyaku kemudian.

Kedua perempuan itu bertukar pandangan. Perempuan yang akhirnya kutahu bernama Lastri akhirnya angkat bicara setelah Mira membujuknya.

"Hera," Lastri menyebut namaku. Ia menatapku. Tatapannya semakin menusuk saat kulihat ada cermin di matanya. Matanya mulai berair begitu juga dengan mataku, aku mulai bisa merasakan bitnik-bintik air mulai berat di dalam mataku. "Anjing itu adalah ayahmu dan perempuan siluman itu adalah kami," katanya kemudian. Air mata itu akhirnya berjatuhan, begitu juga dengan Mira.

"Maksudmu, ayahku sudah mati?"

Mereka mengangguk. "suara kami tenggelam di tengah kesenangan mereka dan bahkan mengabaikan kami, padahal masih banyak korban yang belum berani angkat suara karena masih trauma," tandasnya.

Ibu masuk ke dalam kamarku dengan wajah sembab. Matanya memerah. Lalu wanita itu menghambur ke arahku dan memelukku sangat erat. Kamarku sekarang di penuhi dengan air mata karena cerita yang berakhir bahagia pada tokoh di dalamnya tetapi justru berkahir tragis bagi penciptanya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun