Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Sepasang Mata di Kebun Karet

4 September 2022   14:31 Diperbarui: 4 September 2022   14:39 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada belahan dunia yang lain, ada seorang Raja yang tak di ketahui namanya, katanya. Wilayah kekuasaanya dikenal luas karena perkebunan karetnya. Ia mempekerjakan banyak orang di kebun karet itu. Baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda, selagi mereka masih bisa bekerja, mereka pasti diterima olehnya. Sang Raja bukan orang yang suka turun langsung ke lapangan. Ia sudah cukup memiliki banyak pekerja dan beberapa orang kepercayaan. Dan sebagai orang yang sangat dihormati, tidak seorangpun dari mereka berani untuk melawan.

Pada suatu siang, tatkala matahari menunjukkan taringnya dan siap mencakar ubun-ubun, Sang Raja memutuskan untuk memantau para pekerjanya tanpa dikawal oleh para prajurit. Karena bukan kebiasaannya, para pekerja sempat memandangi pria dengan pakaian kerajaan datang ke tempat yang penuh dengan semak belukar dan serangga penghisap darah. Ditemani oleh seekor anjing kesayangan yang kadang diperlakukan lebih tinggi derajatnya daripada para pekerja atau prajuritnya sendiri, sang Raja menyusuri tempat itu dengan dada membusung. Lidah anjing itu menjulur membuang panas yang berlebihan ulah sang matahari. Sang Raja tidak mungkin mengikuti tingkah anjing itu walaupun ia bisa merasakan cairan keringat mulai menjalar pada bagian yang tertutup pakaiannya. Ia lebih memilih melindungi batok kepalanya dari sengatan matahari mengunakan topi anyaman bambu berbentuk kerucut itu.

Sang Raja sempat terkejut melihat pemandangan di depan matanya. Entah ada berapa pohon karet yang berdiri kokoh sedang menahan banyak sangkar burung di beberapa cabangnya dengan pintu yang dibiarkan terbuka. Burung-burung yang berwarna-warni itu menimbulkan berbagai macam suara. Agaknya, suara-suara burung itu telah menjadi hiburan tersendiri bagi para pekerja tanpa sepengetahuan sang raja. Perhatiannya sekarang bukan lagi kepada para pekerja atau kepada anjingnya, melainkan kepada burung-burung yang berhasil memanjakan mata sang Raja. Ia sibuk mengamati burung-burung itu, memperhatikan mereka yang sesekali menyantap buah atau biji-bijian yang ada di dalam sangkar mereka

Ayah berhenti sejenak. Aku memperhatikan raut muka ayah bersedih. "Ada apa ayah?" tanyaku penasaran.

"Ini adalah bagian terburuknya...," Ayah melanjutkan ceritanya.

            Burung-burung peliharaan para pekerja bukan burung sembarangan. Mereka adalah jelmaan siluman yang berdiam di perkebunan yang luas itu. Sang Rajalah yang memusnahkan tempat tinggal mereka. Dari hutan belantara yang jauh dari tangan manusia, ia mengubahnya menjadi perkebunan karet yang ramai dikunjungi saban hari. Wujud mereka akan berbentuk burung di siang hari tetapi akan berubah menjadi wujud manusia saat matahari terbenam demi menjaga kedamaian di tempat itu. Para pekerja sudah terbiasa dengan mereka dan tidak pernah saling mengganggu. Keterangan itu diperoleh sang Raja dari salah seorang pekerja.

            Hari terus berlanjut. Raja yang mulai gemar berkunjung ke perkebunan semakin penasaran dengan rupa burung-burung apabila berubah ke wujud manusia. Tanpa sepengetahuan warga istana, sang Raja mengendap-endap meninggalkan istana saat malam tiba. Diam-diam sang Raja bersama anjingnya pergi ke perkebunan untuk mengamati mereka. Sang Raja takjub. Putri-putri siluman burung parasnya cantik-cantik, membuat sang Raja tertarik ingin mendekati mereka.

            Awalnya semua berjalan baik. Raja berhasil menjalin kedekatan dengan warga siluman burung yang menempati perkebunan. Namun, keadaan berubah menjadi menakutkan saat satu per satu putri siluman burung itu menghilang. Tidak ada yang tahu siapa penculik tersebut sebab menurut saksi mata yang melihat, penculik itu menggunakan penutup wajah.

            "Lalu bagaimana dengan para pekerja itu, Ayah? Mereka tidak tahu?" tanyaku memotong cerita ayah.

            "Burung-burung itu tidak bisa berbicara di siang hari. Mereka hanya bisa berbicara kalau sudah berubah wujud di malam hari, tetapi itulah fungsi sangkar yang dibuat para pekerja itu. Burung-burung akan kembali ke sangkar itu saat matahari terbit agar para pekerja bisa memastikan keberadaan mereka, dari situlah akhirnya mereka tahu bahwa jumlah burung-burung itu sudah berkurang." Jelas Ayah.

            "Kasihan sekali burung-burung itu, Yah. Setelah itu apa yang mereka lakukan?" aku semakin tertarik dengan kelanjutan cerita Ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun