Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Sepasang Mata di Kebun Karet

4 September 2022   14:31 Diperbarui: 4 September 2022   14:39 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Aku mendongak. "Ayah, juga nggak banyak ngomong sama Ibu," bantahku.

            "Kamu tahu darimana?" ibu mencolek hidungku.

            "Ya kelihatannya gitu," jawabku.

            "Itu kan kelihatannya. Kalau Hera ke sekolah, ibu ngomong sama siapa, dong?"

            Aku tidak ingin menjawab pertanyaan Ibu. Kalau aku jawab iya, aku kalah dan tidak ada alasan untuk mendebatnya lagi, ya, walaupun diamku juga menunjukkan kalau aku sudah kalah debat. Aku memeluk ibu dengan erat, masuk ke dalam pelukannya yang hangat. Seperti sudah lama aku tidak bertemu dengannya, aku sangat rindu padanya, juga kepada Ayah. Aku meminta Ibu untuk tidur denganku malam ini.

***

Entah malam keberapa aku tidak menghitungnya. Sedikit rasa bahagia menyelinap ke dalam hatiku saat melihat ayah membuka pintu dan menghampiriku yang akhir-akhir ini memilih bergelut dengan buku-buku. Ayah membusurkan senyum tipis saat melihatku walaupun rasanya masih kecut. Segera kuambil posisi duduk lalu kuletakkan buku cerita rakyat dan memberikan atensi kepada Ayah.

"Hera, maafkan Ayah, beberapa hari ini kurang memperhatikan Hera," katanya lembut sambil mengusap rambutku. Senang sekali rasanya merasakan tangan Ayah yang besar di kepalaku. Itu adalah cara Ayah dan Ibu menunjukkan kasih sayangnya. Aku juga menunjukkan rasa sayangku dengan menghambur ke dalam pelukan mereka.

"Aku kangen Ayah," kataku manja lalu kembali ke posisi semula.

"Iya, Ayah tahu." Aku masih melihat cermin-cermin di mata Ayah. Matanya belum menunjukkan keceriaan, tetapi tidak apa-apa, setidaknya aku melihat Ayah duduk di ranjangku malam ini, itu yang paling penting. "Kau mau Ayah bercerita untukmu?" aku mengangguk dengan penuh semangat. Senyum tipis Ayah kembali ia tunjukkan. Ekspresi wajah yang sendu membuat aku pesimis kalau cerita yang ia bawakan kali berakhir bahagia.

Ayah mengambil beberapa detik untuk menghirup udara di kamarku. Ia menatapku, pun aku menatapnya dengan rasa penasaran. Aku ingin Ayah segera memulai ceritanya. Ia seperti memahami permintaanku dengan sorot mata yang kulayangkan kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun