"Hah?" aku terkejut dengan pernyataan itu. Seketika aku merasa ada luapan emosi yang ingin segera meledak. "bagaimana bisa? Jelas-jelas anjing itu tahu apa yang terjadi di dalam istana dan anjing itu tidak melakukan apapun yang menunjukkan membantu Raja? Bukankah ada perempuan siluman dan para pekerja yang menjadi saksinya?" aku mencecar mereka dengan pertanyaan.
"Kami juga tidak mengerti, mereka tidak mau mendengarkan suara kami," kata perempuan itu.
Aku diam sejenak, berusaha mencerna pernyataan mereka barusan. "Apa maksudnya, mereka tidak mau mendengar suara kami?" tanyaku kemudian.
Kedua perempuan itu bertukar pandangan. Perempuan yang akhirnya kutahu bernama Lastri akhirnya angkat bicara setelah Mira membujuknya.
"Hera," Lastri menyebut namaku. Ia menatapku. Tatapannya semakin menusuk saat kulihat ada cermin di matanya. Matanya mulai berair begitu juga dengan mataku, aku mulai bisa merasakan bitnik-bintik air mulai berat di dalam mataku. "Anjing itu adalah ayahmu dan perempuan siluman itu adalah kami," katanya kemudian. Air mata itu akhirnya berjatuhan, begitu juga dengan Mira.
"Maksudmu, ayahku sudah mati?"
Mereka mengangguk. "suara kami tenggelam di tengah kesenangan mereka dan bahkan mengabaikan kami, padahal masih banyak korban yang belum berani angkat suara karena masih trauma," tandasnya.
Ibu masuk ke dalam kamarku dengan wajah sembab. Matanya memerah. Lalu wanita itu menghambur ke arahku dan memelukku sangat erat. Kamarku sekarang di penuhi dengan air mata karena cerita yang berakhir bahagia pada tokoh di dalamnya tetapi justru berkahir tragis bagi penciptanya sendiri.