Mohon tunggu...
Ranoldus Tangke
Ranoldus Tangke Mohon Tunggu... -

Seorang yang senang menulis, fotografi, dan bermusik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masih Tanya Lagi?!!

23 Februari 2016   15:01 Diperbarui: 24 Februari 2016   01:31 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ia suka belajar. Buku di dalam ruangannya begitu banyak, tidak hanya satu jenis. Ia senang menambah pengetahuan baru, salah satunya adalah dengan bertanya. Ia sering sekali bertanya pada orang-orang yang dianggap mempunyai pengetahuan lebih dari ia. Ia bisa melontarkan sepuluh pertanyaan. Ya, prinsip ia adalah semua harus jelas dari akar sampai ke permukaan. Karena pengetahuan yang tidak mendasar adalah penyebab dari yang namanya “gagal paham”–istilah yang diucapkan oleh seorang musisi, Ahmad Dhani. Semua informasi harus jelas agar pondasi pengertian dapat berdiri dengan kokoh. Jadi, kalau kurang paham ya wajib bertanya.

* * *

Telah lama ia terduduk di sana. Sementara kakaknya sedari tadi asyik memotret keindahan taman Vanda. Siang itu entah mengapa, setelah misa, ia ingin mampir sebentar untuk duduk di taman. Tak ada kata basa-basi dan kakaknya masih asyik dengan memotret. Ia memandang ke langit, tapi hanya nampak warna kelabu menutupi hampir keseluruhan langit Bandung.

“Sedikit lagi mau hujan,” kata si kakak.

Tak ada yang tahu lamunan apa yang ada dipikirannya. Ya benar, ia masih mengingat ekspresi itu. Ekspresi Sati yang jengkel (atau lebih tepatnya jijik) karena mengetahui sebuah kesalahan dari ia. Kesalahan adalah cacat, mungkin bagi Sati.

[caption caption="Sumber : Arsip Pribadi"][/caption]

* * *

Dibayangkannya kejadian di kantin itu. Ia duduk di sana setelah satu setengah jam ia terus bertatap muka dengan dosen. Tak banyak yang ia mengerti dari yang dikomat-kamitkan saat kuliah tadi. Ini terjadi, terutama pada dosen yang sistem mengajarnya adalah–yang ia sebut copy-paste dari slide, dimana menyebabkan semua yang ada di dalam kelas menjadi punya kesibukannya masing-masing. Kalau sudah begini, kalau ia bertanya pasti jawabannya tidak memuaskan dan terlihat jelas kalau materi tidak si dosen kuasai dengan baik.

Selagi sibuk membaca artikel blog di laptop, muncul Sati dan Zola. Perbincangan pun menjadi hangat dan tentunya membuat seseorang jadi tidak fokus membaca lagi. Zola bercerita tentang film favoritnya, “Orange Marmelade”, yang berkisah tentang seorang vampir; yang mengalami mutasi atau semacamnya sehingga tidak menghisap darah manusia lagi melainkan berganti dengan darah babi, hidup bersama dengan manusia. Singkat cerita terjadi pertentangan dimana manusia yang merasa superior menghendaki agar manusia-vampir harus disingkirkan, bahkan seharusnya dibunuh. Akhirnya manusia-vampir mengalami diskriminasi dari pihak manusia. Setiap anak manusia dilarang berteman dengan anak manusia-vampir. Manusia-vampir yang melamar pekerjaan pasti ditolak, oleh karena itu mereka selalu berpura-pura mengaku sebagai “manusia” agar bisa memperoleh pekerjaan. Zola menceritakannya dengan mata yang penuh semangat. Sedangkan ia hanya menikmatinya. Ia seperti menyaksikan kejadian yang sama dengan cerita itu.

 “Tapi dimana, ya?”

 Asyik bercerita, topik berganti membahas soal administrasi kampus untuk ujian tengah semester.

 “Kalian sudah bayar biaya SKS, belum?” ia tanya.

 “Sudah. Kenapa? Kamu harus bayar itu, kalau belum katanya tidak bisa ikut ujian,” jawab Zola.

 “Biaya per SKS-nya berapa, ya? Saya soalnya lupa.”

 “Seratus lima puluh ribu per SKS.”

 Lalu Zola mengeluarkan secarik kertas.

 "Itu apa?” tanya ia penasaran.

“Bukti transfer.”

“Oh, untuk apa?”

“Buat kwitansi.”

 “Maksudnya?”

 “Iya, biar bisa ikut UTS.”

 “Saya masih tidak mengerti. Maksudnya?”

Tiba-tiba Sati memotong pembicaraan, “Aduh! Nanti bukti itu kamu kasih ke bagian keuangan terus mereka akan kasih kwitansi buat bukti kalau kamu sudah bayar jadi kamu bisa ikut ujian. Masih tanya lagi?!! Iihhh!”

Lalu ia terdiam. Sati dan Zola pun terdiam. Ekspresi itu seketika terekam dalam otak ia bak kamera yang menangkap gambar dengan cepat menyimpannya dalam memori. Warna, cahaya, bentuk, dan tiap lekukan garis terbentuk dengan jelas. Setiap orang yang melihat pasti langsung tahu makna dari ekspresi itu. Segera ia berpamitan dengan mereka berdua untuk pulang.

Ia pulang dan bertanya dalam benak, “Apa yang salah dengan kurang paham? Bukankah wajar orang bertanya jika tak paham? ANEH TAPI NYATA.”

Tapi kata Sati, “Orang banyak tanya itu artinya bodoh. Bertanya hanya akan membuat kamu gampang dibodohi orang lain.”

Kalimat itu terus ia ingat, sampai suatu hari.

* * *

Masih dengan ia yang duduk di taman Vanda. Ia pun tersenyum, mengingat kembali juga kejadian di mall Artha.

Tak terasa pertemanan mereka semakin luas, teman semakin banyak. Sore itu, mereka pergi ke mall bersama seorang teman baru bernama Prabu. Kulit sedikit berwarna cokelat dan logat Jogja yang masih kental. Dia adalah teman baru yang asyik.

Mereka telah di mall. Sekedar berjalan dan cuci mata. Sesekali Sita tak tahan untuk membeli pakaian. Sekian lama berjalan akhirnya perut mereka mulai keroncongan. Tujuan pun mantap pada food court di mall itu. Buku menu datang, mereka mulai memilih menu setelah sekian lama. Yang dipilih bukan makanan apa yang enak, tapi makanan apa yang enak dan harganya tidak membuat dompet menjerit. Ide klasik Mahasiswa.

Sembari menunggu hidangan datang, mereka bercakap-cakap.

“Kamu kerja dimana, Prabu?” tanya ia.

“Di Cahaya Mas.”

“Oh, itukan perusahaan kertas, kan?”

“Iya. Cuma perusahaan itu bukan cuma perusahaan kertas. Dia punya perusahaan asuransi, dan bank juga. Nah, saya kerja dibagian asuransi,” kata Prabu bersamaan dengan disajikannya es teh.

“Apa yang bisa diasuransikan di sana?”

“Kendaraan dan rumah.”

“Oh beda, ya? Kalau perusahaan asuransi lain kan yang diasuransi orang.” potong Sati.

 “Ya, betul sekali,” balas Prabu.

 Lanjut ia, “Terus, bagaimana sampai orang itu bisa jadi member? Apa semua latar belakang sosial bisa diterima atau kalian survey dulu?”

“Kita survey dulu. Takutnya nilai rumahnya tidak sesuai dengan aturan yang ada. Termasuk juga sudah berkeluarga atau belum, lalu pekerjaan dan gajinya per bulan.”

“Kok disurvey pekerjaan sama gaji segala? Bukannya asal daftar sudah langsung, ya?” tanya Sati.

“Ya harus disurveylah. Bagaimana dia bayar premi kalau gajinya cuma satu juta lalu punya istri dan dua anak yang masih sekolah. Tentu tidak sanggup, lah. Ini gunanya disurvey,” jawab ia.

“Premi itu apa?” tanya Sati.

Ia; yang berhadapan dengan Sati, menepuk dahinya, berdiri, merapikan kausnya, lalu berkata dengan satu tarikan napas, “MASIH TANYA LAGI?!! IIHHH!!!”

 

Jakarta, 23 Februari 2016
dalam perjalanan pulang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun