Mohon tunggu...
Rani juniati
Rani juniati Mohon Tunggu... Lainnya - ada

ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jatuh untuk Bangun

9 Februari 2021   21:03 Diperbarui: 3 Maret 2021   20:50 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari telah condong ke barat. Angin kemarau berhembus pelan, tetapi sangat menyejukan. Satu persatu burung-burung meninggalkan sarangnya dan terbang menggerombol melintasi biru angkasa yang lebar membentang. 

Seorang gadis sedang duduk diayunan menyaksikan anak-anak desa yang sedang bermain di bawah kerindangan pohon populous. Mereka bergembira berlari kesana kemari dan tertawa seperti tidak memiliki beban.

Namun, gadis yang duduk diayunan itu hanya duduk merenung. Dia tidak terpengaruh oleh keramaian anak-anak. Dia tengah asyik dengan lamunannya. Pandangannya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya jauh menerawang. Ia sedang memikirkan segala hal yang membuat hatinya cemas.

Tiba-tiba rintik-rintik hujan membasuhi bumi, awan hitam yang menutupi birunya langit. Tidaklah terdengar lagi suara burung-burung yang berkicau karena riangnya. 

Saat itu, hujan telah membuat gadis cantik itu terbangun dari lamunannya. Anak-anak yang tadinya bermain mulai berhamburan mencari tempat untuk berteduh.

"Petrichor." Gumamnya. Gadis itu sangat menyukai aroma hujan pertama yang membasahi tanah kering. Aroma yang mengingatkannya pada sosok pahlawan baginya yaitu ayahnya. Ayahnya adalah aroma hujan yang selalu ia rindukan. Kasih sayang dan kelemah lembutannya sangat menenangkan seperti aroma petrichor. 

Baginya aroma hujan pertama membasahi tanah adalah temannya. Karena aroma itu selalu mengingatkan pada dinginnya kesendirian dan pada rindu yang tak berujung temu. Aroma itu membuatnya percaya bahwa hujan akan berhenti pada saatnya. Bahwa pelangi akan datang setelahnya. Dan bahwa harapan itu selalu ada, selama kita masih mempercayainya dan bisa memperjuangkannya.

Hujan sudah mulai reda dan gadis itu memutuskan untuk pulang karena setelah hujan reda, senja sudah lenyap di lahap kegelapan.

Tok! Tok! Tok!

Entah sudah berapa kali ia mengetuk pintu tetapi tidak ada seorang pun yang mau membukakan pintu untuknya. Pintu rumah nya terkunci, padahal saat ini masih sekitar pukul 07.00 itu artinya ia pulang belum terlalu larut. Terpaksa ia harus tidur di luar lagi, dengan kedinginan malam dan baju yang lumayan basah karena terkena air hujan tadi.

Tiba-tiba air matanya turun membasuhi pipinya. Gadis itu bertanya kepada dirinya sendiri dengan air mata di ujung kelopaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun