Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate, Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Resolusi Januari

17 Januari 2024   09:44 Diperbarui: 17 Januari 2024   10:03 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayah, terima kasih telah hadir dalam bunga tidurku yang bahkan kupikir sudah tidak mungkin lagi untuk kembali mekar, tidak mungkin lagi untuk kaukunjungi. Ternyata, malam itu, malam terakhir di kota kelahiranmu, kau sempatkan hadir meski sebentar. Terlepas dari kau di mana dan bersama siapa, aku berharap kau setidaknya masih hidup. Sebab tahun ini masih panjang, siapa tahu kita bisa diberi kesempatan untuk bertemu lagi. Jika tidak terwujud lagi, masih ada tahun-tahun berikutnya. Jika napas masih berpihak pada kita, aku takkan pernah lelah untuk selalu menuliskan resolusi untuk bertemu denganmu setiap pergantian tahun," ucapku dalam hati sambil melempar pandanganku jauh ke jalanan yang terlihat begitu cepat berlalu.

"Ayah ada di rumah sekarang," ujar ibu tiba-tiba, membuyarkan lamunanku.

"HAH?" Aku dan Raisa berteriak kaget.

"Sekarang pasti Ibu yang bohong," ujar Raisa kesal meski matanya mulai berair sebab ia tahu ibu tidak berbohong dari nada bicara, penekanan, intonasi, dan yang lebih penting adalah dari percikan kebahagiaan yang terlihat begitu nyata di kedua bola mata ibu. Mobil mendadak hening. Kami larut dalam perasaan kami dan aku tidak bertanya lebih jauh. Sebaiknya aku siap-siap untuk membuktikan apakah ibu berbohong atau tidak.

Sorot mata ibu memang tidak pernah bohong. Ayah benar-benar ada di rumah. Berdiri tegap di depan pintu menanti kami.

Aku mencubit pipi raisa agak keras. Raisa mengerang kesakitan.

"Cubit aku juga!" perintahku padanya.

Dia mencubit lenganku keras. Sakit. Benar-benar sakit sampai aku tidak bisa berteriak kesakitan. Kali ini, aku tidak hanya kehabisan kata-kata seperti saat aku bertemu dengan ayah di mimpi malam itu. Tetapi, aku juga kehabisan daya untuk bergerak. Sosok ayah berhasil membekukanku dengan segala kebahagiaan yang meluap-luap, berdesakan keluar berebut untuk segera menjemput kerinduan yang menunggu di sorot mata ayah yang pertama kali kulihat lagi setelah belasan tahun kami berpisah. Kini, resolusi seorang Januari di bulan Januari ini menjadi kenyataan.

Itu adalah resolusi dengan perwujudan terindah yang pernah kualami.

**

#cerpenresolusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun